Senin, 26 Desember 2016

Kingkong Karnivora di Hutan Belantara

Gue pernah memperkenalkan diri di blog ini. Tapi itu dulu, antara tahun 2012 atau 2013. Jadi sebenarnya, gue ini kepedean. Gak ada yang kenal gue, tapi gue main curhat-curhat aja. Jadi berhubung tak kenal maka tak sayang, mendingan kita kenalan dulu.

Bukan biar sayang, deng. 

Tapi setiap orang pasti berubah. Ya, kan?
Kita di tahun 2012 atau 2013 gak akan sepenuhnya sama dengan kita di 2016 yang sudah mau berakhir ini. Itung-itung, gue bisa intropeksi, siapa tahu bisa jadi orang yang lebih baik di 2017.

Fine, biar sayang. 

Nama gue Vidya. Gue lahir bulan April tahun 1998. Sejak lahir, hobi gue makan, tidur, baca buku, dan bermain musik. Iya, sejak lahir. Kenapa? Gak suka?

Suka-sukain, please. Biar views blog nambah. Jangan cabut ya. Itu penting banget bagi masa depan gue.

Makanan favorit gue:
1. Sate padang
2. Sushi
3. Kwetiau goreng
4. Soto betawi
5. Pecel lele

Kenapa makanan disebutin duluan?
Karena makanan adalah prioritas di hidup gue.
Intinya, gue lebih suka makanan asin dibanding makanan manis. Tapi itu gak menutup kemungkinan gue makan banyak kalau masakannya manis juga kok.

Gue tinggal di daerah entah Bogor, Bekasi, atau Jakarta, gue juga bingung. Gue hidup bersama Mame, Popop, satu adik laki-laki (yang sekarang sudah berubah jadi kakak karena gue lebih pendek dan lebih manja dari dia), dan satu kucing super-duper annoying tapi cantik banget, incaran kucing-kucing maco di komplek gue, namanya Yoyong.

Gue suka binatang yang fluffy, makanya gue pelihara kucing. Tapi gue gak begitu bersahabat dengan anjing. Bukan gue yang gak suka anjing, tapi anjing yang gak suka gue. Gue masih teringat-ingat jaman gue kecil, gue sering dikejar anjing di komplek. Semenjak itu, gue menyimpulkan kalau kaum anjing tidak suka gue.

Berhubung gue suka binatang fluffy, gue suka sekali boneka. Boneka yang berbulu tebal dan halus terutama. Semakin numpuk boneka di kasur, semakin sempit tempat tidurnya, semakin gue tidur nyenyak.

Tapi gue tidak hanya suka kucing. Gue sekali binatang gajah dan macan.

Waktu gue kecil, gue selalu menjawab dengan "ingin jadi gajah" setiap ditanya "kalau sudah besar mau jadi apa". Entahlah, mungkin dalam otak gue waktu itu yang besar adalah gajah. Mungkin kalau ditanya "kalau sudah kecil mau jadi apa', gue akan menjawab "jadi semut".

Tapi gue benar-benar suka gajah. Menurut gue, gajah memiliki karakter yang tenang, cerdas, berhikmat, dan bersahabat.

Gue suka macan karena menurut gue, macan memiliki karakter yang tenang, namun berani, tangguh, dan lincah.

Gue suka kucing karena kucing berbulu tebal dan halus, berkarakter tenang, manja, dan galak.

Jadi kalau dikombinasikan, gue ingin punya karakter yang tenang, berani, tangguh, berhikmat, dan manja. Kalau jiwa gue disimbolkan dengan binatang, maka gue adalah makhuk berbadan besar, bertaring, bercakar, dan berbulu lebat.

Jangan dibayangin. Gue aja serem bayanginnya. Mungkin gue adalah semacam kingkong karnivora? Entahlah, kata gue juga jangan dibayangin.

Loh? Gue sendiri yang ngebayangin ya?

Gue berkuliah di sebuah universitas di Kabupaten Sumedang, dekat-dekat Bandung. Jurusannya, dengar-dengar sih jurusan paling mematikan. Tapi berhubung gue masih maba, gue masih buta tentang harus bagaimana supaya bisa bertahan hidup. Beruntung, gue ditemani sama kakak-kakak yang mengajarkan caranya bertahan hidup di hutan belantara.

Hutan belantara = kehidupan kost dengan uang terbatas, tugas numpuk, dan berbagai tantangan lain yang gak kelihatan, tapi suka tiba-tiba muncul

Gue bercita-cita jadi pemain film dan musisi. (Jangan sebel, dong. Namanya juga cita-cita, ngimpi aja setinggi-tingginya. Ya, gak?)
Pemain film favorit gue Reza Rahadian, musisi favorit gue Kevin Aprilio.

Gue suka membaca novel. Novel favorit gue judulnya Hujan, ditulis oleh Tere Liye. Gue suka baca novel dengan cerita yang dramatis, dan sedikit suka juga yang fantasy atau futuristic. Semakin menyentuh ceritanya, semakin gue gembira bacanya.

Gue suka komik Conan. Menurut gue, Conan itu keren dan agak bala sih. Dimana ada Conan, di sana pasti ada pembunuhan. Tapi karena ceritanya keren dan mindblowing, gue jadi tidak bosan-bosan bacanya.

Karena kesukaan gue pada hal-hal dramatis, maka cara bicara gue di dunia nyata sebenarnya gak beda jauh dengan cara bicara gue di blog. Lebay-lebay sok baku gitu deh. Gue kira cara bicara gue yang demikian cuma berlaku di blog, eh ternyata, sudah menjadi bagian dari jati diri.

Gue sebenarnya bukan orang yang boros-boros amat. Gue jarang membuang-buang duit untuk hal-hal tidak penting atau sekedar untuk keasoyan duniawi. Gue bisa tahan beli baju, sepatu, make up, atau apapun itu yang biasanya gak bisa ditahan beli oleh cewek-cewek.

Tenang, gue masih lumayan cewek kok. Gue masih pakai make up dan pakai baju-baju sebagaimana cewek 18 tahun pada umumnya. Gue gak begitu suka pakai foundation, tapi gue suka sekali mascara dan eyeliner. Menurut gue, eyeliner itu sexy banget. Gak penting, ya?

Lanjut ke masalah keuangan. Uang gue lebih sering habis untuk... makanan.

Gue berantakan. Seumur-umur, kamar gue gak pernah rapi. Dulu waktu belum ngekost, kamar gue berantakan bak kapal pecah. Gue kira dengan pindahnya gue ke kostan, kamar gue akan rapi. Ternyata gue salah, kamar gue masih berantakan. Mungkin gue ini terkena semacam kutukan dari dewi kekacauan, makanya dimanapun gue berada, pasti di sana kamarnya berantakan. Entahlah.

Gue tidak tertata dan tidak apik. Ibaratnya kalau dalam dunia seni panggung, gue adalah tipe orang yang benar-benar gak cocok kerja di bagian artistik. Gue akan disebelin sama orang-orang lain di tim artistik. Gue adalah tipe orang yang kalau ada kecoret sedikit, akan bilang "Ah, udahlah gak apa-apa. Cuma dikit ini,"

Maka itu, gue adalah tipe orang yang lebih suka mengerjakan sesuatu secara spontan dan dinamis. Membutuhkan berpikir secara cepat (karena menurut gue, kepepet memiliki kekuatan tersendiri), dan berpindah-pindah tempat. Namun, sejujurnya gue juga suka bekerja di meja kerja. Semakin berantakan meja kerja gue, semakin gue asik dengan suatu kerjaan.

Tapi gak bisa dipungkiri kalau gue ini mageran.
(Mager = Malas Gerak)

Gue kalau PMS sadis. Sesungguhnya, korban utama dari PMS gue bukanlah diri gue sendiri, melainkan pacar gue dan teman-teman terdekat gue. Kadang gue sampai-sampai kasihan sama pacar gue yang menjadi korban omelan kalau gue lagi PMS.

Pernah suatu hari, sahabat gue, Kinta bilang, "Lo tuh sadis banget ya, Vid. Beneran deh kalau lagi PMS, gak nahan nyebelinnya."

Kemudian gue pun sadar diri. Beruntung, pacar dan teman-teman terdekat gue sangat-sangatlah penyabar, baik hati, tidak sombong, rajin menambung, cerdas, dan teladan kita semua.

Tiga hal yang gue gak ngerti--kenapa ada orang yang bisa melakukannya:
1. Menghafal jalan
2. Main dan menyusun rubik
3. Membuat simpul tali seperti di pramuka

Gue benci melakukan sesuatu yang mengandalkan hafalan dan berstruktur. Rasanya otak gue keburu keriting kalau harus melakukan hal-hal sedemikian. Kalau suatu hari lo tersesat di hutan bareng gue, pilihannya cuma dua, yaitu:
1. Jangan tanya gue kemana jalan keluarnya karena gue cuma akan bikin kita berdua tambah nyasar.
2. Mending lo kabur aja karena gue pasti menyusahkan masa-masa terakhir hidup lo. Entah karena gue nangis di tempat, atau karena gue terlalu pasrah untuk melanjutkan perjalanan mencari jalan keluar.

Maka itu, gue lebih suka berlibur di pantai daripada di gunung atau di hutan. Pantai itu lebih damai, hangat, dan gak menguras banyak tenaga untuk didaki.

Tapi walaupun tidak memungkinkan untuk bertahan hidup di hutan, gue suka jalan-jalan sendirian. Gue suka mendatangi tempat-tempat baru. Entah untuk foto-foto (bukan selfie), atau yang lebih menyenangkan: mencicipi kuliner-kuliner unik. Menurut gue, mencoba hal-hal baru adalah suatu kepuasan tersendiri.

Gue tidak keberatan pergi sendirian. Bukan kesepian, cuma gak masalah saja kalau harus sendirian. Tapi, bersenang-senang bersama teman-teman pun gue menikmati. Menurut gue, berani pergi sendirian adalah salah satu cara untuk menjadi independen.

Tapi gak bisa dipungkiri kalau dibalik kesongongan gue yang tiada tara ini, gue sebenarnya lenje dan cengeng. Tapi yang ini gak usah dibahas. Gue harus selalu menjaga image tangguh dan pemberani.

Ternyata panjang juga ya curhatan gue yang sangat tidak penting ini. But well, gue ingin mengakhiri 2016 ini dengan menunjukan jati diri gue. Gue akan selalu berusaha untuk menjadi kuat dan tangguh. Bukan karena gue ingin menjadi seseorang yang lain, tapi karena gue ingin menjadi orang yang lebih baik. Selamat memulai tahun yang baru! Jangan lupa coba hal-hal baru ya!

Untuk 2016

Selasa, 27 Desember 2016

Bentar-bentar. 
LAH???? 
KOK UDAH 27 DESEMBER??? 
KOK 2016 UDAH MAU KELAR??? 

LAH???
LAH???
LAH???

Oke. Jadi, 2016 udah mau berakhir...

2016 sudah menjadi tahun terpaling-paling dalam hidup gue (Kalau gak ngerti apa itu terpaling-paling, silakan definisikan sendiri paling apanya). Gue gak tau apakah teman-teman, terlebih teman-teman segenerasi, merasakan hal yang sama atau enggak. Tapi buat gue, 2016 has been such a roller coaster in my chronology of life. Semua hal-hal paling dramatis, menyenangkan, menakjubkan, dan bikin pengen mati sekalipun terjadinya di 2016. Bisa dibilang, seumur hidup gue yang tepatnya 18 tahun lewat delapan bulan ini, tahun terdramatis adalah 2016. Untuk itu, gue ingin membuat tulisan singkat untuk mengapresiasi segala kedramatisan di 2016. 

Berikut kronologi singkatnya: 

Januari 2016: Perang Dimulai
Gue merayakan pergantian tahun baru di Cirebon, bersama nenek gue, Deti. Gak banyak hal yang gue lakukan untuk menyambut si dramatis 2016. Tapi di awal 2016 ini, gue tahu bahwa pertarungan sadis baru saja akan dimulai. Pertarungan untuk ujian nasional, ujian masuk perguruan tinggi, menghadapi perpindahan, perpisahan, dan lain sebagainya yang gue gak bisa sebutin saking dramatisnya. 

Februari 2016: Nyamuk-nyamuk Nakal
Di akhir bulan ini, gue hampir mati. Bohong deng, gak beneran hampir mati. Cuma rasa khawatir orang-orang yang bikin gue merasa mau mati. 

Jadi gini ceritanya: 
Suatu hari, gue datang ke sekolah dengan motivasi belajar super minim dan dalam keadaan sehat wala'fiat. Tiba-tiba di tengah jam belajar, gue merasa sakit kepala. Awalnya cuma sakit kepala ringan, lama-lama sakit kepalanya nyolot jadi sakit kepala berat dan demam. Hari itu, gue bikin heboh satu kelas 12 Viburnum. Karena gue kedinginan, padahal hari itu cuacanya sama sekali gak dingin, gue minta agar AC di kelas gue dimatikan. Dalam keadaan gue hampir tepar di pojok ruangan kelas, teman-teman di kelas rela berpanas-panasan. Tapi tenang, itu gak berlangsung lama kok. Gak lama kemudian, gue tidur di UKS, kemudian dipulangkan oleh guru gue, Pak Ikhwan, karena mungkin tampang gue waktu itu udah kayak tampang-tampang mau metong. 

Sampai rumah, gue lanjut tepar di sofa. Popop gue langsung membawa gue ke rumah sakit. Atas perintah dokter langganan gue, yang kebetulan juga langganan banyak teman-teman gue di Cibubur, dan jadi dokter idaman mereka, gue langsung dirawat. Waktu itu belum ketahuan sakit apa. Tapi karena dokter ini punya intuisi yang tinggi, dia sudah tahu kalau ujung-ujungnya gue akan dirawat karena demam berdarah, yang kebetulan waktu itu memang lagi hectic. 

Biasanya, trombosit akan naik lagi setelah tiga hari merosot. Tapi anehnya, gue sudah seminggu dirawat dan trombosit gue gak naik-naik. Gue inget berapa angka tepatnya. Tapi kata mereka, tanda-tanda udah parah adalah ketika si pasien mengalami bintik-bintik dan pendarahan. Setelah seminggu dirawat, gue mengalami batuk-batuk berdarah dan mimisan. 

Semua orang panik bukan main. 

Dokternya bilang gue harus banyak makan supaya trombosit gue naik. Kalau gak naik-naik, gue harus masuk ICU. Masalahnya, gue benar-benar mual dan sama sekali merasa gak napsu makan. Alhasil, mama dan popop gue panik. Mama gue nangis-nangis, takut trombosit gue gak naik-naik. Salah. Gak cuma mereka yang panik. Nenek dan keluarga besar gue datang dengan muka-muka khawatir. Beberapa rekan dan saudara datang dengan muka yang sama khawatirnya, kemudian bersama-sama berdoa, barang kali masih ada kesempatan untuk sembuh buat gue. 

Karena kekhawatiran mereka, gue ikutan mau meledak. Karena gak tahan dengan kondisi mencekam ini, gue menelpon Zhafira. Zhafira pun datang untuk kedua kalinya bersama Iyo dan Tania. Gue ingat benar, kedatangan Zhafira yang pertama ditemani Cika, Iyo, dan Marsha. Karena Zhafira cinta sekali sama gue, makanya dia rela datang lagi ke rumah sakit. 

Di antara semua penjenguk yang datang dengan muka khawatir setengah mampus, Zhafira datang dengan muka datarnya. Awalnya sih dia khawatir, tapi makin percakapan berlangsung, makin ketara kata-katanya, "Hahaha, santai ah. Udah kayak mau mati aja lo, Vid,"

Memang sih kedengarannya nyolot. Tapi kalau Karamel bilang, Zhafira sukses menjadi penghibur yang baik. Dia memperlakukan orang yang sedang sakit seakan-akan orang itu gak lagi sakit. Zhafira memperlakukan gue seperti gue sedang baik-baik saja. Sebetulnya, perlakuan tersebut yang bikin gue merasa lebih baik. 

Di tengah-tengah kepanikan orang-orang yang beranggapan bahwa gue mau mati, gue berdoa. Gue masih ingin merasakan kuliah di (please banget jangan judge gue) UI. Gue masih ingin merasakan hectic dan happy-nya menikah, punya anak (walaupun kebanyakan anak kecil gak suka bersahabat dengan gue). Intinya, gue masih ingin merasakan dramatisnya hidup. Waktu itu doa gue adalah... minta diberi kesempatan lebih lama untuk menyenangkan hati orang lain. Setidaknya, mungkin itu bisa jadi cara gue jadi sesuatu yang berguna di dunia. 

Gak lama kemudian trombosit gue naik. Gue gak jadi mati. Yep, ternyata doa konyol gue didengar. 

Maret 2016: Bantai Terus
Persiapan UN. Seperti anak-anak menjelang ujian pada umumnya, gue bimbel setiap hari. Sekolah jam 07.00 - 15.30, lanjut bimbel jam 16.30 - 18.00 dan 18.30 - 20.00. Mantap, gak? 

Kebetulan, gue satu tempat bimbel bareng Zhafira, Tania, dan Cika. Gue sering nongkrong di warung kopi dekat tempat bimbel bareng Zhafira seusai jam belajar. Seperti biasa, percakapan dengan Zhafira selalu dalam. Di warung kopi ini kami sering berbagi tentang besarnya rasa khawatir kami menghadapi ujian dan yang lebih besar: perpindahan. 

Foto gue dan Zhafira di pojokan kelas, spot favorit kami. Kami kedinginan, jadi kami pakai sarung milik Fathia. Gak lama setelah foto ini diambil, sarung Fathia hilang dan tidak kembali.

Foto terakhir, ketika kami lagi hectic-hecticnya dengan persiapan Ujian Nasional.


April 2016: Jangan Nangis, Masih Bantai Terus
Ujian Nasional. Pertama kali dalam sejarah SMA gue, ujian menggunakan komputer. Sebutannya CBT. Sejujurnya, gue merasa sangat dimudahkan dengan adanya CBT. Kami peserta jadi terhindar dari kendala kurang hitam atau kurang tebal. Usai ujian, perjuangan belum kelar. Perjuangan yang sesungguhnya baru saja dimulai. Perjuangan untuk mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi negeri. 

Gue berubah jadi mahkluk nokturnal. Bimbel jam setiap hari dari siang sampai malam. Sampai rumah, bantai lagi sampai pagi, lalu tidur sampai siang. Bangun tidur, siap-siap berangkat bimbel. Sehari bisa konsumsi kopi sampai 3 cangkir. Alhasil, gue jadi pecandu kafein. 

Oh iya, perjuangan ini membawa gue bertemu dengan orang-orang super epic dan hebat di kelas tempat bimbel. Kami bersembilan. Cita-cita kami macam-macam.  Kelas yang harusnya kondusif untuk belajar, berubah jadi kondusif untuk main kartu dan pesan pizza. Tapi justru keadaan kondusif itu yang bikin kami mendukung satu sama lain. 

Ini foto setelah kami order pizza sambil main kartu. Kami ditegur kelas lain karna kami berisik sekali di kelas.
Pengumuman hasil jalur undangan PTN. 
Gue gak lolos. Gak satupun dari jalur yang gue ikuti menunjukan hasil yang positif. Mimpi gue dari jaman baru masuk SMA hari itu hancur bukan main. Gue merasa sia-sia. Gue nangis berhari-hari. Skala 1 - 10, sakit hatinya ada di tingkat 10. 100 kali lebih sakit daripada putus cinta. Kalau teman-teman mau tahu, teman-teman boeh baca di post yang judulnya "10/10". Intinya, hari itu gue benar-benar merasa patah hati, sepatah-patahnya. 

Tapi percayalah, patah hati selalu punya bahagianya sendiri di akhir cerita. 

Mei 2016: Nangis bersama Peserta SBMTPN di Bekasi
Promnight. Wisuda SMA. Intinya, di bulan ini perpisahan benar-benar ada di depan mata. 

Waktu itu, sejujurmya, gue gak takut untuk meninggalkan dunia SMA. Sama sekali gak takut. Gue tahu pasti bahwa perpisahan gue dengan teman-teman di SMA adalah berpisah untuk sesuatu yang lebih baik. Gue juga tahu bahwa berpisah waktu itu bukanlah benar-benar berpisah. Waktu itu gue yakin bahwa yang ada di hati gue akan selalu ada di hati gue. 

Beberapa dari mereka yang punya tempat di hati gue memang tetap tinggal di hati gue, bahkan sampai detik ini. Tapi ada satu yang ternyata... nantinya (pada bulan berikutnya) pergi dan tidak lagi menjadi bagian dari perjalanan romansa gue. 

Waktu itu yang gue takutkan adalah... Gimana kalau di tempat yang baru nanti, semuanya gak semudah apa yang terbiasa? 

Gimana kalau di tempat baru nanti, beradaptasi jadi sesuatu yang sulit? 

Satu dari sekian banyak foto wisuda. Cuma ini yang muka guenya paling mending.

Muka gue sangat-sangat canggung. Tapi sejujurnya, gue suka sekali foto ini.

Menemani Tuan Putri makan di promnight. Bella, kesayangan gue. Selalu. Sampai 2016 pun, masih. 
Main band terakhir bareng Skylight sebelum lulus. Ngelihat foto ini, rasanya ingin main sama mereka lagi.
Namanya Geng Invisible. Setiap sosiologi, kami bertiga sekelompok. Kelompoknya ada, tapi hasilnya nggak ada. Karena itu kami dengan bangga menamai geng kami "Geng Invisible". Ah, kangen. 

Ujian masuk PTN (SBMPTN). 
Gue kedapatan ujian di Bekasi. Gue berangkat diantar Popop gue. 
Jujur sih, gue sama sekali gak bisa mengerjakan. Gue merasa perjuangan gue banting fisik dan mental sama sekali tidak membuahkan hasil ketika berhadapan dengan soal-soal. Waktu kelar ujian, banyak peserta lain, terlebih cewek-cewek, nangis. Gue ingin nangis, tapi ah, sudahlah. Prinsip gue waktu itu: datang, kerjakan, lupakan. 

Oh iya, ada kejadian lucu soal SBMTPN. 
Kedua orang tua gue (awalnya) ingin gue kuliah di UI. Jangan naif, siapa sih yang gak senang kalau bisa kuliah di UI? 

Waktu itu, pilihan gue cuma jurusan komunikasi dan sosiologi. Gue memang cuma punya minat ke dua jurusan ini. Dalam SBMPTN, kita punya kesempatan untuk memilih 3 jurusan dengan 2 universitas. Mama gue tidak ingin gue kuliah jauh-jauh. Mama gue bahkan kelihatan keberatan kalau gue harus nge-kost dan jauh dari rumah. Tapi karna masih sisa 1 kesempatan untuk pilihan di SBMPTN... gue diam-diam, tanpa sepengetahuan orang tua, mengambil jurusan jurnalistik di suatu universitas yang kata orang unggul di fakultas komunikasinya. 

(Cerita soal hasil SBMPTN berlanjut di bulan Juli)

Juni 2016: Berubah menjadi Manusia Polar Bear
Ujian Mandiri SIMAK. Intinya, gue gak lolos. 

Usai ujian mandiri, hidup gue bebas merdeka. Makan, tidur, main, makan, tidur, main. Gak ada kewajiban untuk begadang atau bangun pagi. Suka-suka gue mau buang waktu untuk apa. Ya memang sih, sambil bebas, sambil pasrah-pasrah soal hasil ujian PTN. 

Foto ini kami ambil waktu merayakan ulang tahun Aulia. Yang ulang tahun Aulia, yang foto gue dan Bella. 
Berhubung gak ada foto Aulia di 2016, jadi gue ambil foto gue dan Aulia di 2013. Tenang, sekarang tampang gue gak seaib itu kok. Tapi ngomong-ngomong, Aulia sudah menjadi bagian berharga dari kisah hidup gue. Selalu. Sampai di 2016 pun, masih. 

Juli 2016: Kejutan untuk Mamak
Hasil SBMPTN. 

Setelah kepasrahan gue yang tiada tara, dan tentunya berkat kuasa dan keajaiban Tuhan Yang Maha Penguat Maha Penghibur, ternyata gue lolos. Yep, lolos di pilihan ketiga yang gue ambil tanpa sepengetahuan orang tua gue. Mama gue yang pertama kali membuka pengumuman hasil SBMPTN. Dia menjerit. Entah menjerit karena bangga, atau karena kaget kenapa tiba-tiba nama gue nyantol di universitas ini. 

Tapi tenang saja, gue tetap diizinkan untuk melanjutkan kuliah di universitas ini kok. 

Kisah dramatis belum berakhir. 
Di bulan ini, gue patah hati. Kisahnya gak begitu menyenangkan. Intinya, gue nangis gak hanya sehari atau dua hari. Tapi gue percaya, setiap patah hati mengajarkan kedewasaan. Intinya, gue berterima kasih untuk setiap manis dan pahitnya. Karena itu, gue bisa menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Terima kasih ya. Itu berarti sekali. 

Gak cuma belajar untuk jadi lebih dewasa, gue juga belajar untuk jadi lebih kuat. Sayangnya, gue tidak sekuat itu. Patah hati ini membawa gue ke kemunafikan. Gue berpura-pura menjadi orang yang tangguhnya bukan main, untuk melindungi diri gue sendiri dari patah hati yang lain. Gue secara sangat sengaja memberikan kesan kukuh, supaya gak ada yang berani macam-macam. 

Saat gue berpura-pura tangguh dan berani, sebenarnya gue cupu dan takut untuk mulai sesuatu yang baru. Membuka diri pada dunia baru sama sekali bukan hal mudah waktu itu. Gue terlalu berantisipasi, takut-takut kalau harus patah hati lagi. 

Dalam pikiran gue waktu itu, mumpung gue akan hidup di tempat baru dengan teman-teman baru di kuliah, mungkin itu akan jadi waktu yang tepat untuk sepenuhnya berubah. Berubah jadi diri sendiri yang semoga lebih baik... dan lebih kuat. 

Kemunafikan gue lenyap ketika gue ternyata dipertemukan dengan orang-orang super hebat di bulan-bulan selanjutnya. 

Tapi gue bersikeras: Gue akan bertahan sendirian. Gue bertarung untuk keselamatan gue sendiri. 

Agustus 2016: Bangun di Pelukan Bapak Satpam
Gue mempersiapkan kuliah. Ditemani Popop, gue mencari kost-an, mengikuti ujian kesehatan, dan melakukan registrasi ulang. Hectic. Antara pusing persiapan, dan pusing karena takut harus memulai hidup di lingkungan baru bersama orang-orang baru. 

Gue pingsan di mal waktu lagi milih-milih pakaian dalam untuk stok di kost-an. Gue tiba-tiba blackout dan bangun-bangun dalam gendongan bapak satpam. Ini nonfiksi. Gue bikin panik banyak mbak-mbak di mal. Sejujurnya, ini sangat-sangat memalukan, tapi gue selalu ketawa mengingat-ingat kejadian ini. Mudah-mudahan kisah gue yang garing ini bikin teman-teman ketawa juga. 

Diduga, gue pingsan karena tekanan darah rendah. Setelah ke dokter (dokter yang sama dengan dokter waktu gue kena deman berdarah di bulan Februari), gue dinyatakan kecanduan kafein. Ternyata, kehidupan nokturnal gue di bulan April sama Juni membuahkan hasil berupa kecanduan kafein. 

Mama gue, yang super duper berintuisi tinggi, menduga bahwa gue sebenarnya tidak sakit. Gue cuma sedih. Entah sedih karena patah hati atau karena mau pergi jauh. Mama gue mengajak gue jalan-jalan. Beliau bilang terserah gue mau jalan-jalan kemana, Mama dan Popop gue pasti temani. Gue minta jalan-jalan ke SeaWorld, Ancol. Gue memang sudah lama ingin ke SeaWorld, ingin lihat kuda laut. Gue selalu suka SeaWorld. Selalu. 

Terima kasih karena mau ketawa dan nangis bareng aku ya, Ma. Terima kasih karena selalu ada untuk aku. 

Terima kasih karena selalu mau temani aku ya, Pop. Terima kasih karena selalu ajarin aku untuk kuat dan berani.
Mulai kuliah. 
Ospek universitas, gue stres bukan main. Bukan karena ospeknya, tapi karena gue sedang haid dan sedang mencoba bertahan hidup dengan kamar baru, tempat tinggal baru, tanpa keluarga, tanpa satu pun orang yang gue kenal selain Anisa, teman SMA gue yang sekarang satu universitas tapi beda fakultas. 

Sempat-sempatnya foto di kost-an sebelum berangkat ospek hari pertama.

Ospeknya seru. Seru banget. Sayangnya, gue sedang tidak kondusif untuk seru-seruan. 
Gue datang ke ospek dengan mood yang sangat-sangat kacau dan sakit perut klimaks. Gue tidak bawa ponsel karena gue pikir, lebih aman kalau ditinggal di kamar kost-an. 

Di tengah-tengah ospek dan di tengah-tengah sakit perut gue, tiba-tiba datang Kevin Aprilio. 

Ya, gue tahu kok. Cerita gue terdengar sangat random dan aneh. Tapi ini beneran. 

Gue sangat-sangat mengidolakan Kevin Aprilio. Beliau adalah insipirasi gue dalam bermain musik. Gak kok, gue gak sejago itu. Gue ngomong gini supaya kesannya Kevin Aprilio sangat-sangat berarti dalam hidup gue. 

Tapi beliau beneran berarti dalam hidup gue. Gue mengidolakan beliau sejak gue masih SD. Menurut gue, lagu-lagu buatan beliau sangat bagus dan chord-nya bombastis. 

Sayangnya, hari itu gue gak bawa ponsel. Gue tidak bisa mengabadikan momen berharga itu. Pulang ospek, gue menelpon Popop gue dan menangis-nangis karena gak bisa mengabadikan momen Kevin Aprilio datang ke ospek gue. Cengeng, ya?

Cewek PMS memang gak ada yang nandingin ribetnya. 

Seminggu pertama di tempat baru, gue ansos bukan main. Gue gak punya teman. Gue menghabiskan waktu dengan menyendiri di kamar kost-an. Gue tidak ingin membuka diri dengan dunia baru karena gue masih ingin fokus pada kesedihan gue. 

Dua minggu kemudian, gue mengikutsertakan diri ke dalam perkumpulan cewek-cewek. Awalnya sih, malas-malas gimana gitu. Tapi ini dia pentingnya gak menilai sesuatu hanya di awal. Tanpa gue sangka, orang-orang gue temui ini... sekarang memiliki arti yang sangat-sangat dalam di hidup gue. 

Orang-orang Hebat

Setelah dapat bunga. Ini foto gue bersama beberapa dari orang hebat yang gue temui di tempat baru. 

Beberapa dari mereka. Gue senang dipertemukan sama mereka. Gue rasa gue bisa bertahan sampai detik ini karena mereka. Terima kasih ya.
Waktu merayakan ulang tahun Ara dan Cece. 
Gue dan Kinta. Stay strong, Kinta. Setiap orang memang harus pergi pada akhirnya. Tapi percayalah, kamu sudah membuat hari banyak orang cerah ketika orang-orang itu ada di hidup kamu. Aku sayang kamu, Kin. 

Dengan masih beranggapan bahwa menjadi sendirian adalah cara untuk berlindung dari patah hati, kemunafikan gue perlahan-lahan diluluhkan. 

September 2016: Rumah Baru (Ini dramatis banget)
Gue datang ke tempat baru (kuliah) dengan kesombongan. Dalam pikiran gue waktu itu, gue akan dan mampu bertahan diri sendirian. Gue kira, menutup diri adalah cara untuk bersikap tangguh. Gue kira itu cara untuk melindungi diri dari patah hati. Gue kira gue gak butuh orang lain. Gue kira pertarungan ini gue sendiri yang jalanin. Gue kira gue sesendirian itu.

Ternyata gue salah. Gue dipertemukan dengan keluarga besar. Gue ternyata punya tempat tinggal. 

Gue yang awalnya bersikeras untuk menjadi penyendiri ternyata pada akhirnya tengahnya ditugaskan untuk menjadi... 

apa ya... 

Hokage

Ya, lebih baik gak perlu dijelaskan pajang lebar apa itu hokage. Intinya, visi misi gue untuk bertarung sendirian hancur. Dihancurkan oleh keluarga baru yang gue temukan di tempat baru. Tapi percayalah, itu adalah kehancuran paling berarti yang pernah ada. 

Oh iya, keluarga baru juga menghancurkan kesombongan gue. 
Di tempat baru ini, gue bertemu banyak "kakak" yang entah sebenarnya disengaja atau tidak, mengajarkan gue tentang bertahan hidup di "hutan belantara".

"Hutan belantara" = kehidupan kost-an dengan uang terbatas, tugas menumpuk, dan tantangan apa saja yang mungkin gak kelihatan tapi bisa tiba-tiba muncul

Dengan segala kerendahan hati, aku sangat-sangat berterima kasih. 

Tapi gue tidak akan berhenti untuk menjadi tangguh (atau berpura-pura tangguh). 
Kalau gue hokage, gue ingin semua ninja dan warga Desa Konoha tangguh bersama gue. 

Gue akan melakukan apapun untuk melindungi diri gue dari patah hati, awalnya
Tapi ternyata gue masih saja jatuh cinta. 
Gue mencintai Fikom. 

Tempat tinggal.

Di bulan ini juga, sahabat gue, Iyo, berangkat ke Jepang. Ini adalah salah satu momen penting di 2016 karena gue tahu, berangkat ke Jepang adalah mimpi Iyo sejak kami sama-sama baru masuk SMA. Tercapainya mimpi Iyo adalah suatu doa yang terkabul dari kami-kami, yang juga selalu didukung sama Iyo. Iyo is such a good friend. Sukses terus ya, Yo!

Hacika, Iyo, Zhafira, Nobita, Marsha
Terima kasih karena sudah mengingatkan gue bahwa beberapa hal di dunia ini memang diciptakan untuk ditertawakan. 

Oktober 2016: Bertemu dengan yang Lebih Manis dari Popcorn Karamel di XXI

Nah ini.
Ini dia.
Ini dia yang gak ditunggu-tunggu, tapi datang sendiri. 

Suatu hari, teman-teman di angkatan gue hendak mengadakan acara. Tugas gue dalam "kepanitiaan" adalah mengajak teman-teman di angkatan untuk bergabung dalam acara. Dalam suatu kesempatan, gue harus berbicara dengan seorang "kepala suku" dari sebuah jurusan, namanya Karamel. 

Gue sudah tahu Karamel sejak lama. Cuma, kami belum pernah diharuskan untuk berkomunikasi atau berinteraksi. Yang gue tahu, gayanya maco bukan main. Seram. Cowok banget. Mana bisa gue ajak ngobrol? Orang yang kayak gini nih, gak akan cocok sama orang lenje kayak gue

Namun atas dukungan dan motivasi Somin, rekannya Karamel, gue memberanikan diri mengkontak Karamel. "Coba aja kontak. Orangnya baik kok, kayaknya cocok sama kamu," kata Somin. 

Gue kasih tahu lo:
Jangan pernah menilai sesuatu sebelum lo mencoba. Jangan pernah menilai orang sebelum lo nyemplung langsung ke dunianya. Jangan. Pokoknya jangan. Kita gak akan pernah bisa benar-benar menilai seseorang sampai kita benar-benar nyemplung ke dalam dunia orang itu. 

Kemudian gue kecemplung. Gue yang awalnya bersikeras untuk gak pernah membuka diri, apa lagi jatuh cinta, kemudian jatuh sedalam-dalamnya. 

Tanpa disangka, Karamel menjadi tokoh utama dari kisah romansa gue. 

Percakapan kami melenceng. Yang awalnya mau ngobrol tentang acara angkatan, justru berlanjut dengan percakapan mendalam tentang ideologi, prinsip hidup, cita-cita, dan Harley Quinn. 

"Kenapa Harley Quinn?" tanya Karamel. Home line gue gambar Harley Quinn, colongan dari WeHeartIt

"Karena Harley Quinn gila. Dia gak punya super power. Kadang gila itu sama kuatnya dengan kekuatan super. Jadi, jangan takut ngelakuin hal-hal gila," jawab gue antusias. 

"Keren. Gue terkagum sama eksplanasi lo yang ringan tapi kena. Terasa jujur," kata Karamel. 

Karamel gak pernah bosan bertanya dan mendengar cerita gue. Karamel memperkenalkan dirinya sebagai Vincent dan mengizinkan gue untuk memperkenalkan Nobita (diri gue) sebagai Vidya. 

Sampai detik ini, gue masih menjadi Vidya yang bercita-cita untuk menjadi tangguh dan gila. Karamel masih menjadi Vincent yang maco, tangguh, dan berani. Kami jatuh cinta pada jati diri dan dunia satu sama lain. 

Gue akan melakukan apapun untuk melindungi diri gue dari patah hati. Tapi sekarang, gue berbelok. Gue akan melakukan apapun untuk melindungi diri gue dan Vincent dari patah hati. 

"Mudah-mudahan kita bisa nutupin ego masing-masing buat ngechat duluan ya," kata Karamel setelah percakapan pertama kami yang sangat-sangat melenceng dari tujuan awal. Gue jatuh cinta pada Karamel. 

Jadi... begitu cerita gue ketemu Karamel. Yep, Somin adalah cupid-nya. 
Ini namanya Vincent. Eh, maksudnya Karamel. Orangnya pintar, maco, galak, judes, gak bisa bangun pagi. Saya jatuh cinta sama orang ini. 
Vincentius sangat sinis dan keras kepala. But you really do, like me anyway. Don't you, Vincentius?

November 2016: Mati Satu Tumbuh Seribu
Di bulan ini, gue paham apa itu kuliah. Ya, baru paham. Di bulan ini, tugas benar-benar menumpuk. Satu tugas kelar, datanglah tugas-tugas lainnya. Mati satu tumbuh seribu!

Kata orang, jurusan yang gue ambil adalah jurusan paling mematikan. Tugasnya banyak, lulusnya pun gak mudah. Di bulan ini, gue baru paham dengan apa yang dimaksud mematikan

Ini dia yang gue takutin...
Mungkin gak ya gue bisa bertahan?

Desember 2016: 12 dari 12
Natal tahun ini gak begitu ramai. Tapi semua ketidakramaian itu terbayar dengan segala kedramatisan yang terjadi di 2016. Setidaknya, gue masih diberi kesempatan untuk merasakan Natal lagi. 

2016 benar-benar memiliki kisah yang dramatis bagi gue. Setiap pahit dan manisnya adalah sangat-sangat berharga. Pahitnya mengajarkan gue untuk menjadi kuat dan ikhlas. Manisnya mengajarkan gue untuk berani melangkah dan mencoba hal-hal baru. Gue sangat-sangat bersyukur. 

Foto-foto dan cerita di atas hanyalah beberapa bagian dari kisah-kisah manis di 2016. Karena keterbatasan waktu dan kesempatan, jadi gak semuanya bisa diceritain, deh... 

Intinya, untuk siapa pun yang pernah hadir dan menjadi bagian di hidup gue...
Terima kasih banyak ya. Teman-teman sangat berharga bagi Vidya. 

Selamat tinggal, 2016. 

Rabu, 07 Desember 2016

Lebih Manis dari Popcorn Caramel di Bioskop

Seperti biasa, malam ini aku mau cerita. Masih bersambung dengan cerita di post sebelumnya, aku mau lanjutin cerita tentang Si Bintang Jatuh.

Kenapa? Bosan? 

Gak apa-apa, suka-suka aku mau cerita apa di diary-ku sendiri! 

Bohong deng. Gak suka-suka gue. Plis banget jangan cabut dari blog gue. View dari lo berarti banget demi masa depan gue. 

Lebay aja sih, tapi serius. 

Oke, ayo serius.

SERIUS AH.

Jadi, namanya Vinc... 
Bentar-bentar, mendingan kita cari dulu nama yang asik buat mensensor nama tersangka (soalnya post ini akan dipublikasikan tanpa seizin orang yang bersangkutan). 

Oke. Jadi, namanya Karamel
Karamel karna popcorn rasa caramel lebih manis, enak, dan mahal (dan berharga) daripada popcorn rasa asin. 

Sebenarnya gue lebih suka sate padang dan kwetiau goreng, tapi agak kasihan kalau dia disebut sebagai sate atau kwetiau, jadi lebih baik kita sebut dia Karamel. 

Lagi pula, karamel manis. Sama seperti Si Bintang Jatuh, kalau senyum manis. Eh salah, gak senyum juga manis, deng

Pertemuan kami gak dramatis, tapi bermakna. Ceritanya seru banget, tapi terlalu panjang untuk diceritain di sini. Gue gak bisa cerita panjang lebar tentang pertemuan kami yang dipenuhi dengan keajaiban takdir. (Sejujurnya gue gak begitu tahu apa yang mau gue ceritakan. Ini adalah salah satu post paling tidak terkonsep di blog ini). Tapi yang pasti, terlepas dari siapa yang membaca post ini, gue tahu pasti bahwa gue bangga punya Karamel

"Semakin kita kenalan, semakin kita kelihatan manusianya," kata Karamel. 

"Dari awal kenalan, aku udah mandang kamu sebagai manusia," jawab gue pada pernyataan Karamel yang kedengarannya intelek sekali sampe-sampe gue keder mau jawab apa. Sebenarnya, gue paham apa maksud Karamel. 

Gak bermaksud sok intelek sedikit pun (karna kenyataannya ilmu pengetahuan gue cetek sekali), tapi menurut mata kuliah logika dasar, Democritus pernah bilang bahwa semua yang terjadi di alam semesta adalah hasil dari pertabrakan partikel yang mikroskopis. Semua. Semua termasuk jatuh cinta sekali pun. Katanya, jatuh cinta adalah hasil dari pertubrukan hormon. Jadi, jatuh cinta itu memang mungkin ada dan itu manusiawi. Mulai sekarang, jangan menilai gue dramatis melankolis setiap gue bilang jatuh cinta karna kenyataannya, jatuh cinta itu benaran ada di dunia, bukan cuma bahasa di novel. Dan jangan menilai gue dramatis melankolis setiap gue bilang jatuh cinta karna kenyataanya, gue tau diri bahwa gue benar-benar jatuh cinta sama Karamel. 

Gue yakin kita sama-sama tahu bahwa ketika kita jatuh cinta, kapabilitas indera kita seperti melemah. Saking seringnya bermimpi indah tentang si dia, kita jadi sering tenggelam dalam fantasi, padahal aslinya kita sedang ada di realita. Sama seperti gue bertemu Karamel. Karamel bikin gue mikir bahwa apa yang ada di fantasi, mungkin bisa aja jadi nyata. 

Mungkin hari-hari yang sepi itu gak selamanya harus jadi sepi. Mungkin gak selamanya gue harus berpura-pura tangguh untuk melindungi diri. Mungkin ada cara lain untuk berlindung, yakni dengan mencari teman. 

Karamel adalah bagian dari doa-doa gue yang belum sempat gue ungkapkan karna gue terlalu munafik untuk mengakui kalau gue butuh tempat tinggal baru. Tempat tinggal untuk pulang, beristirahat, dan seutuhnya nyaman sebagai diri gue sendiri. 

Ya, itu cuma sebagian dari alasan kenapa gue senang ketemu Karamel sih. Sisanya... gak begitu bisa dijelaskan. Saking senangnya, gue sampai sempat lupa bahwa gue dan Karamel adalah manusia

Lucunya, gue dan Karamel selalu se-iya-sekata. Kami sering memiliki prinsip yang sama, opini yang sama, bahkan sikap yang sama. Kami sama-sama canggung, sama-sama sans (saking sansnya gue jadi kelihatan gak niat idup), sama-sama gak mau repot. Kami bahkan mengejek hal yang sama (dalam hati aja karna kami gak mau ribut), menertawakan lelucon yang sama, dan memuji hal yang sama. Iya, kami memang se-sama itu. Tapi ternyata, kami sama-sama manusia. Kembali ke salah satu masalah terbesar kehidupan manusia: gak luput dari perbedaan. 

Semakin gue dan Karamel mengenal satu sama lain, semakin kami sadar bahwa kami sama-sama manusia yang sebenarnya gak seutuhnya sama. Ada banyak perbedaan yang entah sebenarnya harus diapain. Kami sama-sama mengakui bahwa masalah itu pernah ada karna ada yang beda di sini. 

Ternyata, kita semakin bisa ngeliat yang mana fantasi dan yang mana realita ya? 

Sampai sekarang pun gue tidak benar-benar tahu gimana caranya menyamakan dua hal yang terang-terangan gak sama. "Menghargai" katanya. Iya benar perbedaan itu dihargai, tapi terus gimana caranya kita ngelakuin sesuatu yang kita hargain, tapi gak kita setujuin? 

Sekarang gue paham kenapa gak sedikit masalah yang ada karna perbedaan. Jawabannya karna toleransi aja gak cukup. Kita butuh titik temu. 

Karamel, kalau-kalau kamu baca tulisan ini, aku sebetulnya gak tahu apa dan dimana titik temunya. Sayangnya, aku gak tahu. Tapi lepas dari ada atau enggaknya persamaan dan perbedaan, lepas dari siapa pun yang (dengan sabar) ngebuka dan ngebaca tulisan ini, aku senang dan aku bangga punya Karamel. Aku senang karna ternyata walaupun munafik, harapan-harapan aku masih didengar. Walaupun gak sempat diungkapkan, aku masih bisa ketemu Karamel. Aku gak bisa sebutin semuanya (karena aku jatuh cinta tanpa sebab), tapi kalau kamu mau tahu, ini adalah beberapa alasan kenapa aku senang dan bangga bisa ketemu Karamel:
1. Karamel senyumnya manis. Kalau kamu mau unjuk bakat, boleh. Kalau unjuk gigi, jangan. Soalnya senyum kamu manis, entar orang-orang pada naksir. (Baca: gue gak mau repot)

2. Karamel selalu punya pikiran dan ide-ide gila. GILA. Tapi menjadi gila adalah cita-cita gue. Kadang kita gak perlu punya kekuatan super untuk melakukan perubahan. Kadang kita cuma perlu jadi gila supaya kita gak malu dan gak takut untuk nekat dan bikin perubahan. Berikut adalah biodata singkat gue:

Nama                    : Vidya
Umur                    : 18 tahun
Makanan favorit   : Sate padang, sushi, kwetiau goreng, soto betawi, pecel lele
Minuman favorit  : Susu coklat, jus alpukat
(karna makanan adalah prioritas hidup gue)

Cita-cita                : jadi pemain film, jadi gila

Gue tidak hanya jatuh cinta pada Karamel, tapi juga jatuh cinta pada ide-ide gila dan pikiran terdalamnya. Pikiran dalam dia bikin gue sadar bahwa ternyata yang gila gak gue doang. Setidaknya, ternyata gue gila gak sendirian.

3. Karamel selalu penasaran tentang gue dan pikiran terdalam gue. Lebih dari itu, Karamel tidak hanya sayang sama gue, tapi juga sayang pada orang-orang yang gue sayangi. Percayalah, itu sangat-sangat berarti. 

Aku sadar kita sama-sama manusia. Kita gak sepenuhnya sama dan biasanya, perbedaan jadi masalahnya umat manusia. Dan karna kita manusia, gak ada yang bisa menjamin kalau selamanya itu benar-benar ada. Tapi sekecil apa pun kemungkinan dari "selamanya", aku siap. 

Siap bukan karna nungguin perpisahan, tapi siap karna gue senang setidaknya doa-doa gue pernah didengar. Terima kasih karna sudah datang ya, Vincent.

Titik hidup yang ada sekarang ini gak pernah menjadi bagian dari rencana gue beberapa waktu yang lalu. Yang gue ingat, beberapa bulan yang lalu semuanya pait. Tapi ternyata, kepahitan tersebut bikin gue ada di titik sekarang. Gue memang sotoy. Gue menilai sesuatu sebelum gue melihat dari lebih dekat. Sekarang gue sadar, kita gak akan pernah bisa menilai sesuatu seutuhnya, kecuali kita nyemplung ke dalam "sesuatu" itu.

Bersambung...

Ini bukan sinetron Mermaid Naik Haji Bareng Anak Jalanan dan Serigala. 

Sabtu, 12 November 2016

Naruto dan Bintang Jatuh

Suatu hari, anggap saja gue pernah berharap pada Bintang Jatuh. Dari kejauhan, gue lihat dia melintasi ranah angkasa, melesat seolah bersiap terhempas ke ranah bumi. Redup, tapi gue tahu cahaya itu ada. Semesta gak pernah menjanjikan kapan gue bisa bertemu si Bintang Jatuh yang mendarat di ranah bumi. Entah karena gue bersabar atau karena gue berserah, gue gak menghentikan langkah. Gue tidak berharap banyak, tapi gue tahu Bintang Jatuh itu ada di sini, bersamaan dengan gue dalam ranah bumi. Ya, bumi yang sama, tapi sisi yang berbeda. 

Gue gak berhenti melangkah. Bukan karena gue cerdas, bukan karena gue telah mempersiapkan semuanya dengan matang, melainkan justru karena sebenarnya gue gak begitu paham ke dunia mana gue melangkah. Karena ketidaktahuan itu, gue bertahan. 

Repetisi, katanya. Gue gak tangguh, sama sekali enggak. Gue berpura-pura tangguh supaya gue kelihatan cukup tangguh untuk gak diinjak oleh siapa pun. Gue harap kepura-puraan itu lama kelamaan bisa menjadi bagian dari realitas. Silakan sebut gue munafik karena kepura-puraan gue. Tapi kalau memang itu cara untuk jadi lebih kuat, kenapa tidak?

Lama kelamaan, kepura-puraan itu mulai menjadi bagian dari realita. Tameng gue yang sebenarnya rapuh ini seperti membawa kesan tangguh pada setiap kaca mata. 

Gue asik terlena dalam kepura-puraan yang bersiap menjadi realita, dan masih belum berhenti melangkah. Tapi hari itu, semesta seperti mengalunkan melodi dan membangkitkan intuisi gue. Di sana ada Bintang Jatuh. 

"Lo tau lo itu kaya apa? Kaya momentum. Gak bisa ditunggu, gak bisa dikejar. Tapi begitu datang, never cease to amaze," kata Bintang Jatuh. 

Bintang Jatuh itu benar-benar ada di bumi! Bumi yang sama, sisi bumi yang sama! 

Bintang Jatuh, bukan kamu yang seharusnya mengangkat puji-pujian pada semesta untuk doa yang terkabul, tapi aku. Kenyataannya, aku yang pernah berharap untuk dipertemukan dengan Bintang Jatuh. Sinyal Nonlokal mencintai aku, Bintang Jatuh. Dia mendengar semua yang ada dari hatiku; tangis, doa, puji-pujian, dan harapan yang tidak pernah diucapkan sekali pun. 

Terima kasih, Sinyal Nonlokal
Terima kasih, Bintang Jatuh. Jangan berubah karena Naruto jadi Hokage, ya!

Oh iya, satu lagi. Ini sama sekali bukan bacaan intelektual. Tapi gue rasa, ada partikel-partikel kecil dalam otak gue yang sedang bertubrukan. Hormon-hormon apalah itu namanya sedang membiarkan gue jatuh cinta!

Senin, 12 September 2016

Harus Minum Susu

Semua orang (setidaknya sebagian besar) pernah patah hati. Setiap orang punya kisah tersendiri tentang patah hatinya. Ada yang karena gagal, gak dianggap cukup setelah melakukan yang terbaik, ditinggal, atau bahkan karena omongan orang yang gak begitu menyenangkan. Mungkin sama seperti lo, gue juga pernah patah hati. 

Gue gak ingin sok pintar, sok tua, atau sok berpengalaman. Tapi yang gue tahu, kita bisa patah hati karena kita adalah makhluk hidup yang berhati. Dengan hati, kita menjadi perasa. Dengan hati, kita jadi tahu rasanya senang dan sedih. Dengan hati juga, kita jadi tahu rasanya mencintai dan dicintai. Rumit, tapi gak serumit itu kok. Intinya, hal baik dari patah hati adalah; setidaknya kita masih punya hati. 

Beberapa bulan yang lalu, gue patah hati. Nangis-nangisnya gak sebentar. Sedihnya juga gak semudah ketinggalan mamang tahu bulat. Gue gak bisa jelasin bagaimana kronologisnya, intinya; semua orang dan perasaannya (bahkan sikap dan perkataannya) bisa berubah, sama halnya dengan dia. 

Kalau lo bilang patah hati itu dampaknya panjang, gue ngerti banget rasanya. Gue sendiri nangis gak sebentar. Ini aib sih, tapi namanya juga diary. Gimana enggak? Udah mahwaktunya gak tepat (bertepatan dengan H-sekian mulai kuliah), gue dalam keadaan bingung dan gentar soal jurusan kuliah (takut sampai-sampai salah pilih jurusan karena jurusan yang gue ambil kabar-kabarnya kesulitannya mencapai tingkat dewa-dewi), dan yang paling ngeselin... Kangen rumah dan harus beradaptasi dengan lingkungan dan kamar baru yang kamar mandinya SANGAT-SANGAT... Gitu deh. 

Bagian terburuknya adalah gak semua orang bisa atau mau menunjukan kesedihannya depan orang lain. Gue salah satu dari orang-orang yang lebih suka menyimpan kesedihan sendiri dan itu SAMA SEKALI bukan hal baik. Itu justru nyusahin. Dalam pikiran gue, nangis atau sedih depan orang banyak cuma akan bikin gue kelihatan lemah. Gue terlalu gengsi dan munafik untuk nunjukin kecengengan dan kelenjean gue depan orang lain. Gue lebih suka dibilang kuat dan tangguh dibanding lemah dan butuh perlindungan. Gue lebih suka dipercayai untuk melindungi daripada dilindungi. Karena itu, gue ingin kuat. Buruknya adalah di depan orang banyak, gue bisa ketawa sama hal-hal receh (karena selera humor gue memang receh). Tapi begitu gue sampe kamar dan sendirian, semua penyesalan dan rasa takut datang lagi dan ujung-ujungnya?? Cengeng. 

Hari demi hari di lingkungan baru, gue mulai terbiasa. Gue mulai pede untuk nyetel musik gede-gede (karena tetangga kostan gue juga kerap nyetel lagu gede-gede, jadi gue gak perlu takut mengganggu), gue mulai terbiasa dengan suhu daerah sini yang kayak di Arab (kalo siang panas bikin gosong, kalo malem berangin), dan gue mulai terbiasa (lagi) dengan kebiasaan minum kopi tiap pagi supaya gak ketiduran di kelas kuliah. 

Oh iya, gue juga terbiasa dengan kehidupan baru setelah patah hati. 

Gue mulai berhenti menangisi hal-hal tentang dia. Gue mulai berhenti menangisi sakit hati gue. Gue mulai berhenti menangisi kangen rumah (yang ternyata juga menjadi masalah banyak maba selain gue). Gue mulai membuka diri dan berkenalan dengan dunia baru gue bersama teman-teman yang sangat lucu dan menyenangkan dan kamar kostan gue yang minimalis dan gak pernah rapih. 

Tapi ternyata bagian terburuk dari patah hati bukanlah bagian nangis-nangis berhari-hari. Tapi justru bagian "waspada"'nya. 

"Bukannya nyama-nyamain semua orang. Aku gak menyamakan siapapun sama dia. Aku tahu setiap orang beda, punya kelemahan dan kelebihannya sendiri-sendiri. Tapi aku gak mau ambil resiko untuk nangis lagi. Bukan trauma, tapi aku gak siap," ucap gue pada seorang teman di perjalanan kembali ke kostan. 

Gue gak bermaksud sok pintar, sok tua, atau sok berpengalaman. Tapi yang gue tahu, patah hati bikin kita jadi waspada sama banyak hal. Kita jadi berjaga-jaga, seakan-akan kesedihan yang sama akan datang lagi, seakan-akan kita akan menangis lagi untuk "kebodohan" yang sama. Kita jadi takut, seakan-akan membuka diri pada hal baru adalah sama dengan membuka diri pada patah hati yang baru. 

Entah sampai kapan gue akan berjaga-jaga sama patah hati yang lain. Entah sampai kapan juga gue akan bersikap munafik dan berbohong sama diri sendiri tentang perasaan. Tapi kalau boleh memilih, gue ingin memperkuat tameng lebih lama lagi. Gue ingin jadi seribu kali lebih kuat dan tangguh dari gue yang sekarang. Silakan kalau mau sebut gue munafik, tapi gue rasa, berpura-pura kuat adalah salah satu cara untuk menjadi kuat. Atau setidaknya... Menjadi kelihatan kuat. 

Lagi-lagi tanpa maksud sok pintar, sok tahu, atau sok berpengalaman. Tapi yang gue tahu, salah satu sifat patah hati adalah mendewasakan. 

Pada beberapa waktu pertama, gue menangis sekencang-kencangnya. Di tahap ini, gue menyesal bukan karena kesalahan, tapi karena merasa bodoh dengan kelemahan gue sendiri. Tapi semakin berjalan waktu, gue semakin tahu bahwa dunia gak hanya dilihat dari satu kaca mata. Dalam kata lain, seperti halnya everything happens for a reason, dia juga punya alasan. Ada alasan kenapa kita patah hati. Ada alasan kenapa mereka buat kita patah hati. 

Mungkin gue gak secerdas itu untuk paham benar apa dan bagaimana sebenarnya alasannya. Tapi gue cukup kuat untuk bisa paham bahwa dia adalah sama seperti manusia lain; yang menginkan apa yang terbaik untuk dirinya sendiri dan orang lain. 

Memang sih pahit, tapi gue kuat. Gue cukup kuat untuk mengikhlaskan. Bukan ikhlas untuk ngerasain patah hati yang sama lagi, tapi ikhlas untuk menjadi lebih kuat dari ini. 

Dia ingin yang terbaik untuk dirinya sendiri dan orang lain. Kalau gue adalah salah satu dari orang-orang lain itu, terima kasih banyak. Ini akan jadi pelajaran yang sangat berharga. Selamat dapat yang terbaik ya.  

Kalau boleh memilih, gue lebih suka belajar untuk lebih kuat lebih lama lagi. Gue ingin jadi seribu kali lebih kuat dari ini. Atau setidaknya, gue ingin kelihatan kuat supaya gak mengulang patah hati yang sama. Kalau munafik adalah satu-satunya cara untuk kelihatan kuat... 

Fine, gue munafik. Sekarang udah kuat, belum? 

Mungkin kalau mau kuat, harus minum susu ya? 

Selasa, 17 Mei 2016

10/10

Sekitar tiga tahun yang lalu gue disuguhi berbagai pertanyaan seputar "mau kuliah jurusan apa?", "bagaimana rencana kamu untuk persiapan kuliah?", atau pertanyaan yang paling dasar, "sebenarnya apa cita-cita kamu?" 

Beragam pertanyaan itu bikin gue mengambil satu keputusan besar yang menentukan nasib hidup gue selama tiga tahun di SMA. Gue yang tadinya kedapatan kelas IPA dan benci sekali dengan ilmu-ilmu sosial, memberanikan diri untuk berpindah jurusan dan menghabiskan tiga tahun di SMA dengan IPS, yang jelas-jelas kelemahan gue sejak gue masih SMP. 

Sejak gue masuk SMA, gue sangat berminat untuk masuk jurusan komunikasi di jenjang kuliah. Gue ingin mengejar jalur undangan, dan untuk itu, gue harus menjadi siswa SMA jurusan IPS. 

Selama tiga tahun, banyak hal gue persiapkan sematang yang gue mampu. Mulai dari hidup nokturnal dan begadang ngerjain ini-itu, mengikutsertakan diri dalam aktivitas sekolah dan di luar sekolah, sampai sebisa mungkin menjaga agar nilai rapot gue stabil dengan rata-rata maksimal (walau pun termyata ujung-ujungnya grafik rapot gue kacau balau). 

Dua hari yang lalu, hari yang gue nanti-nantikan selama tiga tahun lamanya datang. Pengumuman seleksi jalur undangan dari universitas yang sudah gue impikan sejak gue belum SMA. Gue ulang, sejak gue belum SMA. 

Hasil seleksi dapat dilihat hari Senin tepat pukul 15.00. 

Dan hasilnya...
Gue gagal. 
Gue gagal. 

Detik itu juga, gue menangis sekencang-kencangnya. Gue benar-benar kecewa, entah harus kecewa sama siapa. Gue nangis sambil teriak-teriak dalam hati. Gue rasa segalau-galaunya gue karna urusan cinta, gue belum pernah sepatah hati ini. Skala 1 - 10, kesedihan gue ada di 10 (10/10). 

Gue menelfon Popop gue. 
"Pop, aku ngga lolos undangan..." 

"Nggak apa-apa, Kak. Kakak udah belajar, udah ngelakuin yang terbaik yang kakak bisa," kata Popop gue dengan intonasi tenang. Gue terdiam, nahan nangis. Tapi kemudian gue terisak-isak lagi sambil gak bisa berkata apa-apa saking gue sedihnya. Di satu sisi, gue kepikiran, mungkinkah sebenarnya usaha gue belum cukup?

"Kakak sedih banget ya?" 

"Iya.. Aku kan udah berusaha, Pop. Aku udah pengen ini dari lama banget.." jawab gue sambil kembali terisak-isak. 

"Aku tahu. Jangan sedih ya, Kak. Tuhan punya rencana lain buat kakak. Sabar ya. Berdoa terus sama Tuhan, kakak masih punya jalan lain kok," jawab Popop gue berusaha menenangkan. 

Telfon silih berganti menanyakan hasil seleksi undangan, mulai dari nenek gue, tante gue, teman-teman terdekat gue. Semuanya gue jawab dengan terisak-isak, "Aku nggak lolos..." Kalau dihitung-hitung, gue nangis sambil ditelfon sebanyak kurang lebih tujuh orang hari itu. 

Mama gue masuk kamar, mendapati gue lagi menangisi hasil seleksi yang mengecewakan di depan layar laptop. Gue memeluk Mama gue erat sekali. Di situ gue merasa senakal-nakalnya gue waktu kecil... gak lolos undangan universitas ini adalah yang paling mengecewakan kedua orang tua gue. Gue benar-benar merasa gagal. 

Selama di SMA, gue sudah melakukan semua yang gue bisa untuk undangan ini. Gue belajar dan bekerja sekeras dan semampu gue (walau pun ujung-ujungnya kebanyakan tidur), gue sebisa mungkin mengikutsertakan diri dalam kegiatan di dalam dan di luar sekolah, gue memprioritaskan sekolah gue di atas hal-hal asik lain yang gue takut menghambat nilai di sekolah, gue sebisa mungkin mempertahankan agar grafik nilai gue dari semester ke semester stabil. Gue bahkan sudah mengambil keputusan super-duper gila dengan pindah ke jurusan IPS yang benar-benar gak mudah buat gue. Gue sudah menginginkan dan merencakan ini sejak lama. Sejak hampir tiga tahun lamanya, dan gue gak lolos. Gak lolos. Sia-sia semua usaha gue. Buang waktu. 

Gue menghabiskan waktu berjam-jam untuk merenung dan menangisi kegagalan gue. 

Sambil menangis terisak-isak, gue membuka jurnal gue yang sudah menjadi buku harian gue sejak gue baru masuk SMA. Sampai akhirnya gue menemukan catatan yang pernah gue sendiri tulis dua tahun yang lalu, tentang bagaimana gue bersyukur Tuhan sudah bimbing gue untuk pindah ke jurusan IPS; 

"Tuhan selalu punya rencana yang terbaik. Rencana kita gak selalu sejalan dengan rencana Tuhan, karena recana Tuhan selalu yang paling indah. Emang sih ga gampang, tapi rencana Tuhan pasti jawaban yang terbaik,"  

Gue terdiam. 

Di situ gue sadar, apa pun yang sedang menimpa gue sekarang, semuanya terjadi atas izin Tuhan. Ini bagian dari rencana Tuhan. 

Seandainya mimpi gue tercapai, itu adalah rencana Tuhan. Seandainya (dan kenyataannya) mimpi gue gak tercapai, itu pun adalah rencana Tuhan. Gue salah. Tiga tahun perjuangan gue memang sudah menjadi selipan doa gue pada Tuhan selama tiga tahun lamanya. Tapi apa pun itu hasilnya, semua kembali ke rencana Tuhan, lepas dari seberapa keras gue berjuang untuk mimpi gue. 

Gue masih bersedih karna kegagalan gue. Tapi mau gak mau, gue harus berdiri lagi. Kejar mimpi lewat jalur lain, anggap saja banting stir. Namun berbeda dengan perjuangan gue sebelumnya, kali ini lebih besar kepasrahannya. Bukan pasrah karna gue patah hati, tapi pasrah karna gue tahu rencana Tuhan lebih indah dari rencana gue sendiri. 

Dengan itu, gue berterima kasih karena Tuhan sudah melepaskan gue dari jalan yang gak lebih baik dari rencana Dia. 

Gue juga berterima kasih karna lewat kegagalan gue ini, gue sadar kalau gue dikelilingi manusia-manusia yang sangat gue sayang dan menyayangi gue, dan hal baiknya, mereka sepenuhnya mendukung gue. 

Goodluck, 2016. Kita berjuangbareng-bareng ya. 

Rabu, 04 Mei 2016

Pulang

Rabu, 4 Mei 2016 (22.32)

Gue tahu seharusnya sekarang gue berhadapan dengan buku-buku berisi materi tentang soshum, tapi gue benar-benar sedang penat. Gue gak lelah, gue hanya jenuh. Gue benar-benar sedang ingin pulang. Menulis, menuangkan ide dan perasaan gue ke dalam tulisan, adalah definisi gue dari pulang.

Popop gue mengetuk pintu kamar. Gue hentikan alunan musik melow gue dalam playlist, "Ada apa, Pop?"

"Gak apa-apa. Walau pun gak karuan, ternyata enak juga ya ternyata kamar kamu. Luas, cahayanya juga pas," ucap Popop gue sembari pandangannya menjelajahi ruang kamar gue dengan cahaya remang-remang dan baju berserakkan di kasur. "Kalau kakak kuliah nanti, aku mau tidur di kamar kakak." 

Gue tersenyum.

Setiap manusia butuh tempat tinggal untuk pulang, untuk berteduh, berlindung, dan beristirahat dengan nyaman. Di dalam tempat tinggalnya, setiap manusia berhak untuk merasa nyaman. Nyaman sebagai dirinya sendiri, yang dia suka. Walau pun berantakkan gak karuan, gue suka dan nyaman stay di kamar ini. Kasurnya empuk, meja belajarnya luas, dan lampunya redup, pas dengan gue yang gak begitu suka gelap, tapi gak begitu suka dengan yang terlalu terang, soalnya bikin mata gampang capek. Ternyata walau pun kamar bobrok gue kerap jadi bahan lelucon keluarga, masih ada Popop yang mau merasakkan nyamannya ruang ini, bersama gue. 

Berapa hari ini, gue menonton film-film pendek karya teman-teman di angkatan gue. Walau pun gak semua film menceritakan tentang apa yang gue alami di SMA, gue tetap berlinang air mata. Di titik ini gue sadar, gak lama lagi ada banyak hal yang akan meninggalkan dan ditinggalkan. 

Teman-teman gue di SMA. Mulai dari mereka yang menjadi teman bicara gue saat hari pertama masuk SMA, mereka yang menjadi kawan gue di kelas IPA dan dengan sabarnya mendengarkan keluh kesah gue tentang galau jurusan, mereka yang menjadi kawan gue di IPS dan mengajarkan gue bahwa gue tidak sesendirian itu, mereka yang mengajarkan gue bahwa gue layak bahagia, mereka yang menjadi arti dari teman yang sejati, atau dia yang menjadi pangeran kisah romansa gue di SMA. 

Gue tidak akan menyalahkan waktu yang terus berjalan menghitung detik. Gue juga tidak akan menyalahkan diri gue sendiri yang mungkin sering kali menyia-nyiakan waktu yang pernah ada. Tapi beginilah adanya. Hanya dalam hitungan hari, semua gak akan sama lagi. Gak akan ada seragam yang sama. Gak akan ada kelas yang sama. Gak akan ada tawa yang sama. Gak akan ada keluh kesah yang sama. Gak akan ada orang-orang yang sama. Gak akan ada kisah yang sama. 

Gue percaya setiap dari gue dan mereka akan melangkah lebih jauh untuk sesuatu yang lebih baik. Entah untuk mengejar mimpi, atau mungkin mengasah diri untuk menghadapi dunia yang sebenarnya di luar sana. Apa pun itu, gue yakin kita semua melangkah lebih jauh untuk sesuatu yang lebih baik di depan sana. 

Tapi bukan itu yang gue takutkan. Gue merasa nyaman di tempat gue yang sekarang. Gue merasa ini adalah tempat tinggal yang nyaman. Gue merasa teduh. Gue merasa inilah tempat gue pulang. Entah apa pun itu yang menunggu gue di depan sana, bagaimana kalau nanti, semua tidak sama lagi? 

Mungkinkah gue masih punya tempat tinggal untuk pulang?

Hal ini yang bikin gue selalu takut untuk membuka diri dan menempati tempat yang baru. Gue sadar, selama ini gue hanya menutup diri dan gak membiarkan diri gue sendiri melihat hal lain di luar sana, yang mungkin lebih baik dari apa yang gue punya. 

Kehidupan manusia itu dinamis. Selalu ada perubahan dan perpindahan. Untuk bertahan hidup, setiap mahkluk hidup harus beradaptasi. Otak gue tahu benar bagaimana caranya beradaptasi. Tapi tidak dengan hati gue. 

Dalam melodi, ada nada mayor dan nada minor. Nada mayor biasanya membunyikan alunan yang ceria. Nada minor biasanya membunyikan alunan yang sedih atau mengharukan. 

Untuk lo/kamu/anda yang baca sepucuk catatan harian gue ini, percayalah, gue senang kalian pernah menjadi bagian dari perjalanan hidup gue. Anggap saja entah itu nada mayor atau minor yang pernah kita bunyikan, tapi setiap susunan nada pasti menjadi susunan melodi yang indah. Terima kasih karena mau menjadi tempat gue untuk pulang

Jumat, 04 Maret 2016

Makan Siang di "Merek Nugget / Merek Produk 21+"

Lokasi : Sebuah restoran Steak dengan harga sesuai kantong anak-anak muda bangkrut. 
Waktu :  Hari Sabtu, jam makan siang, tepatnya usai tambahan matematika yang gak ngerti-ngerti materinya sampai sekarang.  
Keadaan : Sendirian (bukan jomblo, cuma teman-teman gue lagi sibuk dengan keperluannya masing-masing, misalnya: bimbel, urusan persiapan kuliah, dll)

Jomblo deng. 

Menjalankan rutinitas hidup seperti ini bikin gue ngebayangin gimana kehidupan gue setahun atau beberapa tahun mendatang. Gue adalah seseorang yang mengingkan kehidupan yang bebas, fleksibel, independen, namun penuh pelajaran di setiap sudut momentum kehidupan. Mungkinkah kehidupan gue setahun atau beberapa tahun mendatang akan menjadi seperti kehidupan gue yang sekarang, yang menghabiskan banyak waktu dengan asik pada dunia gue sendiri? 

Sesungguhnya kalau boleh memilih, gue lebih suka menghabiskan weekend bersama keluarga, atau bersama teman-teman dekat. Hitung-hitung, menghabiskan beberapa bulan terakhir sebelum berpisah untuk kuliah. Tapi berhubung kerap kali terhalang oleh jam bimbel, atau keperluan masing-masing yang bertabrakan, gue dan keluarga atau teman gak selalu bisa menghabiskan weekend bersama. Alhasil, ya seperti gue saat ini. 

Ujian nasional gak sampai sebulan lagi dari sekarang. Rasanya baru seminggu yang lalu gue menjadi siswi kelas 12 yang galau-galau soal jurusan, kenapa tiba-tiba sudah mau UN aja? 

Rasanya baru sebulan yang lalu gue galau-galau mau mengambil jurusan IPA atau IPS, kenapa sekarang sudah mau lulus aja? 

Semua begitu cepat ya. Gue yakin, hal yang sama akan gue rasakan lagi beberapa bulan mendatang. Beberapa bulan dari sekarang, gue atau kalian akan berkata: 

Perasaan baru sebulan SMA, kok udah mau kuliah aja ya? 

Kehidupan adalah duet oleh waktu dan momentum. Di dalamnya memendam perubahan dan perpindahan. Saking asiknya menjalani perpindahan, kita manusia sering kali lupa waktu. Waktu yang sebenarnya tidak merubah durasi, menjadi terasa lebih cepat, seakan-akan lebih cepat dari waktu yang ada di pikiran kita. 

Sayangnya, kita manusia, gak bisa merubah waktu. Waktu akan terus berjalan, sementara kita menjalani kehidupan yang terus menerus diiringi perubahan dan perpindahan. 

Dalam setiap harinya, ada yang datang, dan ada yang pergi. Entah itu seseorang, memori, atau sekedar perang dalam akal, tapi mereka selalu datang atau pergi untuk sebuah alasan. Ada yang datang untuk menjadi arti dari "selamanya", ada pula yang datang untuk memberi kenangan dan pelajaran. Entah siapa yang akan memutuskan untuk pergi nanti, tapi gue berharap setiap dari mereka bisa tinggal bersama gue lebih lama lagi. 

Apa pun yang ada sekarang, pasti gue rindukan suatu hari nanti, termasuk weekend-weekend gak sendirian yang biasanya gue lakukan bersama keluarga atau teman-teman dekat gue. Gue ingin menghabiskan waktu gue selama mungkin bersama mereka. Hidup gue cuma sementara, gue ingin waktu yang ada dihabiskan bersama mereka. 

Jadi intinya: males banget dah sendirian di antara orang-orang yang tidak sendirian udah kayak jomblo level 999. 

Gak apa-apa kok, jomblo juga bisa aja bahagia. 


Jumat, 19 Februari 2016

Catatan Tentang Pencemburu Ababil

Gue tahu seharusnya sekarang gue sudah berhadapan dengan buku dan belajar karena sebentar lagi gue try out di tempat bimbel. (ya gue tahu. Hari Sabtu. Try out. Di tempat les. Gak banget  kan?) Tapi gue juga tahu kalau sekarang gue buka buku, gak bakal ada ilmu yang nyantol di otak gue karena GUE SEDANG KESAL.

Ini adalah bagian terkonyol dari perasaan sayang. Ketika kita sayang sama seseorang, kita punya keinginan untuk memiliki. Karena kita ingin memiliki, kita gak ingin apa yang kita inginkan menjadi milik orang lain. YA, GUE CEMBURU. MAU APA LO SEMUA??? MAU LABRAK GW??? SINI RIBUT!!!!!

Gaklah, becanda.
Tapi oke serius lagi.

Lucu adalah ketika kita cemburu atau iri, kita akan melihat semua hal buruk dari "rival" kita.

Selama ini gue selalu mempertanyakan mereka yang bisa-bisanya benci sama orang, padahal mereka gak saling kenal. Anehnya lagi, mereka bicara hal-hal negatif tentang orang yang mereka anggap "rival" seakan-akan gak ada lagi hal baik dari "rival"nya.

Cewek kalau lagi mau bicarain hal-hal negatif tentang "rival"nya, sering kali menaik-naikan subjek pembicarannya. Dalam kata lain; menaik-naikan untuk menjatuhkan.

Misalnya begini:
"She's like really kind and pretty. I mean, siapa lagi sih yang kenal sama hampir  semua cowok because of her kindness. (nah ini bagian menjatuhknnya) BUT, demi apa pun, itu cewek kegatelan banget. Ganjennya gak ketolong ya ampun..."

Sumpah, gue gak ngerti sama kayak begini. Lo memuji-muji seseorang, dengan tujuan menjelek-jelekannya juga? Kenapa gak sekalian lo straight to the point? Puji-pujian lo itu gak bakal menyelamatkan pencitraan lo. Intinya, lo tetap menjelek-jelekan "rival" lo pada akhirnya. Tapi itu udah hukum alam. Its been a girl's mindset, dan yang namanya hukum alam, gak akan bisa dibantah. Sumpah gue gak ngerti.

Sampai akhirnya...
Gue merasa ada seseorang yang (bisa dibilang) jauh lebih baik daripada gue di mata Piglet. Lebih cantik, lebih pintar, lebih badai rambutnya, lebih tajir, lebih eksis, lebih segalanya yang bikin gue murka deh pokoknya. Gue mulai merasakan percikan-percikan api cemburu.

Suatu hari, gue mengobrol dengan Bella dan begini ucapan gue:

"She's like really pretty. She has the coolest hair everrr yang 100x lebih badai daripada rambut gimbal gue. Gue gak tau siapa yang gatel di sini. Tapi sekeren-kerennya dia, bodo amat. Pokoknya kalau dia mau macam-macam, gue saingan dia,"

BOOM!!

Tapi kemudian gue terdiam...
Gue mencoba mencerna perkataan gue sendiri...
Kemudian gue tertawa, menertawakan diri gue sendiri. Gue dimakan oleh omongan gue sendiri. Gue bicara seakan-akan gue jauh lebih baik dari orang yang gue anggap "rival". Gue bicara seakan-akan hal-hal baik dari "rival" gue sebenarnya gak sekeren yang gue sendiri kira. Ini adalah suatu sikap sok tingkat dewa.

Sumpah, itu paragraf yang baru aja gue sebut, "sok"nya minta ampun. Seperti cewek-cewek lain yang sedang emosi sama "rival"nya, gue memuji-muji seseorang yang gue anggap "rival" dengan tujuan menjatuhkan dia pada akhirnya.

Ini benar-benar hukum alam dunia "cewek-cewek" yang gak akan bisa dibantah. Lo manusia-manusia yang bukan cewek, gak usah protes. Kalian gak akan bisa merubah hukum alam, kalian cuma perlu memahami. Secowok-cowoknya cewek, gak akan lepas dari hal-hak kayak begini. Catatan untuk diri gue sendiri: lain kali jangan sok. Bisa kemakan omongan sendiri loh.

Hari-hari berikutnya, gue melihat orang yang gue anggap "rival". Dari kejauhan, gue melihat dia dengan tatapan jijik dan bergumam, "Siapa lo. Ew,".

Gue bahkan bertanya kepada beberapa orang gue anggap sangat mengerti sang "rival". Gue mencari tahu sebenarnya "rival" gue ini seperti apa di mata mereka (yang gue yakin, bocah kayak "rival" gue ini gak bakal keren-keren amat di mata orang lain). Dalam kata lain, secara gak langsung, gue mencari mereka yang bisa bikin gue lebih semangat untuk bersaing.

Tapi kemudian lagi, gue tertawa. Sebenarnya apa sih yang sedang gue lakukan?

Setelah gue pikirakan baik-baik, sebenarnya sikap cemburu dan iri hati gue ini gak akan membuahkan hasil. Kalau memang gue berhasil membuktikan kalau gue lebih baik dari orang yang gue anggap "rival", mungkin gue bisa memiliki apa yang gue inginkan.

Tapi setelah gue memiliki apa yang gue inginkan dan membuktikan bahwa sang "rival" adalah CUPU dan hanya bocah yang gak sebanding dengan gue, terus apa? Apa itu cukup menjamin buat bikin "siapa yang gue inginkan" bahagia bersama gue? Sayangnya... enggak. Di luar sana, lepas dari rambut badai sang "rival", masih banyak cewek lain yang jauh lebih baik dari gue, dan mungkin lebih baik dari sang "rival".

Semua balik lagi ke siapa yang bisa membuat "siapa yang gue inginkan" bahagia. Jadi gak peduli seberapa kuat gue bersaing dengan nih bocah "rival", itu gak akan berpengaruh ke "siapa yang gue inginkan".

"Rival" gue lebih baik dari gue. Gue merasa kalah. Itu intinya.

Setelah dipikir-pikir, kenapa gue harus pusing-pusing merubah diri gue sendiri untuk bisa bersaing?Gue sadar pada akhirnya, gue hanya perlu menjadi diri gue sendiri. Soal gue berhasil atau engga, semua balik lagi ke sudut pandang mereka yang nyaman atau tidak nyaman bersama gue.

Pada dasarnya, gue sangat memuji orang yang gue anggap "rival". Gue selalu beranggapan bahwa apa pun tentang "rival" adalah lebih baik dari apa yang gue punya. Karena itu, gue takut apa yang gue punya tersingkirkan karena nih "rival" bocah asing j-b-j-b di hidup gue. (Oke gue mulai emosi lagi.).

j-b-j-b = Join Bareng-Join Bareng / ikut-ikutan

Intinya, semua sikap dan pikiran negatif gue ini disebabkan oleh rasa takut gue sendiri. Bagian buruknya adalah rasa takut gue itu membawa gue kepada kesombongan tingkat dewa. Padahal gue sudah tau, gak ada yang bisa disombongkan di sini. Bahkan bagian gue lebih tua dari "rival" pun gak bisa disombongkan. Harusnya gue sedih karna... tahun ini gue 18 tahun dan... kuliah... Tuh kan, gak bisa disombongin.

Kita udah besar. Udah gak ada waktu untuk membenci dan dibenci. Rasanya, udah bukan lagi waktunya. Gak kok, gue gak membenci dan gue harap gue tidak dibenci. Serese-resenya, "rival" kita, hidup damai itu jauh lebih menyenangkan daripada menang di atas kesedihan orang lain, termasuk di atas "rival" kita. Udah dong, gak usah selek. Pusing nih, mau ujian. Doain ya.

Akan selalu ada yang lebih baik dari kita. Entah lebih bagus rambutnya, atau lebih cantik, lebih pintar, lebih eksis, lebih tajir. atau apalah yang kita anggap "lebih" dari apa yang kita punya. Tapi bahagia itu kita yang buat. Jadi diri sendiri juga bisa bahagia kok. Kalau kita sudah bahagia dengan apa yang kita punya, kita pasti turut bahagiia buat kelebihan yang orang lain punya.

"Rival" kita yang sebenarnya bukan siapa yang lebih baik dari kita. Tapi diri kita sendiri. Entah sombongnya kita, malasnya kita, atau egoisnya kita... itu yang sebenarnya harus dilawan. Gak mudah sih, tapi itu lebih baik daripada capek-capek cemburu sama apa yang lebih baik dari kita.

Jadi buat lo (orang yang merasa menjadi "rival" yang gue dedikasikan dalam post ini) gak usah seneng dulu. Gue masih jadi saingan lo dan akan selalu menjadi saingan lo. Tapi silahkan lakukan apa pun yang lo mau untuk bantai gue. Gue keluar dari perang visual kita. Lo urusin hidup lo sendiri aja, begitu pula gue. Di luar sana masih banyak cewek lain. Dunia gak sekedar antara gue dan lo.

Jangan geer. Gue punya banyak urusan lain dibanding ngurusin lo. Dasar bocah. Siapa lo. Ew.

LOH KOK EMOSI??? MAAF YA!!! JANGAN BAPER. BECANDA KOK.

Btw gue beneran suka rambut lo. Pake perawatan apa sih, dek? Kok gue catokan hasilnya gimbal mulu gak bisa kayak rambut lo... (ini serius, bukan sindiran).

Dan Piglet, silahkan cari apa yang bisa bikin kamu bahagia. kan kemarin udah ku bilang, bahagia itu kita sendiri yang cari. Kita sama-sama pernah berusaha dan sisanya balik lagi ke pilihan kita masing-masing kan? Di luar sana, masih ada banyak yang lebih baik dari apa yang aku bisa kasih. Tapi buat sekarang, lebih baik aku jadi diri sendiri dulu aja. Goodluck! 

P.S:
Well, lets call this "Highschool Crimes". 
Seenggaknya untuk pertama kali dan terakhir kali dalam SMA, gue pernah gemas sama yang kayak begini. Gemas doang kok, bukan benci. Xoxo. Jangan geer ya, #bukansenioritas.

#PeaceIsTheMission
 

Me and My Freaky-Diary Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review