Selasa, 20 Juni 2017

Produser Eksekutif iNews TV, Lukman Hanafi: Media Bertempur tapi Tidak Berseteru

Menjadi wartawan bukanlah suatu profesi yang mudah. Tak hanya bertarung dengan berbagai tantangan di lapangan, wartawan di era sekarang pula harus bertarung dalam arus perkembangan teknologi yang pesat. Perkembangan teknologi yang diiringi dengan perubahan kehidupan dan kebutuhan khalayak membuat wartawan harus turut beradaptasi, menyesuaikan diri dengan perubahan rupa produk media untuk bertahan hidup.
            Menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan tidaklah cukup dengan kefamilieran wartawan terhadap berbagai produk teknologi. Untuk bertahan hidup, seorang wartawan harus mampu menyeimbangkan luasnya wawasan, jaringan, dan senantiasa mengedepankan etika. Tanpa ketiga nilai dasar tersebut, seorang wartawan tidak akan bertahan hidup dalam melakukan adaptasi dengan perubahan zaman dan teknologi. Dalam kata lain, wartawan dan peranannya akan terkalahkan oleh produk perkembangan teknologi yang kian menyesuaikan diri dengan kebutuhan manusia.
            Lukman Hanafi memegang tanggung jawab sebagai produser eksekutif iNews, sebuah stasiun televisi berita yang didirkan oleh Media Nusantara Citra, atau yang biasa kita kenal dengan MNC Group semenjak 2015. Dalam wawancara yang dilakukan pada Sabtu, 29 April 2017 di gedung iNews, komplek MNC Tower, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Lukman Hanafi yang pula pernah bekerja sebagai wartawan media cetak membagikan berbagai pengalamannya seputar dunia kewartawanan dan media televisi.
Dalam wawancara tersebut, Lukman Hanafi memberikan berbagai pandangannya mengenai nilai-nilai yang perlu dimiliki oleh jurnalis di tengah perkembangan teknologi yang pesat serta bagaimana sebuah media harus beradaptasi untuk bertahan hidup. Bagi Lukman Hanafi, perkembangan teknologi bukanlah sesuatu yang harus dihindari oleh media dan tidak akan bisa dipungkiri keberadaanya. Justru dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, dunia media dan kewartawanan akan berkembang bila dihadapi dengan wawasan dan etika yang dijunjung tinggi.



Bagaimana awal mula Anda masuk ke dalam dunia kewartawanan?
Saya masuk media berawal dari daerah dan media cetak lokal, kemudian melanjutkan bergabung ke TPI (Televisi Pendidikan Indonesia). Saya pertama berada di Banyumas, kemudian di Solo, Magelang, lalu akhirnya Jakarta.
Mengapa memilih untuk menjadi wartawan?
Karena senang saja, sih. Sekitar tahun 2000, pekerjaan ada banyak, namun terbayang wartawan lebih menarik. Eranya beda untuk wartawan saat itu dengan sekarang. Dulu banyak orang ingin menjadi wartawan karena bisa mengenal dan dekat dengan siapapun, dalam kata lain sakti karena bisa kemana-mana.
Anda memulai perjalanan sebagai wartawan karena dasar suka membangun relasi dengan orang atau karena dasar suka menulis?
Saya suka menulis dan suka keluyuran. Jadi wartawan kan keluyuran, jadi banyak teman.
Anda memulai karir sebagai wartawan tanpa latar belakang pendidikan jurnalisme, melainkan ekonomi. Adakah kaitan tertentu antara bidang pendidikan yang didalami dengan profesi wartawan?
Berkaitan sekali tidak, tidak berkaitan pun tidak juga. Saya lebih dulu menjadi wartawan daripada menjadi sarjana. Awalnya karena saking asyik keluyuran sana-sini, jadi banyak tempat yang didatangi.
Adakah pengaruh yang besar bagi Anda perihal latar belakang pendidikan yang bukan jurnalisme dengan berjalannya profesi Anda sebagai wartawan?
Saya tidak bisa mengatakan karena saya sendiri tidak tahu benar pendidikan jurnalismenya seperti apa. Tapi dari banyak teman atau yang menjalankan PKL di sini, latar belakang pendidikan jurnalistik tetap membantu meskipun kenyataannya antara teori dan praktek memiliki banyak persamaan juga perbedaannya.
Sejauh pengalaman dan pengamatan Anda, yang lebih penting adalah teori seperti di perkuliahan atau pengalaman terjun langsng ke lapangan?
Kalau untuk menjadi seorang reporter, cenderung lebih berguna langsung ke lapangan. Tapi kalau untuk menjadi seorang officer (jurnalis tapi officer), teori menjadi penting. Walaupun begitu, menjadi officer tanpa pengalaman di lapangan juga tidak bagus karena dia tidak akan bisa menganalisa langsung keadaan di lapangan. Banyak lulusan jurnalistik yang terpaku pada teori, namun saat dipraktikan susah karena apa yang kita temukan di lapangan berbeda dengan apa yang kita temukan di lapangan. Keadaan di lapangan selalu berubah, tapi teori begitu-begitu saja, terkecuali hal-hal dasar seperti kode etik dan perundang-undangan. Hal-hal seperti teknik mewawancara tidak akan didapatkan dengan kuliah bertahun-tahun bila tidak ada praktiknya.
Terlepas dari latar belakang teori atau praktik, nilai-nilai apa yang menurut Anda penting untuk dimiliki oleh wartawan?
Yang jelas untuk menjadi seorang jurnalis yang baik, nomor satunya adalah harus humble. Ketika tidak humble, dia tidak akan berhasil. Jurnalis bukanlah orang yang datang dan hanya abisa mewawancara orang, tapi yang paling penting adalah bagaimana dia mengenal orang dan dikenal orang. Jaringan adalah yang paling penting, walaupun bukan yang utama karena jaringan yang luas tidak akan berguna bila dia (jurnalis) tidak mengembangkan wawasan. Isu terbaru selalu bergerak, narasumber juga selalu berubah posisi. Jaringan harus luas, tapi wawasan juga harus dikembangkan. Jangan sampai kita (jurnalis) bertanya tentang hal yang sudah dijelaskan di hari sebelumnya.
Bagaimana kunci dari membangun jaringan yang luas?
Pasti butuh proses. Orang-orang yang baru terjun ke lapangan sebagai reporter cetak, televisi, atau radio memiliki cara yang sama, yang membedakan adalah output-nya berupa koran, online, dan suara. Untuk membangun relasi sebenarnya memiliki cara yang sama, seperti dengan datang langsung ke lokasi, terlebih untuk media televisi yang harus ditampilkan dengan visual. Sesekali juga harus say hello, terlebih untuk orang-orang penting. Jaringan terbangun tidak hanya dengan sekedar kenal, tapi juga harus keep in touch dalam maintenance. Kita sebagai wartawan harus kenal, tidak hanya tahu.
Humble (rendah hati) adalah bagian dari etika. Dalam pandangan Anda, adakah perbedaan dalam menjalankan kesesuaian etika antara wartawan yang berbekal teori dengan yang hanya berbekal pengalaman di lapangan?
Tidak, sih. Itu sebenarnya bersifat umum, tapi persoalannya adalah kembali ke invididu. Sifat individu sendiri yang terkadang tidak sesuai dengan etika yang diajarkan. Etika adalah moral, dimanapun tempatnya seharusnya sama. Masalahnya adalah bagaimana individu itu mengaplikasikan nilai moral tersebut.
Berkaitan dengan etika wartawan dalam mendapatkan informasi mendalam dari terwawancara, apakah dibenarkan bila wartawan menekan terwawancara untuk menjawab?
Hal seperti ini lebih termasuk teknik, bagaimana wartawan harus mendapatkan informasi yang lebih banyak daripada penjelasan narasumber tanpa membuat narasumber marah. Padahal bila narasumber kesal, itu gawat. Saya tidak tahu apakah hal seperti itu dijelaskan dalam teori di perkuliahan karena hampir semua yang pernah saya temui menjelakan bahwa kemampuan teknik wawancara seperti itu dipengaruhi oleh pengalaman di lapangan dan bakat seseorang. Tidak semua orang mampu menggali pembicaraan dengan orang lain yang di luar perkiraan kita. Teknik dari orang (pewawancara) yang jago memiliki cara pembawaan yang enak, juga ketertarikan narasumber terhadap terwawancara, serta banyak faktor lain. Namun untuk menekan dan menjebak narasumber, saya sarankan jangan karena hal seperti itu gambling dengan informasi yang didapatkan.
Dalam mencapai verifikasi, dalam pandangan Anda, lebih penting mengutamakan kenyamanan terwawancara atau kedalaman informasi?
Dua-duanya. Narasumber harus nyaman, informasi juga harus mendalam. Jika kita mewawancarai A tentang hak angket tanpa mengetahui dasar undang-undang atau kewenangan perihal hak angket, kita akan percaya saja dengan jawaban narasumber. Sampai saat ini, saya sendiri tidak mengetahui kebenaran dari informasi yang disampaikan di media mengenai kasus tersebut. Kedaan tidak ter-update justru mengganggu.
Menyeimbangkan kenyamanan terwawancara dengan kedalaman informasi dilakukan dengan memperluas wawasan jurnalis sendiri mengenai kasus yang diliput.
Betul, karena narasumber kadang tidak ditanya, namun dengan argumen dari kita (jurnalis), dia (narasumber) akan terpancing untuk menjawab dan kita jadi asyik dalam percakapan. Maka itu yang paling penting adalah kita harus tahu dulu apa yang ingin kita cari. Jika kita datang tanpa pengetahuan apa-apa, tidak akan bisa kita dapatkan informasi mendalam.
Berkaitan dengan verifikasi, apakah dibenarkan bila jurnalis dikatakan berlawanan dengan humas? Sementara humas membangun citra sebuah lembaga, jurnalis justru menggali apa yang tidak terlihat oleh publik.
Tidak, karena pada dasarnya tidak ada yang bertentangan. Hanya yang membedakan adalah humas lebih memuji, sementara media balancing. Artinya, kita (jurnalis) tidak menghilangkan sesuatu, tapi mengkritik sesuatu yang perlu dikritik. Jika tidak perlu dikritik, tidak perlu mengada-ada. Tidak ada humas yang kritis, sementara media harus kritis. Namun dengan perbedaan, bukan berarti bertentangan.
Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, generasi muda lebih suka mengakses internet (Youtube) daripada televisi. Menurut Anda, berkaitan dengan keadaan demikian, apakah kelebihan dan kekurangan tersendiri dari media televisi?
Yang jelas, dengan perkembangan media sosial semua media harus berkembang. Imbas yang paling cepat adalah pada media cetak. Walaupun begitu, televisi juga harus bertarung karena media sosial juga memasang iklan, sementara hidup televisi adalah dari iklan. Kelebihan televisi adalah sekarang, banyak orang mengakses konten televisi melalui gadget dan harus membayar kuota internet. Di Indonesia, konten tersebut ditonton gratis bila ditonton melalui televisi. Kedua, view di televisi lebih besar dan lebih nyaman daripada di gadget. Kekurangannya, televisi harus bertempur dalam hal kecepatan. Jangan sampai kalah cepat untuk membuat berita di televisi, sementara di media sosial bisa dengan cepat diberitakan. Walaupun begitu, televisi dan media sosial bukan berarti bermusuhan, justru harus bergandengan. Media harus bertempur, tapi tidak berseteru. Dunia media sosial harus dimanfaatkan betul oleh televisi karena media sosial juga membantu informasi untuk televisi. Kita memantau Twitter untuk melihat perkembangan informasi. Tapi yang pasti, informasi di televisi pasti terverifikasi, kebenaran lebih terjamin karena bila salah bisa dituntut, tidak seperti di media sosial yang sering tidak seimbang dan terpotong-potong. Intinya, kelebihannya perihal akurasi, sementara kekurangannya adalah mengenai kecepatan.
Di media online, proses wawancara dan liputan dapat dilakan dengan cepat seperti dengan wawancara melalui telepon. Di televisi, wartawan harus hadir langsung di lapangan lokasi peliputan.
Sekarang tidak jauh beda peliputan untuk media online dan televisi karena terbantu oleh gadget. Semua reporter, bahkan anak muda, handphone-nya sudah smart phone yang bisa melakukan video call, itu yang menolong. Dulu ketika saya awal bergabung dengan televisi di Banyumas, mengirim berita sangat susah. Gambar harus direkam dengan kaset, dikirim dengan kereta, lalu naskahnya saya kirim lewat fax. Tapi sekarang karena perkembangan zaman, kita bisa melalui Skype, kemudian berita naik.
“Media harus bertempur dengan online, tapi tidak berseteru”. Apakah itu cara untuk mempertahankan keberadaan media cetak dan televisi?
Saya yakin koran suatu hari akan hilang dari dunia media karena pertama koran harus dibeli. Kedua, beritanya basi karena hasil liputan siang ini baru bisa dibaca besok pagi. Berbeda dengan media cetak majalah, mungkin bisa bertahan. Membaca koran memang bagus dan isinya terdokumentasi dan bisa disimpan, berbeda dengan televisi yang kontennya tidak dapat disimpan dan mudah berubah.
Ketika radio hadir, koran tidak mati. Ketika televisi hadir, radio dan televisi juga tetap tidak mati.
Televisi lebih berat dari media cetak. Media cetak menjual barang, sementara televisi hanya mengandalkan iklan, bukan menjual produk berupa barang. Jika melihat realitas, sekarang televisi yang menggunakan udara gratis saja berbalapan dengan online. Apa lagi dengan media cetak?

Media harus beradaptasi untuk bertahan hidup.
Pertama, harus beradaptasi. Kedua, harus bersubsidi. Satu perusahaan media dengan berbagai bentuk output, mungkin bagian korannya defisit, namun televisinya surplus. Ada beberapa perusahaan media yang hanya mempunyai koran sudah tutup.
Adaptasi adalah ketika suatu badan perusahaan media memiliki berbagai bentuk output media.
Sebenarnya tidak juga, karena sebuah perusahaan juga bisa beradaptasi dengan mengikuti kemajuan teknologi dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan audiens. Kompas awalnya hanya memproduksi koran, kemudian beralih ke televisi juga kompas.com karena teknologi berkembang.
Bukankah ada peraturan yang menegaskan perihal monopoli termasuk untuk perusahaan media?
Saya sempat mendengar bahwa sebuah perusahaan tidak boleh memiliki lebih dari dua televisi. Namun buktinya, tidak ada peraturan yang berjalan karena sampai sekarang, MNC Group memiliki beberapa televisi.
Nilai apa yang perlu diketahui oleh jurnalis masa kini melihat perkembangan teknologi yang pesat?
Yang jelas, zaman sudah berbeda. Ketika zaman saya dulu, menjadi wartawan televisi nasional adalah dalam tanda kutip seperti superman. Masyarakat butuh berita, dan kita (wartawan) bertemu dengan banyak orang penting, seperti bupati yang ingin menyampaikan suatu pesan melalui televisi. Namun sekarang berbeda, wartawan dan media televisi berjumlah sangat banyak. Wartawan yang dulu dicari-cari oleh narasumber, sekarang wartawan yang dicari oleh narasumber karena terlalu banyaknya media sekarang. Apa yang perlu diketahui oleh wartawan baru adalah pentingnya wawasan dan jaringan, juga etika. Wawasan sendiri mencakup peraturan dan pengetahuan melalui hal yang diliput. Jaringan terbangun seiring proses. Tanpa tiga hal itu, seorang wartawan akan jatuh dengan sendirinya.
Bagaimana kaitan nilai-nilai tersebut dengan perkembangan teknologi yang pesat?

Jika kita punya pengetahuan yang tinggi, kita akan terintegrasi dengan perkembangan teknologi. Karena kita punya wawasan, kita mengetahui teknologi. Kita manfaatkan teknologi yang ada untuk menciptakan hasil yang cepat dan baik, seperti pemanfaatan Skype atau kualitas kamera yang baik. Di zaman mana kita berada, ikutilah arus zaman itu, walaupun kita harus mengetahui batas dan tidak asal mengikuti. 

Lukman Hanafi sedang menjelaskan prosedur pembuatan berita di media televisi dalam wawancara mengenai pengalamannya di dunia kewartawanan dan hidup media di tengah perkembangan teknologi. Wawancara berlangsung di gedung iNews, komplek MNC Tower, Kebon Sirih, Jakarta Pusat (29/4). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Me and My Freaky-Diary Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review