Gue gak ingin sok pintar, sok tua, atau sok berpengalaman. Tapi yang gue tahu, kita bisa patah hati karena kita adalah makhluk hidup yang berhati. Dengan hati, kita menjadi perasa. Dengan hati, kita jadi tahu rasanya senang dan sedih. Dengan hati juga, kita jadi tahu rasanya mencintai dan dicintai. Rumit, tapi gak serumit itu kok. Intinya, hal baik dari patah hati adalah; setidaknya kita masih punya hati.
Beberapa bulan yang lalu, gue patah hati. Nangis-nangisnya gak sebentar. Sedihnya juga gak semudah ketinggalan mamang tahu bulat. Gue gak bisa jelasin bagaimana kronologisnya, intinya; semua orang dan perasaannya (bahkan sikap dan perkataannya) bisa berubah, sama halnya dengan dia.
Kalau lo bilang patah hati itu dampaknya panjang, gue ngerti banget rasanya. Gue sendiri nangis gak sebentar. Ini aib sih, tapi namanya juga diary. Gimana enggak? Udah mahwaktunya gak tepat (bertepatan dengan H-sekian mulai kuliah), gue dalam keadaan bingung dan gentar soal jurusan kuliah (takut sampai-sampai salah pilih jurusan karena jurusan yang gue ambil kabar-kabarnya kesulitannya mencapai tingkat dewa-dewi), dan yang paling ngeselin... Kangen rumah dan harus beradaptasi dengan lingkungan dan kamar baru yang kamar mandinya SANGAT-SANGAT... Gitu deh.
Bagian terburuknya adalah gak semua orang bisa atau mau menunjukan kesedihannya depan orang lain. Gue salah satu dari orang-orang yang lebih suka menyimpan kesedihan sendiri dan itu SAMA SEKALI bukan hal baik. Itu justru nyusahin. Dalam pikiran gue, nangis atau sedih depan orang banyak cuma akan bikin gue kelihatan lemah. Gue terlalu gengsi dan munafik untuk nunjukin kecengengan dan kelenjean gue depan orang lain. Gue lebih suka dibilang kuat dan tangguh dibanding lemah dan butuh perlindungan. Gue lebih suka dipercayai untuk melindungi daripada dilindungi. Karena itu, gue ingin kuat. Buruknya adalah di depan orang banyak, gue bisa ketawa sama hal-hal receh (karena selera humor gue memang receh). Tapi begitu gue sampe kamar dan sendirian, semua penyesalan dan rasa takut datang lagi dan ujung-ujungnya?? Cengeng.
Hari demi hari di lingkungan baru, gue mulai terbiasa. Gue mulai pede untuk nyetel musik gede-gede (karena tetangga kostan gue juga kerap nyetel lagu gede-gede, jadi gue gak perlu takut mengganggu), gue mulai terbiasa dengan suhu daerah sini yang kayak di Arab (kalo siang panas bikin gosong, kalo malem berangin), dan gue mulai terbiasa (lagi) dengan kebiasaan minum kopi tiap pagi supaya gak ketiduran di kelas kuliah.
Oh iya, gue juga terbiasa dengan kehidupan baru setelah patah hati.
Gue mulai berhenti menangisi hal-hal tentang dia. Gue mulai berhenti menangisi sakit hati gue. Gue mulai berhenti menangisi kangen rumah (yang ternyata juga menjadi masalah banyak maba selain gue). Gue mulai membuka diri dan berkenalan dengan dunia baru gue bersama teman-teman yang sangat lucu dan menyenangkan dan kamar kostan gue yang minimalis dan gak pernah rapih.
Tapi ternyata bagian terburuk dari patah hati bukanlah bagian nangis-nangis berhari-hari. Tapi justru bagian "waspada"'nya.
"Bukannya nyama-nyamain semua orang. Aku gak menyamakan siapapun sama dia. Aku tahu setiap orang beda, punya kelemahan dan kelebihannya sendiri-sendiri. Tapi aku gak mau ambil resiko untuk nangis lagi. Bukan trauma, tapi aku gak siap," ucap gue pada seorang teman di perjalanan kembali ke kostan.
Gue gak bermaksud sok pintar, sok tua, atau sok berpengalaman. Tapi yang gue tahu, patah hati bikin kita jadi waspada sama banyak hal. Kita jadi berjaga-jaga, seakan-akan kesedihan yang sama akan datang lagi, seakan-akan kita akan menangis lagi untuk "kebodohan" yang sama. Kita jadi takut, seakan-akan membuka diri pada hal baru adalah sama dengan membuka diri pada patah hati yang baru.
Entah sampai kapan gue akan berjaga-jaga sama patah hati yang lain. Entah sampai kapan juga gue akan bersikap munafik dan berbohong sama diri sendiri tentang perasaan. Tapi kalau boleh memilih, gue ingin memperkuat tameng lebih lama lagi. Gue ingin jadi seribu kali lebih kuat dan tangguh dari gue yang sekarang. Silakan kalau mau sebut gue munafik, tapi gue rasa, berpura-pura kuat adalah salah satu cara untuk menjadi kuat. Atau setidaknya... Menjadi kelihatan kuat.
Lagi-lagi tanpa maksud sok pintar, sok tahu, atau sok berpengalaman. Tapi yang gue tahu, salah satu sifat patah hati adalah mendewasakan.
Pada beberapa waktu pertama, gue menangis sekencang-kencangnya. Di tahap ini, gue menyesal bukan karena kesalahan, tapi karena merasa bodoh dengan kelemahan gue sendiri. Tapi semakin berjalan waktu, gue semakin tahu bahwa dunia gak hanya dilihat dari satu kaca mata. Dalam kata lain, seperti halnya everything happens for a reason, dia juga punya alasan. Ada alasan kenapa kita patah hati. Ada alasan kenapa mereka buat kita patah hati.
Mungkin gue gak secerdas itu untuk paham benar apa dan bagaimana sebenarnya alasannya. Tapi gue cukup kuat untuk bisa paham bahwa dia adalah sama seperti manusia lain; yang menginkan apa yang terbaik untuk dirinya sendiri dan orang lain.
Memang sih pahit, tapi gue kuat. Gue cukup kuat untuk mengikhlaskan. Bukan ikhlas untuk ngerasain patah hati yang sama lagi, tapi ikhlas untuk menjadi lebih kuat dari ini.
Dia ingin yang terbaik untuk dirinya sendiri dan orang lain. Kalau gue adalah salah satu dari orang-orang lain itu, terima kasih banyak. Ini akan jadi pelajaran yang sangat berharga. Selamat dapat yang terbaik ya.
Kalau boleh memilih, gue lebih suka belajar untuk lebih kuat lebih lama lagi. Gue ingin jadi seribu kali lebih kuat dari ini. Atau setidaknya, gue ingin kelihatan kuat supaya gak mengulang patah hati yang sama. Kalau munafik adalah satu-satunya cara untuk kelihatan kuat...
Fine, gue munafik. Sekarang udah kuat, belum?
Mungkin kalau mau kuat, harus minum susu ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar