Selasa, 17 Mei 2016

10/10

Sekitar tiga tahun yang lalu gue disuguhi berbagai pertanyaan seputar "mau kuliah jurusan apa?", "bagaimana rencana kamu untuk persiapan kuliah?", atau pertanyaan yang paling dasar, "sebenarnya apa cita-cita kamu?" 

Beragam pertanyaan itu bikin gue mengambil satu keputusan besar yang menentukan nasib hidup gue selama tiga tahun di SMA. Gue yang tadinya kedapatan kelas IPA dan benci sekali dengan ilmu-ilmu sosial, memberanikan diri untuk berpindah jurusan dan menghabiskan tiga tahun di SMA dengan IPS, yang jelas-jelas kelemahan gue sejak gue masih SMP. 

Sejak gue masuk SMA, gue sangat berminat untuk masuk jurusan komunikasi di jenjang kuliah. Gue ingin mengejar jalur undangan, dan untuk itu, gue harus menjadi siswa SMA jurusan IPS. 

Selama tiga tahun, banyak hal gue persiapkan sematang yang gue mampu. Mulai dari hidup nokturnal dan begadang ngerjain ini-itu, mengikutsertakan diri dalam aktivitas sekolah dan di luar sekolah, sampai sebisa mungkin menjaga agar nilai rapot gue stabil dengan rata-rata maksimal (walau pun termyata ujung-ujungnya grafik rapot gue kacau balau). 

Dua hari yang lalu, hari yang gue nanti-nantikan selama tiga tahun lamanya datang. Pengumuman seleksi jalur undangan dari universitas yang sudah gue impikan sejak gue belum SMA. Gue ulang, sejak gue belum SMA. 

Hasil seleksi dapat dilihat hari Senin tepat pukul 15.00. 

Dan hasilnya...
Gue gagal. 
Gue gagal. 

Detik itu juga, gue menangis sekencang-kencangnya. Gue benar-benar kecewa, entah harus kecewa sama siapa. Gue nangis sambil teriak-teriak dalam hati. Gue rasa segalau-galaunya gue karna urusan cinta, gue belum pernah sepatah hati ini. Skala 1 - 10, kesedihan gue ada di 10 (10/10). 

Gue menelfon Popop gue. 
"Pop, aku ngga lolos undangan..." 

"Nggak apa-apa, Kak. Kakak udah belajar, udah ngelakuin yang terbaik yang kakak bisa," kata Popop gue dengan intonasi tenang. Gue terdiam, nahan nangis. Tapi kemudian gue terisak-isak lagi sambil gak bisa berkata apa-apa saking gue sedihnya. Di satu sisi, gue kepikiran, mungkinkah sebenarnya usaha gue belum cukup?

"Kakak sedih banget ya?" 

"Iya.. Aku kan udah berusaha, Pop. Aku udah pengen ini dari lama banget.." jawab gue sambil kembali terisak-isak. 

"Aku tahu. Jangan sedih ya, Kak. Tuhan punya rencana lain buat kakak. Sabar ya. Berdoa terus sama Tuhan, kakak masih punya jalan lain kok," jawab Popop gue berusaha menenangkan. 

Telfon silih berganti menanyakan hasil seleksi undangan, mulai dari nenek gue, tante gue, teman-teman terdekat gue. Semuanya gue jawab dengan terisak-isak, "Aku nggak lolos..." Kalau dihitung-hitung, gue nangis sambil ditelfon sebanyak kurang lebih tujuh orang hari itu. 

Mama gue masuk kamar, mendapati gue lagi menangisi hasil seleksi yang mengecewakan di depan layar laptop. Gue memeluk Mama gue erat sekali. Di situ gue merasa senakal-nakalnya gue waktu kecil... gak lolos undangan universitas ini adalah yang paling mengecewakan kedua orang tua gue. Gue benar-benar merasa gagal. 

Selama di SMA, gue sudah melakukan semua yang gue bisa untuk undangan ini. Gue belajar dan bekerja sekeras dan semampu gue (walau pun ujung-ujungnya kebanyakan tidur), gue sebisa mungkin mengikutsertakan diri dalam kegiatan di dalam dan di luar sekolah, gue memprioritaskan sekolah gue di atas hal-hal asik lain yang gue takut menghambat nilai di sekolah, gue sebisa mungkin mempertahankan agar grafik nilai gue dari semester ke semester stabil. Gue bahkan sudah mengambil keputusan super-duper gila dengan pindah ke jurusan IPS yang benar-benar gak mudah buat gue. Gue sudah menginginkan dan merencakan ini sejak lama. Sejak hampir tiga tahun lamanya, dan gue gak lolos. Gak lolos. Sia-sia semua usaha gue. Buang waktu. 

Gue menghabiskan waktu berjam-jam untuk merenung dan menangisi kegagalan gue. 

Sambil menangis terisak-isak, gue membuka jurnal gue yang sudah menjadi buku harian gue sejak gue baru masuk SMA. Sampai akhirnya gue menemukan catatan yang pernah gue sendiri tulis dua tahun yang lalu, tentang bagaimana gue bersyukur Tuhan sudah bimbing gue untuk pindah ke jurusan IPS; 

"Tuhan selalu punya rencana yang terbaik. Rencana kita gak selalu sejalan dengan rencana Tuhan, karena recana Tuhan selalu yang paling indah. Emang sih ga gampang, tapi rencana Tuhan pasti jawaban yang terbaik,"  

Gue terdiam. 

Di situ gue sadar, apa pun yang sedang menimpa gue sekarang, semuanya terjadi atas izin Tuhan. Ini bagian dari rencana Tuhan. 

Seandainya mimpi gue tercapai, itu adalah rencana Tuhan. Seandainya (dan kenyataannya) mimpi gue gak tercapai, itu pun adalah rencana Tuhan. Gue salah. Tiga tahun perjuangan gue memang sudah menjadi selipan doa gue pada Tuhan selama tiga tahun lamanya. Tapi apa pun itu hasilnya, semua kembali ke rencana Tuhan, lepas dari seberapa keras gue berjuang untuk mimpi gue. 

Gue masih bersedih karna kegagalan gue. Tapi mau gak mau, gue harus berdiri lagi. Kejar mimpi lewat jalur lain, anggap saja banting stir. Namun berbeda dengan perjuangan gue sebelumnya, kali ini lebih besar kepasrahannya. Bukan pasrah karna gue patah hati, tapi pasrah karna gue tahu rencana Tuhan lebih indah dari rencana gue sendiri. 

Dengan itu, gue berterima kasih karena Tuhan sudah melepaskan gue dari jalan yang gak lebih baik dari rencana Dia. 

Gue juga berterima kasih karna lewat kegagalan gue ini, gue sadar kalau gue dikelilingi manusia-manusia yang sangat gue sayang dan menyayangi gue, dan hal baiknya, mereka sepenuhnya mendukung gue. 

Goodluck, 2016. Kita berjuangbareng-bareng ya. 

Rabu, 04 Mei 2016

Pulang

Rabu, 4 Mei 2016 (22.32)

Gue tahu seharusnya sekarang gue berhadapan dengan buku-buku berisi materi tentang soshum, tapi gue benar-benar sedang penat. Gue gak lelah, gue hanya jenuh. Gue benar-benar sedang ingin pulang. Menulis, menuangkan ide dan perasaan gue ke dalam tulisan, adalah definisi gue dari pulang.

Popop gue mengetuk pintu kamar. Gue hentikan alunan musik melow gue dalam playlist, "Ada apa, Pop?"

"Gak apa-apa. Walau pun gak karuan, ternyata enak juga ya ternyata kamar kamu. Luas, cahayanya juga pas," ucap Popop gue sembari pandangannya menjelajahi ruang kamar gue dengan cahaya remang-remang dan baju berserakkan di kasur. "Kalau kakak kuliah nanti, aku mau tidur di kamar kakak." 

Gue tersenyum.

Setiap manusia butuh tempat tinggal untuk pulang, untuk berteduh, berlindung, dan beristirahat dengan nyaman. Di dalam tempat tinggalnya, setiap manusia berhak untuk merasa nyaman. Nyaman sebagai dirinya sendiri, yang dia suka. Walau pun berantakkan gak karuan, gue suka dan nyaman stay di kamar ini. Kasurnya empuk, meja belajarnya luas, dan lampunya redup, pas dengan gue yang gak begitu suka gelap, tapi gak begitu suka dengan yang terlalu terang, soalnya bikin mata gampang capek. Ternyata walau pun kamar bobrok gue kerap jadi bahan lelucon keluarga, masih ada Popop yang mau merasakkan nyamannya ruang ini, bersama gue. 

Berapa hari ini, gue menonton film-film pendek karya teman-teman di angkatan gue. Walau pun gak semua film menceritakan tentang apa yang gue alami di SMA, gue tetap berlinang air mata. Di titik ini gue sadar, gak lama lagi ada banyak hal yang akan meninggalkan dan ditinggalkan. 

Teman-teman gue di SMA. Mulai dari mereka yang menjadi teman bicara gue saat hari pertama masuk SMA, mereka yang menjadi kawan gue di kelas IPA dan dengan sabarnya mendengarkan keluh kesah gue tentang galau jurusan, mereka yang menjadi kawan gue di IPS dan mengajarkan gue bahwa gue tidak sesendirian itu, mereka yang mengajarkan gue bahwa gue layak bahagia, mereka yang menjadi arti dari teman yang sejati, atau dia yang menjadi pangeran kisah romansa gue di SMA. 

Gue tidak akan menyalahkan waktu yang terus berjalan menghitung detik. Gue juga tidak akan menyalahkan diri gue sendiri yang mungkin sering kali menyia-nyiakan waktu yang pernah ada. Tapi beginilah adanya. Hanya dalam hitungan hari, semua gak akan sama lagi. Gak akan ada seragam yang sama. Gak akan ada kelas yang sama. Gak akan ada tawa yang sama. Gak akan ada keluh kesah yang sama. Gak akan ada orang-orang yang sama. Gak akan ada kisah yang sama. 

Gue percaya setiap dari gue dan mereka akan melangkah lebih jauh untuk sesuatu yang lebih baik. Entah untuk mengejar mimpi, atau mungkin mengasah diri untuk menghadapi dunia yang sebenarnya di luar sana. Apa pun itu, gue yakin kita semua melangkah lebih jauh untuk sesuatu yang lebih baik di depan sana. 

Tapi bukan itu yang gue takutkan. Gue merasa nyaman di tempat gue yang sekarang. Gue merasa ini adalah tempat tinggal yang nyaman. Gue merasa teduh. Gue merasa inilah tempat gue pulang. Entah apa pun itu yang menunggu gue di depan sana, bagaimana kalau nanti, semua tidak sama lagi? 

Mungkinkah gue masih punya tempat tinggal untuk pulang?

Hal ini yang bikin gue selalu takut untuk membuka diri dan menempati tempat yang baru. Gue sadar, selama ini gue hanya menutup diri dan gak membiarkan diri gue sendiri melihat hal lain di luar sana, yang mungkin lebih baik dari apa yang gue punya. 

Kehidupan manusia itu dinamis. Selalu ada perubahan dan perpindahan. Untuk bertahan hidup, setiap mahkluk hidup harus beradaptasi. Otak gue tahu benar bagaimana caranya beradaptasi. Tapi tidak dengan hati gue. 

Dalam melodi, ada nada mayor dan nada minor. Nada mayor biasanya membunyikan alunan yang ceria. Nada minor biasanya membunyikan alunan yang sedih atau mengharukan. 

Untuk lo/kamu/anda yang baca sepucuk catatan harian gue ini, percayalah, gue senang kalian pernah menjadi bagian dari perjalanan hidup gue. Anggap saja entah itu nada mayor atau minor yang pernah kita bunyikan, tapi setiap susunan nada pasti menjadi susunan melodi yang indah. Terima kasih karena mau menjadi tempat gue untuk pulang

 

Me and My Freaky-Diary Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review