Gue gak berhenti melangkah. Bukan karena gue cerdas, bukan karena gue telah mempersiapkan semuanya dengan matang, melainkan justru karena sebenarnya gue gak begitu paham ke dunia mana gue melangkah. Karena ketidaktahuan itu, gue bertahan.
Repetisi, katanya. Gue gak tangguh, sama sekali enggak. Gue berpura-pura tangguh supaya gue kelihatan cukup tangguh untuk gak diinjak oleh siapa pun. Gue harap kepura-puraan itu lama kelamaan bisa menjadi bagian dari realitas. Silakan sebut gue munafik karena kepura-puraan gue. Tapi kalau memang itu cara untuk jadi lebih kuat, kenapa tidak?
Lama kelamaan, kepura-puraan itu mulai menjadi bagian dari realita. Tameng gue yang sebenarnya rapuh ini seperti membawa kesan tangguh pada setiap kaca mata.
Gue asik terlena dalam kepura-puraan yang bersiap menjadi realita, dan masih belum berhenti melangkah. Tapi hari itu, semesta seperti mengalunkan melodi dan membangkitkan intuisi gue. Di sana ada Bintang Jatuh.
"Lo tau lo itu kaya apa? Kaya momentum. Gak bisa ditunggu, gak bisa dikejar. Tapi begitu datang, never cease to amaze," kata Bintang Jatuh.
Bintang Jatuh itu benar-benar ada di bumi! Bumi yang sama, sisi bumi yang sama!
Bintang Jatuh, bukan kamu yang seharusnya mengangkat puji-pujian pada semesta untuk doa yang terkabul, tapi aku. Kenyataannya, aku yang pernah berharap untuk dipertemukan dengan Bintang Jatuh. Sinyal Nonlokal mencintai aku, Bintang Jatuh. Dia mendengar semua yang ada dari hatiku; tangis, doa, puji-pujian, dan harapan yang tidak pernah diucapkan sekali pun.
Terima kasih, Sinyal Nonlokal.
Terima kasih, Bintang Jatuh. Jangan berubah karena Naruto jadi Hokage, ya!
Oh iya, satu lagi. Ini sama sekali bukan bacaan intelektual. Tapi gue rasa, ada partikel-partikel kecil dalam otak gue yang sedang bertubrukan. Hormon-hormon apalah itu namanya sedang membiarkan gue jatuh cinta!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar