Sabtu, 09 Juni 2018

Gara-gara Sop Sosis Bakso

"Kakak kapan pulang? Hari Kamis ada Nini, Tante Tuti, sama anak-anaknya loh. Mereka mau lebaran bareng di sini," kata nyokap gue di telfon sambil gue sibuk beres-beres barang mau kuliah. Nggak, lebih tepatnya, mau ujian. Ini lagi musim ujian, sebelum libur lebaran. "Pokoknya nggak ada ceritanya pulang ngaret-ngaret ya. Langsung pulang, nggak usah main-main dulu di Bandung," lanjut Nyokap. Lah, rupanya Nyokap sudah ngebaca niat-niat muslihat gue.

"Iya-iya weekend ini aku pulang. Sabar, Ma. Ini aja ujiannya belum kelar. Project-an juga masih jalan," jawab gue sambil garuk-garuk kepala. Pusing beneran. Ini udah ujung semester. Kerjaan gue nggak karuan, tugas-tugas akhir berteteran, ujian akhir semester juga blakrak. Aduh.

"Iya bener Kakak fokus dulu aja. Pokoknya nanti sehari sebelum lebaran udah di sini ya," jawab Nyokap, sambil gue masih sibuk beberes. "Ini krucil-krucil udah siap lebaran, masa kamunya nggak di sini?"

Sebentar
Krucil-krucil?

Di keluarga Nyokap, gue adalah cucu pertama dan tertua, tentunya. Ditotal-total, gue punya banyak banget sepupu dari keluarga nyokap--dan semuanya masih SD, bahkan baby-baby. Alhasil, gue gede sendiri. Gue adalah "kakak tertua" yang selalu dikroyok setiap kumpul keluarga. Sampai situ, gue nggak masalah, Somehow, gue menikmati ketawa-tiwi sama krucil-krucil ini. Beside, beberapanya cewek-cewek 10 tahun yang baru kenalan sama Instagram. Sesekali mereka ngebahas ini-itu tentang konten Instagram gue yang kebanyakan isinya cover lagu. Jadi nyambung deh ngobrolnya.

Sampai situ, semua mulus.
Tapi kemudian, kita tiba pada pertanyaan dari para sepupu, paman dan bibi, nenek, hingga sanak saudara lainnya....

"Kak Vidya kapan sih lulusnya?"
"Kak Vidya berapa IPKnya?"
"Kak Vidya pacarnya siapa namanya?"

Terus makin ekstrim

"Kak Vidya kapan pacarnya dibawa ke sini?"

Terus lebih ekstrim lagi

"Kak Vidya sebentar lagi nikah ya?" kata mereka sambil gembira ria.
Merekanya gembira ria, guenya mati kutu.

NIKAH???
Muke gile. Jajan tahu isi di kantin aja gue masih ngutang, ini gue dibilang udah mau nikah?
Dikira nikah itu kayak pacaran jaman SMP apa gimana yang santai-santai aja nonton bioskop terus makan hokben setiap pulang pramuka???

"Sama sih. Kemarin juga gue ketemu keluarga besar. Masa Om gue bilang sebentar lagi gue yang bagi-bagiin THR," kata Acong di tengah-tengah keluh kesah gue. "Nggak  tahu aja dia. Mesen menu di warteg aja masih mikir, ya masa bocah kayak kita disuruh bagi-bagi THR?" lanjut Acong.

Acong adalah teman kuliah gue di jurnalistik. Karena nyambung, gue sering banget ngobrol sama Acong. Mulai dari drama-drama kuliah, percintaan, sampai pikiran-pikiran gila yang tiba-tiba pop up di kepala. Intinya, Acong adalah teman seperjuangan gue di kehidupan kuliah. Benar-benar seperjuangan.

Masalahnya, Cong...
Mungkin di mata mereka kita berdua nggak "sebocah itu" lagi.

Mungkin mereka nggak lupa kalau sekarang kita berdua umur dua puluh tahun. Kepalanya udah angka dua, bukan lagi satu atau nol.

Pahitnya, kita bukan lagi ABG-ABG 'kentang' yang kalau kumpul keluarga lebaran duduk sendirian di sofa sambil main Temple Run atau makan nastar bareng dede-dede emesh. Sekarang kita udah diajak duduk bareng di meja makan. Probably ngomongin drama keluarga, harga beras,  2019 ganti presiden, bupati Bekasi, calon suami, atau apa pun topik berat yang dulunya bukan bahan obrolan kita sebagai dede emesh.

Sial. Kita bener-bener udah dua puluh tahun, Cong.

Gue harus jujur, gue nggak ingin cepet gede. Salah gue dulu nurut sama Mbak gue waktu dia nyuapin gue nasi + sop sosis bakso sore-sore di teras rumah sambil ngomong, "ayo makan dulu jangan diemut. Biar cepet gede," Terus sambil rada bodo amat gue mangap aja, enak-enak disuapin sambil main masak-masakan bareng temen-temen di komplek.

HARUSNYA GUE EMUT AJA ITU NASI PAKE SOP SOSIS BAKSO BIAR GUE NGGAK CEPET GEDE!! 

Gara-gara itu nasi pake sop sosis bakso, sekarang gue jadi anak gede beneran. Gue jadi kecemplung di dunia kuliah, dituntut cepet lulus dengan nilai bagus, harus kerja, harus punya duit, harus bayar pajak, harus siap-siap nikah (yang ini nyebelin banget sih), dan harus bisa kontribusi waktu kumpul lebaran keluarga.

PERASAAN KEMARIN GUE MASIH ASIK-ASIKAN MAIN MANDI BOLA KENAPA SEKARANG GUE DITANYA KAPAN NIKAH???

Eh itu lebay sih. Gue main mandi bolanya bukan jaman SMA kok, tenang.

Tapi terlepas dari sop sosis bakso dan mandi bola, kita kembali diperhadapkan sama realita. Kenyataannya, waktu beserta segala perubahan dan perpindahannya benar-benar nggak bisa dihindarin. Lebih dramatisnya, kita terlena sama asiknya tiup lilin waktu ulang tahun--sampai-sampai kita lupa kalau semakin umur bertambah hari, semakin kita nanggung tanggungan yang harus dijawab.

Ini aku waktu kecil. Pura-pura main organ karena memang sejak kecil cita-citaku menjadi artis. Yoi. 

"We'll make it, somehow" kata Cepot waktu kami makan kue balok di sebuah warung nggak jauh dari kampus. Malam itu, tepatnya dua bulan yang lalu, gue dan Cepot merayakan ulang tahun gue ke-20.

"Nyatanya kita pernah ngelaluin dua puluh tahun idup. Dari belum bisa duduk, sampe sekarang nggak bisa diem. Dari cuma bisa makan Milna, sekarang makan sambel cobek. Itu semua berlalu dan berproses, Vid" kata Cepot sambil nyeruput teh angetnya.

Cepot benar.
Ini semua proses.

Nggak ada yang pernah janji kalau ke depannya semua akan jadi lebih mudah. Tapi hidup memang selalu tentang perpindahan kan? Nggak akan datang yang lebih baik kalau nggak pernah ada perubahan.

Gue berubah, kita semua berubah. Dan di antara perubahan-perubahan dramatis itu, ada orang-orang yang datang dan pergi, ada mimpi-mimpi yang tercapai dan kandas--yang semuanya itu (mudah-mudahan) ngebentuk kita jadi orang yang lebih kuat. Yang lebih punya tenaga buat nanggung tanggungan yang harus dijawab.

Serem ya?
Nggak apa-apa.

(Iyain aja, gue lagi menghibur diri sendiri)

"Pokoknya Kakak harus ikut kumpul sama Mama ya lebaran ini. Kan keluarga udah pada ngumpul, masa Kakak mau ngaret pulangnya?" kata Nyokap, masih di telepon.

Gue mengangguk, berusaha yakin.
Well, selamat berproses, Vid.

Kecuali soal nikah, gue anggep itu bukan berproses. Cinta monyet aja gue kandas, ini lagi masa gue ditanya kapan nikah?

Ke warung dulu deh gue, bayar utang tahu isi.

Rabu, 23 Mei 2018

Nahkoda Ria Ratu Dunia

"Lo tuh kalo teori soal cinta, pinter mampus. Giliran praktek, bego banget nggak ketolong!" ucap Piglet di tengah percakapan kami via telefon beberapa waktu kemarin. Iya, si Piglet yang pernah jadi trending topic blog gue jaman SMA. Piglet, mantan pacar gue.

"Ya abisnya gimana? Otak sama hati gue nggak sinkron," jawab gue ngeles.

Gue harus jujur, putus cinta bikin gue melihat segala sesuatunya dari lebih dekat. Mata gue seperti dibukakan; gue dipertemukan kembali dengan orang-orang yang sebenarnya selalu ada di sana. Mulai dari sahabat-sahabat gue, keluarga gue, kakak-kakak gue, sampai hal-hal yang sebenarnya pernah gue cintai. Dalam kata lain, putus cinta bikin gue tahu siapa yang sebenarnya ada di sini, dan siapa yang sebenarnya nggak pernah ada di sini.

Sayangnya, sebenarnya dia nggak pernah begitu ada di sini.
Kalau dianalogiin dengan nahkoda, gue kira dia ada di belakang gue ketika gue asik nyetir kapal. Dan ketika gue nengok ke belakang... ternyata dia udah dadah-dadah. Dia nemu kapal lain yang lebih keren, dengan nahkoda yang lebih mahir juga tentunya. Sekarang, gue sendirian di atas kapal ini. Kapalnya ngarah kemana, gue juga nggak tahu. Biar angin aja ngebawa kapal gue. Sisanya, tinggal gimana gue pinter-pinter bertahan hidup biar ngga ko'id mabuk laut.

"Beberapa masalah memang ada nggak untuk dipecahin, Vid." kata Sule. Sule adalah salah satu orang paling terpercaya gue di sejarah kuliah gue dua tahun ini. Kerjaan sih yang bikin gue nggak sengaja ketemu Sule di awal masuk kuliah. Intinya karena suatu tanggung jawab, Sule memposisikan dirinya sebagai mentor gue buat kerjaan ini. Ternyata gue dan Sule malah kecantol. Dia bukan jadi mentor kerjaan gue, dia mentor idup gue. 

Sule dua tahun lebih tua dari gue, nggak heran pikiran dia jauh lebih mateng dibanding otak gue yang serba sumbu pendek. Sule yang bikin gue survive hidup jauh dari rumah. Sule juga yang mendukung gue habis-habisan untuk jadi lebih kuat setiap harinya. Nggak setiap hari gue bicara sama Sule. Tapi Sule adalah salah satu yang sebenarnya selalu ada di sana. "Beberapa masalah memang ada cuma untuk... diikhlasin aja."

Putus cinta bikin gue ngaca; gue jadi tahu sebenarnya gue ini seperti apa. Gue sadar dan gue jujur, gue sangat-sangat bersikeras untuk mempertahankan sesuatu---yang gue sendiri nggak yakin apa sebenarnya "sesuatu" itu. Yang gue tahu, sesuatu itu pernah tinggal lama bareng gue, arungin setiap badai dan laut tenang di perjalanan gue jadi nahkoda. Gue juga bersikeras mempertahankan si sesuatu walau pun sebenarnya gue nggak sebuta itu untuk lihat kalau... sesuatu itu udah nggak ada.

"Berhenti ngelawan, Vid." kata Sule bikin gue kicep. Sule ambil langkah tepat, memang dalam hitungan sepersekian detik gue akan melawan statement dia dengan kecengengan gue. "Kadang ngalah itu justru butuh kekuatan terbesar. Kamu cukup kuat untuk itu," tukas Sule. Lagi-lagi, gue diam.

"Vid, lo jauh lebih kuat dari ini. Masa kurang dulu lo diospek sama gue jaman SMA?" kata Piglet lagi-lagi nyolot. Sekilas, ini orang resenya keterlaluan--nggak banyak berubah dibanding songongnya dia jaman SMA. "Kalau ada skala satu sampe sepuluh, kelakuan gue ke lo tuh caurnya seribu! Ini laki lo sok-sokan mau nyaingin gue?" gue cuma tepok jidat.

"Don't worry, Vid. Kita (entah siapa yang dia maksud "kita") nggak buta. Separah-parahnya kelakuan gue dulu, gue tahu lo orang bener. Jangan berhenti jadi Vidya," jelas Piglet. Sampe situ gue diam. Halah, gombal doang paling dasar laki mulutnya sa ae.

"We all love, Vid. And we will always do." sampe situ gue diam, bukan karena gue merasa si Piglet gombal--tapi karena Piglet ngingetin gue satu hal: perjalanan gue di laut ini bukan cuma tentang gue dan Karamel. Ini juga tentang mereka-mereka yang nunggu gue di pulau tempat gue tinggal.

Oke, analogi gue nggak karuan. Tapi gue rasa lo nangkep maksud gue:
Kalau gue (mungkin dan lo) nggak bisa bangun karena dia yang ninggalin kita untuk kapal lain yang lebih keren, seenggaknya gue (dan lo) bisa bangun untuk mereka yang nunggu kepulangan kita.

Dia pergi, dan kekacauan yang dia buat sama sekali nggak mudah untuk diberesin lagi. Tapi tanpa dia, masih ada mereka yang siap datang dan bertamu. Mereka yang ada karena ketersediaan gue melihat segala sesuatu dari lebih dekat. Mereka yang sebenarnya selalu ada di sana.

Tulisan gue yang terburu-buru karena gue harus kelas setengah jam lagi ini, gue dedikasikan kepada mereka yang sebenarnya selalu ada di sana. Dunia ini terlalu keras buat ngasih lo cinderamata. Tapi kalau gue punya fast track, gue janji surga punya special seats untuk lo. Terima kasih.

Dan kepada lo yang ternyata meninggalkan kapal gue untuk kapal lain yang lebih keren, nggak apa-apa. Gue harap kapal baru lo sepadan membayar perjuangan lo susah payah bertahan hidup di kapal gue yang bobrok ini. Gue nggak akan kemana-kemana. Biar gue yang ambil kendali penuh sekarang.

Gue nggak sengaja ketemu Piglet lagi setelah dua tahun nggak ada kontak. Terakhir ketemu pun lulus-lulusan SMA. Dua tahun bukan waktu sebentar untuk ngerubah gue dan Piglet jadi orang yang lebih kuat. Tapi Piglet masih Piglet begitu juga gue masih gue. Piglet yang ternyata selalu ada di sana.

Aneh, hidup gue kayak nggak bosen-bosen bikin gue ngeliat segala sesuatunya dari lebih dekat.

Kalau kata Sherina: bahkan bintang bersinar, air mengalir, sampai dunia berputar pun ada "mengapa"nya. Lihat lebih dekat, dari sana kita paham.

BERSAMBUNGGGGGGGG!!!!

Jumat, 26 Januari 2018

Berburu Kekasih untuk Aku Si Calon Dokter

Gue menghabiskan 6 tahun masa pendidikan Sekolah Dasar gue di sebuah SD Katolik di Bekasi. Masuk SMP, Mama gue nyekolahin gue di sebuah sekolah yang mewajibkan siswa-siswinya untuk belajar dan mengobrol dengan bahasa Inggris. Satu semester pertama, gue terseok-seok. Nilai gue ancur-ancuran karena gue bahkan nggak ngerti apa yang gue sendiri tulis di buku catatan gue. Tambah lagi, gue ingat banget waktu itu wali kelas gue (namanya Mr. Uje) memberikan peraturan wajib kena denda seribu buat anak-anak yang ketahuan ngobrol pake bahasa sehari-hari. Tenang, gue nggak pernah mengalami masa-masa jadi pendiam. Kemungkinan besar karena memang gue sudah doyan curhat dari lahir. 

Foto bareng Aulia dan Bella beberapa hari sebelum AKHIRNYA lulus SMP. Yay.

Saking gue nggak paham apa yang gue sendiri tulis di buku catatan, gue mati-matian ngafalin setiap kata yang gue tulis supaya gue bisa ngisi soal ulangan. Yak, jadi gue ngafalin apa yang bahkan nggak gue pahamin. Salah satu kalimat yang sampai sekarang masih nempel di kepala gue adalah kalimat pertama dari bab pertama pelajaran fisika di buku catatan gue: 

Physicial Quantity is something thats able to be measured in numbers or value. 

Iya lo mampus sampe sekarang pun gue nggak ngerti gimana bisa-bisanya gue survive satu semester pertama itu but somehow I made it. Sekarang kalau dipikir-pikir, ternyata kasihan juga ya gue jaman baru masuk SMP. 

Tapi bukannya memang itu ya yang mereka sebut living life to the fullest
Entahlah, gue sotoy. Gue cuma sedang berusaha menghibur diri sendiri karena sebenarnya gue sering banget ada di fase dimana I don't know what I'm doing, I don't know if I'm going to make it or no, atau I don't know where I'm going and I'm just going the flow-segitunya. 

Beberapa waktu yang lalu, gue ngobrol bersama keluarga besar gue. Seperti pertemuan-pertemuan lainnya, gue harus berhadapan dengan pertanyaan yang lagi-lagi seputar: 
  1. Kenapa nggak masuk kedokteran aja? 
  2. Kalau gitu, kenapa nggak masuk akuntansi? Kan biar kerjanya jelas. 
  3. Memangnya mau kerja apa kalau kuliah komunikasi?
  4. Pacarnya namanya siapa? 
(Pertanyaan terakhir itu nggak pernah di-skip dalam setiap pertemuan dengan keluarga besar atau dengan sanak saudara mana pun, tapi bukan itu yang mau gue bahas kali ini) 

Sekitar 4 tahun yang lalu, gue masuk SMA dalam keadaan nggak tahu mau jadi apa. Yang gue tahu cuma gue gagal masuk SMA negeri favorit yang gue pengenin, jadi gue menghabiskan 3 tahun SMA di sekolah yang Mama gue rekomendasiin (lagi-lagi karena dia kepengen gue bisa cas-cis-cus ngobrol dengan bahasa asing). 

Waktu itu gue harus langsung penjurusan IPA atau IPS semenjak semester 1, semenjak baru masuk SMA. Karena gue terlalu pasrah dengan apa kata nyokap-bokap, gue masuk IPA. Entah gimana ceritanya, bokap gue pernah sebegitunya yakin kalau gue cocok sekali jadi dokter. Menurut bokap, gue punya kemampuan khusus menebak penyakit seseorang. Entah itu ilham turun darimana, gue pun sejujurnya nggak begitu mengiyakan keyakinan mistis bokap gue itu. 

Sebulan belajar di IPA, gue nggak pinter tapi syukur-syukur nggak bego-bego amat juga. Gue jalanin idup gue sebagaimana gue di hari-hari biasanya. Sampai suatu hari, seorang guru konseling (namanya Ms. Tata) datang ke kelas gue dan menanyakan kesukaan satu-satu dari kami anak-anak kelas 10 Alder. Di situ gue sadar, gue benar-benar nggak tahu kenapa gue bisa ikhlas menjalani hari-hari gue di IPA. Mungkin karena gue terlalu saklek dengan apa kata bokap-nyokap, tapi intinya hari itu gue sadar kalau gue nggak pengen jadi dokter seperti harapan bokap gue. Gue suka bercerita, gue suka mendengarkan, dan lagi-lagi; gue nggak pengen jadi dokter. 

Setelah ngobrol-ngobrol dengan Ms. Tata, gue membulatkan tekad untuk pindah ke kelas IPS. Setelah banyak diskusi dengan bokap-nyokap, sayangnya bokap gue nggak mengiyakan. Dia masih aja berkeyakinan bahwa gue cocok jadi dokter. Karena memang gue dari sononya sedikit nggak waras, suatu hari gue memutuskan bahwa hari itu akan menjadi hari terakhir gue di kelas IPA. Gue sendirian datang ke ruangan Ms. Tata, menandatangani surat pernyataan, esok harinya masuk kelas IPS. 

Karena gue sudah keburu pindah, bokap-nyokap gue nggak bisa banyak berkutik. Gue sudah keburu masuk kelas IPS seminggu, mau diapain lagi. 

Foto bareng kelas IPS gue di Dufan. Kurang asik gimana lagi. Rambut gue lepek banget kayak ekor lele. 

Masuk kelas IPS... nilai gue nggak jadi lebih baik. Ditambah lagi, gue ketinggalan materi sebulan karena gue baru saja pindah setelah sebulan sia-sia di kelas IPA. Alhasil, gue harus berjuang jauh lebih keras. Gue mendorong diri gue sendiri untuk membaca materi-materi yang nggak begitu bikin gue tertarik, tapi seenggaknya gue bahagia dengan apa yang gue lakukan. 

Gue ingat banget, gue harus bekerja sekeras itu cuma untuk mahamin materi sejarah. Entah gimana ceritanya, dari SD sampai sekarang pun gue nggak pernah tertarik sama sejarah. Beruntung lagi, gue dikelilingi oleh keluarga (yang awalnya sempat nggak ikhlas) dan teman-teman yang sangat supportive. Lagi-lagi, somehow I made it

Sekarang gue kuliah jurnalistik di Bandung. Bukan pilihan pertama gue sih, tapi gue keburu kecantel di sini dan keburu kehabisan tenaga untuk bimbel lagi dan ujian lagi. Alhasil, gue menjalani hari-hari gue seperti sebagaimana gue seharusnya ngejalananin. Let it flow, kata gue berupaya menghibur diri. 

Sejujurnya sampai sekarang pun gue nggak tahu harus jawab apa kalau ditanya soal kenapa nggak jadi dokter, kenapa nggak kuliah akuntansi, atau memangnya mau jadi apa kalau kuliah jurnalistik. Sayangnya kenyataannya adalah gue sendiri nggak tahu apa yang gue lakuin sekarang ini bakal ngehasilin sesuatu yang besar atau enggak. Tapi gue harap terlepas dari besar atau enggak hasilnya nanti, gue hargain proses demi proses yang gue alamin sekarang. 

Ini sama sekali nggak mudah. Mungkin juga gue nggak akan jadi sehebat dokter atau secerdas akuntan yang ngerti banget gimana cara kerjanya suatu perusahaan. Mungkin keyakinan bokap gue selama ini nggak segitunya benar, gue nggak segitunya punya kemampuan mistis buat menebak seseorang sakit apa. Mungkin gue nggak bisa jadi sebesar yang mereka harap, tapi gue percaya proses berharga yang gue jalanin sekarang akan ngebuahin sesuatu yang sama berharganya. 

Gue suka mendengarkan, gue suka bercerita. Gue nggak tahu ini akan jadi mudah atau enggak, dan sejujurnya nggak tahu ini akan ngehasilin sesuatu yang besar atau enggak. Tapi kemana pun itu nantinya takdir membawa gue dan lo, gue harap kita sama-sama bahagia dengan proses yang udah kita laluin. 

Gue nggak tahu apa esensinya gue post foto ini, biar rada rame aja blognya. Ini foto gue kelas 3 SD waktu nyanyi di acara Agustus-an komplek. Keyboardist-nya bokap gue. Baju gue gambar Minmie. Yoi. 

Anyway
, lanjut ke semester pertama gue di SMP. 
Masuk semester kedua di kelas 7, gue gas abis-abisan. Gue menghabiskan sore hari gue untuk tidur, dan tengah malam sampai pagi untuk belajar. Walau pun gagu dan bego, gue memberanikan diri untuk speak up dengan bahasa yang sama sekali nggak familiar. Lama-lama gue menjadi semakin bawel sambil cas-cis-cus pake bahasa Inggris walau pun sotoy. Mungkin gue nggak bisa jelasin apa yang gue raih dan mungkin juga nggak sesempurna itu hasilnya, tapi lagi-lagi...

somehow I made it

and I know you'll make it too:]


Kamis, 16 November 2017

Nona Manis dan Ayam KFC

Gue percaya bahwa patah hati adalah satu dari sekian banyak bagian kehidupan. Dimana ada kehidupan, di sana ada mereka yang siap menjatuhkan dirinya untuk orang lain. Dimana ada mereka yang rela jatuh sedalam-dalamnya, di sana ada mereka yang bersiap untuk jadi lebih dewasa.

Gue sendiri nggak begitu tahu apa itu definisi dari patah hati yang sesungguhnya. Tapi gue sendiri mendefinisikan patah hati nggak hanya dengan putus cinta kisah asmara ABG labil, tapi juga tentang meninggalkan dan ditinggalkan oleh mereka yang kita kira bisa stay untuk waktu yang setidaknya lebih lama.

Nggak perlu ngejanjiin selamanya, tinggal lebih lama juga udah cukup.

Patah hati pertama gue terjadi waktu gue kelas 1 SD:  
Waktu TK, gue bertemu dengan seorang teman sekelas namanya Nona. Parasnya manis sekali. Setiap hari rambut ikalnya diikat dua. Setiap hari juga dia bawa bekal enak dan nggak pernah pelit-pelit untuk bagi-bagi makanan.

Setiap hari gue dan Nona menghabiskan waktu bersama. Berhubung kami satu mobil antar-jemput, kami bareng-bareng dari baru berangkat sekolah sampai tiba di rumah masing-masing siang harinya. Rumah gue dan Nona beda komplek, tapi Popop gue sering kali mengantar-jemput gue ke rumah Nona untuk sekedar mampir dan makan siang bareng keluarga Nona.

Masuk SD, gue dan Nona pisah sekolah. Waktu itu, anak TK belum difasilitasi dengan alat teknologi komunikasi yang serba mudah. Popop gue menyimpan nomor orang tua Nona supaya kalau suatu hari gue kangen, gue bisa hubungin Nona kapan pun gue mau. Sayangnya beberapa kali gue mencoba menghubungi Nona, telepon gue nggak pernah diangkat begitu pula SMS gue nggak dibalas.

Suatu hari, gue pulang sekolah dan tiba di rumah dengan muka lusuh, kecapekan karena seharian lari-lari nggak bertujuan di lapangan sekolah waktu istirahat. Sampai di rumah, gue lihat ada selembar undangan pesta ulang tahun. Gue gembira bukan main, itu undangan dari Nona.

***

Setibanya di pesta ulang tahun Nona, gue disambut dengan sangat hangat oleh orang tua Nona. Gue dipersilakan duduk bareng teman-teman Nona yang nggak satu pun gue kenal. Tapi nggak apa-apa, gue senang bisa punya teman baru dan lebih senang lagi, gue bisa ketemu Nona.

Nah, di sini bagian patah hatinya. Seusai acara tiup lilin dan potong kue, Nona bersama teman-temannya ngobrol-ngobrol asoy sambil makan ayam KFC. Gue berupaya setengah mampus untuk ikut ngobrol bareng gengnya. Sayangnya, gengnya sedikit... cuek?

Gue berusaha banget ngajak ngobrol Nona, tapi Nona cuek setengah mampus. Dia selalu ngancangin gue dan asyik ngobrol dengan gengnya. Gue yakin, Popop gue mulai melihat kejanggalan. Dengan rasa iba karena muka gue memelas, Popop nyamperin gue dan membujuk gue pulang karena hari juga sudah sore, sih. Gue ngotot nggak mau pulang. Gue masih bersikeras kalau gue bisa lagi ngobrol sama Nona. Gue bersikeras, Nona pasti merindukan gue sebanyak gue merindukan Nona. Gue bersikeras lagi, manisnya pertemanan gue dan Nona pasti masih sama.

Sayangnya enggak. Gue pamit pulang tapi Nona masih ngacangin gue dan asyik main dengan geng barunya. Alhasil, gue pulang tanpa pamit sama Nona. Sampai rumah, gue nangis seember di depan keluarga gue. Gue kecewa bukan main. Gue kira gue seberharga itu untuk Nona. Gue kira susah dan senang dan yang pernah gue laluin bareng Nona itu pantas untuk dibilang berharga. Gue kira gue dan Nona nggak harus meninggalkan satu sama lain untuk memulai perjalanan yang baru.

Sejauh ini gue kira, patah hati adalah selalu tentang meninggalkan dan ditinggalkan. Pahit sih, tapi meninggalkan dan ditinggalkan adalah selalu menjadi bagian dari kehidupan. Dimana ada yang datang dan pergi, di sana ada perpindahan. Sayangnya lagi, hidup adalah selalu tentang perpindahan. Karena ada perpindahan, maka ada kehidupan. Atau jangan-jangan, perpindahan itu makna dari kehidupan itu sendiri?

Mungkin juga, orang yang menjalani hidup harus siap menjalani perpindahan. Orang yang menjalani hidup harus siap menghadapi yang datang dan pergi. Mungkin banget lagi, orang yang menjalani hidup harus juga menjalani patah hati. Sial.

Semakin gue dewasa, semakin gue sadar bahwa patah hati adalah benar-benar bagian dari kehidupan. Gue sadar bahwa nggak selalu segala hal adalah sebagaimana yang gue harap. Gue yang udah berupaya mati-matian untuk dapat hasil maksimal, rupanya harus mengalami kegagalan nilai pas-pasan pada akhirnya. Gue yang sudah susah-susah cuci sepatu, rupanya sore ini hujan dan sepatu gue lagi-lagi harus kebecekan.

Gue yang sudah berusaha memberikan yang terbaik buat mereka, rupanya harus ditinggal karena pada dasarnya, setiap orang (termasuk setiap dari mereka) selalu menginginkan hari-hari yang lebih baik. Tuh kan benar, hidup itu nggak jauh-jauh dari datang dan pergi atau ditinggal dan meninggalkan.

Oh iya, kembali ke cerita gue dan Nona.
Kisah gue dan Nona nggak begitu berakhir dengan happy sih. Semenjak hari ulang tahun Nona, gue masih saja berupaya mengkontak Nona lewat nomor telfon orang tuanya. Sayangnya, nggak satu pun SMS gue dibalas. Sampai akhirnya hari demi hari, gue sadar bahwa Nona benar-benar sudah asyik dengan dunia barunya.

Gue harus terima kenyataan bahwa hari-hari baru Nona semenjak masuk SD (mungkin dan mudah-mudahan) lebih seru. Gue harus terima kenyataan bahwa mungkin teman-teman baru Nona lebih saik. Pahitnya lagi, gue harus terima kenyataan bahwa mungkin gue bukan lagi bagian dari dunianya Nona.

Sampai gue gede, gue masih nggak ada sedikit pun komunikasi dengan Nona. Kenyataannya, Nona benar-benar meninggalkan gue. Nona adalah salah satu dari mereka yang pernah datang dan pernah pergi. Sampai detik ini (di usia 19 tahun) gue masih mengingat patah hati gue karena kepergian Nona.

Patah hati gue belakangan ini jauh lebih dahsyat daripada patah hati gue karena kepergian Nona. Gue rasa sampai gue gede pun (sekarang juga udah gede, deng) gue akan masih merasa sedih mengingat-ingat pedihnya patah hati gue sekarang. Bukan dendam, tapi mereka benar-benar punya tempat yang istimewa di hidup gue.

Kalau gue bisa memilih, gue ingin mereka tinggal di sini lebih lama lagi. Nggak perlu janji selamanya, tinggal lebih lama juga udah cukup buat gue.

Sayangnya mereka nggak buta untuk tahu kalau dunia baru mereka lebih menyenangkan dibanding dunia mereka sebelumnya. Sayangnya lagi, gue bukan bagian dari dunia baru mereka.

Gue akan menjalankan hari-hari gue seperti hari-hari lain yang udah berlalu.
Gue dan lo akan menjadi dewasa dan semakin dewasa karena patah hati-patah hati yang pernah menjadi bagian dari kehidupan.

Selasa, 01 Agustus 2017

Nobita Banyak Cincong

Gue gak pernah suka perpisahan. Menurut gue, memutuskan untuk berpisah itu gak pernah gampang. Gue bahkan gak suka perpisahan dengan orang yang gak gue suka atau gak suka sama gue. Gimana kalau pada akhirnya nanti entah kapan pun itu, gue atau dia yang gak suka gue merasa bersalah tapi kita keburu terlambat karena kita berpisah?

Mungkin sebenarnya inti dari rasa ketidaksukaan gue adalah gue takut akan penyesalan yang selalu datangnya belakangan.

Kenapa untuk beberapa orang perpisahan bisa jadi semudah itu?

Hidup gue (dan tentunya hidup kita semua) penuh dengan kedatangan dan kepergian. Hidup ibarat bandara, dimana setiap orang datang dan pergi. Beberapa datang untuk tinggal selamanya, beberapanya lagi datang untuk terbang lagi. Itu memang gak bisa dipungkiri.

Beberapa waktu yang lalu, salah seorang terdekat gue memutuskan untuk berpisah. Sedih, tapi kurang tepat kalau berlarut-larut ditangisin. Intinya kembali ke pertanyaan pertama gue, kenapa untuk beberapa orang perpisahan bisa jadi semudah itu?

Sayangnya kembali ke hipotesis pertama, perpisahan adalah seperti bagian dari kehidupan yang gak bisa dihindari dan mungkin gak akan gampang untuk dilalui terutama oleh orang payah seperti gue.

Buat gue sulit karena gue butuh waktu untuk memutuskan berpisah-atau-enggak. Entah berapa lama waktu yang gue butuh. Mungkin pada dasarnya gue ingin mereka singgah di bandara gue untuk selamanya.

Seperti kisah receh pada umumnya, perpisahan bisa (bisa banget) jadi bagian dari sebuah kisah cinta. Klasik, lah.

Enggak, gue bukan lagi perpisahan. Tapi sekitar dua minggu yang lalu gue dan Karamel harus pisah sementara waktu karena ada sesuatu yang harus dia kerjain, jauh dari tempat gue tinggal.

Beberapa waktu terakhir sebelum Karamel berangkat, kami sarapan bareng. Sesekali kami ngingetin satu sama lain untuk selalu jaga diri selama kami jauh. Kemarin malam, Karamel pulang. Kami ngobrol lewat telepon. Kami saling tanya kabar dan saling tanya dan cerita gimana aja keseruan (atau kebosanan gue) selama dua minggu kami jauh.

Dua minggu ini gak banyak yang gue kerjakan. Selain karena pengen hemat, kebetulan beberapa hari terakhir ini gue lagi gak sehat jadi gue gak bisa banyak keluar rumah atau berkegiatan. Di sela-sela waktu kosong, gue mencoba buat bikin...

Oke, biar gue jelasin dulu.
Dari kecil, gue selalu suka bermusik. Jago sih enggak, tapi suka iya. Gue gak terlalu terbuka sama keluarga gue tentang apa yang sebenarnya gue suka, tapi bokap gue sepenuhnya mendukung gue bermusik. Bukan sebuah kebetulan, bokap gue juga main musik. No wonder kenapa kesukaan gue sama musik masih nempel sampai sekarang.

Sayangnya, kesukaan gue sama musik gak begitu ada wadahnya sekarang. Entah karena kuliah gue yang kerjaannya numpuk (dan sama sekali gak membutuhkan musik), kerjaan gue yang terlalu padat, atau karena gue yang terlalu gak percaya sama diri sendiri sampai-sampai gue menutup diri dengan menyibukan diri dengan kerjaan kuliah yang sebenarnya masih bisa di-handle.

Oke kemungkinan alasan yang paling akhir keliatannya paling panjang. Berarti itu alasannya. Oke. Gue bukan cuma ragu sama diri gue sendiri. Gue ngerasa lingkungan gue adalah lingkungan sekarang yang jauh dari rumah memang udah dari sononya gak menggiring gue pada musik. Oke, gue kebanyakan cincong. Intinya, gue gak percaya diri sendiri. Titik.

Kembali ke percakapan gue dan Karamel di telepon. Jadi dia menanyakan apa saja yang udah gue kerjain selama dua minggu ini. Sambil malu-malu, gue mencoba menjelaskan kalau beberapa kali gue mencoba bikin lagu.

"Kamu tuh bisa. Kamu cuma butuh kesempatan buat kasih bukti untuk mulai," jawab Karamel sebelum gue jelasin panjang lebar ketidakpercayadirian gue. Suaranya parau, kode udah ngantuk. Gue diam. Itu yang selama ini pengen gue dengar. Dorongan.

Karamel sering kali kasih gue dukungan yang diam-diam, berarti banget buat gue.
Beberapa waktu yang lalu, gue harus ngebacain semacam speech yang tujuannya adalah "menyentuh" hati teman-teman seangkatan gue. Gue harus bicara di atas panggung, pakai mic, dan di hadapan ratusan orang yang pegang lilin syahdu-syahdu gimana gitu deh.

Oke. Pertama, gue gak pernah speech. Kedua, gue gak jago "menyentuh" hati orang. Ketiga, bicara di depan ratusan orang itu gak gampang. Kemungkinannya terburuknya adalah omongan gue jelek atau gak didengar sama ratusan orang di hadapan gue. Bukan salah mereka yang ada di hadapan gue. Guenya aja yang terlalu cempreng untuk jadi enak didengar orang. Gue ulang, gue belum pernah speech.

Malam itu Karamel berdiri tepat di pinggir panggung. Bareng Fathul (temannya Karamel) yang nemenin gue di panggung sambil main gitar, gue bacain susunan kata gue yang... gak banget deh pokoknya. Gue gak tau berapa banyak yang dengar kata-kata gue malam itu. Gue bahkan gak bisa dengar suara gue sendiri. Tegang sih enggak, urat malu gue udah putus. Tapi terlepas dari seberapa banyak atau sedikit yang dengar... gue senang peluk dari Karamel sebelum dan gue sesudah speech bikin semua jadi lebih baik.

Kembali ke hipotesis awal, perpisahan adalah bagian dari kehidupan dan perpisahan adalah bagian klasik dari kisah cinta-cintaan.

Gue benci perpisahan, tapi gue gak pengen menutup mata gue sendiri dari kemungkinan-kemungkinan pahit.

Karamel, gue gak tau kemungkinan apa yang nunggu kita di depan sana. Tapi kalau sampe hipotesis ini benar, percaya deh, gue senang lo pernah ada di pinggir panggung malam itu. Gue juga senang karena lo selalu tahu apa yang gue butuh untuk berdiri lagi.

Semoga hipotesis gue salah ya.
Semoga sekali pun perpisahan adalah bagian dari kehidupan, begitu pula dengan pertemuan.

Selasa, 20 Juni 2017

Budi Menggigit Anjing

Gue gak pernah begitu percaya sama intuisi, tapi gue selalu percaya kalau bagaimana pun caranya, segala hal yang ada di dunia, atau setidaknya segalanya di hidup gue sebenarnya udah tercatat. Bagaimana pun bentuk catatannya, gue percaya kalau takdir (or whatever you call it) itu selalu membawa gue pada tujuannya sendiri.

Sejak SD, gue hobi banget cerita. Gue tahu gue payah, but I gotta be honest that somehow, gue suka bercerita. Gue suka menulis, gue suka bicara, dan gue suka ngobrol. Mama gue sering bercerita bahwa sejak kecil, gue sering SKSD (Sok-kenal-sok-deket) sama banyak orang, sekali pun yang belum gue kenal.

Hobi aneh gue tersebut membawa gue pada ekstrakulikuler jurnalistik sewaktu gue kelas 5 SD. Gue inget banget, ekskul itu dibimbing sama guru SD gue yang masih dan akan selalu gue ingat karena jasanya, Ibu Merti. Kerjaan di ekskul itu simple, anak-anaknya dijelasin tentang tulisan yang menarik sambil sesekali ngewawancara murid dari ekskul lain yang kemudian hasil wawancaranya kami buat jadi artikel.

"Kalau Budi digigit anjing, itu bukan berita. Kalau anjing digigit Budi, itu baru berita!" kata Ibu Merti menjelaskan pemahaman dari tulisan yang menarik.

Sekarang gue berkuliah di jurusan jurnalistik. Masuknya sih antara sengaja dan gak sengaja. Memang bukan pilihan pertama gue, sih. Tapi berhubung sudah lolos (dan sudah kelimpungan cari kuliah), gue pikir jalanin aja dulu, deh.

Beberapa waktu setelah kelolosan gue dan sebelum gue pindah ke kabupaten Sumedanh, gue bertemu seorang teman yang sudah menjadi kawan karib gue sejak lahir, sebut saja namanya Shizuka. "Gak nyangka, ujung-ujungnya lo balik lagi ke ekskul lo jaman SD, ha-ha!" kata Shizuka cengengesan.

Lah, iya. Bener juga nih si Shizuka.

Selama 3 tahun di SMA, gue berupaya memikirkan matang-matang mau dibawa kemana rencana masa depan gue. Gue sama sekali gak terbayang bahwa ujung-ujungnya, gue bakal kecemplung lagi ke dalam tugas-tugas tulis-menulis (bedanya sekarang tugas-tugasnya lumayan mematikan, gak kayak tugas menulis jaman SD). Ternyata apa yang gue cari-cari selama 3 tahun sudah pernah menjadi bagian dari keputusan gue. Yak benar, keputusan waktu SD untuk ikut jurnalistik.

"Kita jangan kontakan dulu. Ngobrolnya lanjut lagi kalau kita udah ketemu di sana, ya!" kata Karamel beberapa jam sebelum kami ketemuan di sebuah kafe. Bertemu untuk yang kedua kalinya setelah takdir memertemukan gue dengan Karamel.

"Biar kita tahu kalau nggak ada alat komunikasi, kita berdua bakal tetap datang atau enggak. Orang jaman dulu aja kalau janjian ketemuan di bawah pohon nggak pake chatting-an dulu," katanya. Rupanya, kami berdua tetap datang.

Semenjak itu, beberapa kali kami secara sadar atau nggak sadar tidak menghubungi satu sama lain saat beberapa jam sebelum ketemuan. Tujuannya aneh tapi penting: menguji intuisi.

Suatu hari waktu liburan panjang, gue dan Karamel ingin jalan-jalan ke museum di Jakarta. Kami berangkat sendiri-sendiri dari rumah masing-masing. Untuk pertama kalinya, gue naik kereta ke Jakarta. Seru, sih. Perjalanannya nyaman dan cepat, nggak kena macet.

"Mel, aku udah di stasiun Bekasi, nih." kata gue ketika baru mau berangkat ke Jakarta. Itu menjadi percakapan terakhir gue dan Karamel sebelum akhirnya ketemuan. Gue sengaja, ingin nguji intuisi. Karamel pun tidak kunjung menghubungi gue semenjak percakapan terakhir itu. Kira-kira kalau kami gak janjian, kami bakal tetap ketemu nggak, ya?

Sampai di Stasiun Kota Jakarta, gue sama sekali tidak tahu harus apa dan kemana. Sambil "menguji intuisi", gue ngeloyor nyari kopi. Sambil sruput-sruput kopi, gue melangkah di stasiun. Itung-itung sambil explore tempat baru. Setelah beberapa langkah, gue melihat Karamel di tengah keramaian stasiun.

"Kamu sengaja gak kontak aku karena pengen nguji intuisi, ya?" tanya gue dari belakang Karamel.

Ternyata intuisi kami hidup. Kami tetap bisa ketemu walaupun nggak kontakan. Emang beda tipis sih antara intuisi sama kebetulan. Tapi mungkin gak sih itu kebetulan kalau terjadinya berulang kali?

Hari ini, hari ketiga semenjak kepulangan gue ke peradaban kuno Jakarta. Sore ini, gue berencana untuk ketemuan dengan geng Invisible (nanti gue jelasin kenapa namanya Invisible) dan beberapa guru dalam rangka buka bersama dan kangen-kangenan.

Gue menghabiskan 6 tahun masa pendidikan gue (SMP sampai SMA) di ranah Cibubur, sebuah ranah sempit dimana setiap 2 meter, ada kemungkinan lo bertemu orang yang lo kenal. Hari ini, gue janjian ketemuan bareng geng Invisible di Cibubur.

Gue berangkat dengan berkendara ojek online. Di perjalanan ke Cibubur, gue secara tidak sengaja melihat...

melihat...


MELIHAT...

tegang, nggak?!!

Gak usah tegang, biasa aja.

Gue melihat orang yang pernah menjadi bagian dari drama SMA gue. Drama nggak jauh-jauh dari kisah romansa, jadi silakan tebak sendiri siapa tokoh drama yang gue temui sore ini di jalan (Gak deng, gak usah ditebak). Yak, kata gue juga apa. Cibubur adalah ranah sempit dimana setiap 2 meternya, ada posibilitas lo bertemu orang yang pernah lo kenal.

Seperti canggung-canggung pada umumnya, gue sendiri nggak tahu harus bersikap bagaimana. Entah ini sebuah kondisi beruntung atau enggak, tapi ojek yang terus bergerak gak memungkinkan gue untuk berpapasan.

Ini intuisi atau kebetulan?

Gak, ini bukan intuisi. Ini Cibubur. Cibubur sebagai ranah sempit dimana setiap 2 meternya, ada posibilitas lo bertemu orang yang pernah lo kenal.

Terlepas dari ini intuisi, kebetulan, atau Cibubur, gue harap intusisi gue tentang peradaban kuno udah terlalu usang untuk hidup kembali. Atau seenggaknya kalau memang belum seusang itu, anggep aja gue udah ngebunuh intuisi atau apapun itu namanya. Gue terlalu capek buat urusan lagi sama peradaban kuno.

Lagi pula, bukannya gue udah pernah memutuskan untuk berubah?

Waktu gue SMA, gue gak pernah gak tidur setiap pelajaran sosiologi. Gue suka sosiologi, okay? Bukan pelajarannya yang salah, tapi guenya yang terlalu gampang tidur. Suatu hari, kami, murid 12 Viburnum, disuruh membaca materi dari buku dan menjelaskannya secara berkelompok. Karena gue asik tidur, tentunya gue tidak membaca apa-apa.

"Bangun-bangun. Coba jelaskan, tadi kelompok kamu baca apa?" kata Mr. Hery (guru sosiologi) membangunkan gue. Alhasil, gue jawab aja alakadarnya. Lumayanan, jawaban gue adalah hasil karangan gue dan imajinasi gue. Hore!

"Emangnya mana kelompok kamu?"

Oh iya, gue gak punya kelompok. Gue celingak-celinguk.

"Ini, Sir!" kata gue sambil menunjuk kedua teman yang kebetulan lagi asik ngobrol di sebelah gue. Tentu saja, kedua orang ini juga sama sekali tidak membaca materi. Kedua tersangka tersebut adalah Zeta dan Divi. Mr. Hery geleng-geleng.

Semenjak itu kami sadar bahwa kelompok kerja kami selalu ada...

Tapi hasilnya yang gak ada.

Kemudian lahirlah geng Invisible.

Hari ini kami gak sengajaan pakai baju hitam-hitam. Emang dasarnya udah penguasa kegelapan, mau diapain lagi lah. 

in·tu·i·si n daya atau kemampuan mengetahui atau mema-hami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati

Komponis Musik Ilustrasi Sinetron Indonesia, Purwacaraka: Bermain Musik adalah Tentang Rasa

“Musik adalah tentang rasa dan kepekaan personal seseorang. Dengan rasa yang baik, seseorang bisa menghasilkan komposisi musik yang baik, terlepas dari apapun bentuk instrumennya.” jelas Purwacaraka, musikus sekaligus komponis musik Indonesia yang terkenal akan karya musik ilustrasinya di dunia sinetron, tersirat dalam penjelasannya mengenai peranan musik digital dalam dunia musik Indonesia di generasi muda.
            Menciptakan musik ilustrasi untuk film bukanlah sebuah hal mudah. Diperlukan pelatihan dan pembelajaran yang matang, yang pula memerlukan waktu bertahun-tahun lamanya. Pengabdian dan pengorbanan menjadi kawan dari berbagai proses yang ditapaki.
Musik ilustrasi bukanlah hanya tentang alunan musik yang nyaman bagi telinga, tapi juga yang mampu membawa suasana emosi penonton sesuai dengan pesan yang disampaikan oleh pembuat dan pemeran film. Oleh karena itu, yang tidak kalah penting dari kemampuan bermusik adalah kemampuan untuk merasa dan memaknai sebuah pesan visual.
Seiring dengan hidup dan berkembangnya dunia sinetron di Indonesia, teknologi dan digitalisasi turut bernafas bersama kehidupan perfilman. Dengan bernafasnya digitalisasi dalam dunia musik, berbagai kemudahan ditawarkan tak hanya bagi nafas kehidupan para musisi, tapi juga bagi kehidupan karya seni musik dan film tanah air.
Tidak selalu digitalisasi dipandang sebagai musuh dari nilai orisinalitas karya seni tanah air. Dengan rasa yang mendalam serta kapabilitas dalam musikalitas, digitalisasi hidup seiring karya seni tanah air sekalipun dalam jalur yang pararel. Searah, namun tidak bertemu. Digitalisasi bukanlah musuh selama ada rasa di dalam sebuah alunan musik. Digitalisasi memang cerdas, tapi rasa adalah lebih hidup dalam alunan instrumen musik dari tangan musisi yang memaknai rasa itu sendiri.
Purwacaraka lahir di Beogard, Yugislavia pada 31 Maret 1960 dan memulai perjalanan bermusiknya ketika berusia sembilan tahun. Dengan latar belakang keluarga yang sama sekali tidak sekiblat dengan musik, Purwacaraka melangkah keluar dari zona nyamannya. Diawali dengan dukungan orang tua untuk terus belajar, Purwacaraka sukses membuktikan pilihan hidupnya dengan berbagai kesuksesan dan karya yang dihargai dalam dunia seni musik dan perfilman Indonesia.
Tidak selalu apa yang diinginkan sejalan dengan apa yang diperhadapkan dalam hidup. Melenceng dari dunia musik, Purwacaraka mendalami ilmu teknik industri di Institut Teknologi Bandung. Namun sebagaimana takdir memiliki jalannya yang paling indah bagi garis hidup seseorang, dari ilmu manajerialnya pula Purwacaraka sukses membangun sekolah musik bernama Purwacaraka Music Studio.
Pengorbanan adalah bagian dari proses menuju sebuah kesuksesan. Setiap kesuksesan berproses, dari hal kecil hingga hal besar yang menjadi arti dari pencapaian. Setiap orang memiliki definisinya sendiri mengenai kesuksesan. Purwacaraka memaknai kesuksesan sebagai pencapaian atas apa yang dijalankan dan dikerjakannya dengan senang hati.
Melalui wawancara yang berlangsung pada Jumat, 2 Juni 2017 di kediaman Purwacaraka yakni di kawasan Bintaro, Purwacaraka membagikan pengalaman dan perjalanan dalam kesuksesannya serta berbagai pandangannya mengenai digitalisasi dan pengaruhnya terhadap karya seni tanah air. Dengan keterbukaan, Purwacaraka tak hanya menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan, tapi juga membagikan berbagai pelajaran tentang pentingnya pengorbanan dalam perjuangan serta bermaknanya rasa dalam sebuah karya seni musik.

***

Memulai bermain musik sejak kecil, keinginan diri sendiri atau dorongan dari lingkungan?
Zaman itu, tidak yakin orang tua memperbolehkan anaknya bermain musik. Ya, dorongan sendiri. Lagi pula, bapak saya tentara sehingga walaupun mereka menyukai musik karena sering dansa waktu muda, tapi tidak ada probabilitas untuk mengarahkan anaknya berprofesi musik karena rasanya hari itu, bahkan hari ini pun susah.
Tidak ada arahan dari orang tua, mengapa bisa tetap mendalami musik?
Yang mendorong saya untuk menjadi seperti sekarang dengan musikalitas tinggi dan tahu banyak tentang dictionary of music karena dulu ada gamelan, musik India, musik Latin, bahkan semua ada piringan hitamnya sehingga saya sudah terbiasa. Orang tua saya memberikan saya kesempatan untuk belajar musik, seperti memberikan les dengan serius walaupun bayar cukup mahal, beli piano juga bukan hal yang gampang terutama untuk tentara berpangkat kapten yang mengedepankan bersih dari komisi. Intinya, orang tua tetap support selama beliau sanggup untuk membiayainya. Pada akhirnya, mereka terjerumus sendiri ke dalam kebaikan. Akhirnya saya tumbuh dan berkembang menjadi pemusik yang dianggap di atas rata-rata, otomatis aktivitas di musik menjadi intens, sehingga saya bisa menyeimbangkan sekolah dan musik walaupun tidak banyak bermain dengan teman-teman, tapi itu bukan masalah. Yang penting adalah saya bisa buktikan bahwa saya bisa membagi waktu. Masuk universitas bagus, bahkan lulus dengan hasil yang bagus juga.
Mengapa memilih untuk berkuliah di jurusan teknik industri Institut Teknologi Bandung yang tidak ada kaitannya dengan minat musik?
Jawabannya jujurnya, saya memilih teknik industri karena saya melihat peluang untuk tetap bisa main musik karena cenderung lebih renggang. Belum tentu jurusan lain seperti kedokteran, masih bisa berpeluang untuk main musik. Waktu itu, yang sedang top adalah teknik arsitektur, mesin, atau elektro. Kalau saya memilih jurusan-jurusan itu, padat sekali kegiatannya dan belum tentu bisa main musik. Di jurusan teknik industri, banyak pembelajaran kualitatif yang lebih mendalami managerial function sehingga saya melihat jurusan itu sangat fleksibel untuk tetap bisa mengambil banyak jenis pekerjaan lain. Untuk saya, interest tambahnnya adalah bagaimana saya tidak harus terlalu padat kegiatan kuliah karena pembelajaran kualitatif yang cenderung lebih mengandalkan kemampuan berpikir membuat saya tetap bisa berpeluang untuk bermain musik dengan baik.
Anda lulus dari teknik industri dengan hasil yang sangat baik. Bagaimana Anda menyeimbangi kewajiban dengan minat?
Memang harus ada pengorbanan, harus bisa disiplin waktu. Ketika ada ujian, saya harus mengorbankan minat dan pekerjaan saya di musik. Saya harus selalu bisa mengondisikan dan mengingat bahwa saya masih kuliah. Beruntung  pimpinan saya waktu itu juga paham bagaimana rules of game dari mahasiswa. Network juga penting, terutama untuk yang ingin mendalami bisnis.
Adakah kendala tertentu dari lingkungan atau keluarga ketika harus menyeimbangkan kuliah dengan musik sebagai minat?
Semua orang, tidak terkecuali orang tua saya akan menerima apa saja opsi yang ditawarkan oleh seseorang, terutama anaknya ketika dia bisa membuktikan bahwa dia tidak merugikan apa yang dia persepsikan. Kalau kita bisa buktikan bahwa musik tidak mengganggu kuliah, persoalan selesai. Selain itu, saya sudah menghasilkan uang sejak SMA sehingga ketika kuliah, uang penghasilan saya meningkat sehingga orang tua saya melihat manfaat lain dari pekerjaan dan minat saya. Saya harus bisa buktikan bahwa minat saya adalah maksud yang baik dan terbuktikan dengan mampu lulus dengan hasil yang baik juga. Setelah lulus, I’m on my way boleh, dong...
Artinya, cita-cita sejak kecil untuk terjun ke dalam dunia musik tercapai.
Saya tidak pernah punya cita-cita yang persis dengan keadaan saya sekarang. Kesuksesan itu relatif. Yang penting pekerjaan saya menyenangkan dan saya merasa mendapatkan achievement. Kepuasan bukan pada uang. Sama halnya dengan ketika kita bermain piano di hadapan banyak orang, achievement bukan pada berapa besar bayaran, tapi berapa banyak penonton yang terhibur. Saya percaya bahwa jika achievement dijadikan landasan, uangnya sendiri yang ngikut.
Ketika menyeimbangi kuliah dan pekerjaan sebagai wakil direktur, bukankah lebih mendalami bisnis daripada musik?
Tidak, karena semua berproses. Saya memulai dengan mengajar piano ke rumah-rumah atau main di kafe dengan bayaran seratus ribu hari itu. Intinya, semua saling menopang dalam berjalannya sebuah proses antara musik dan bisnis. Saya membangun musik dari bawah. Mengawali dengan bukan siapa-siapa, demonstrator, kemudian menjadi product specialist, kemudian baru mendapat nama dan proses terus mengerucut. Kualitas beban pekerjaan bertambah seiring tanggung jawab.
Anda terkenal dengan karya musik ilustrasi sinetron, yang paling terkenal adalah sinetron Si Doel. Bagaimana awal mulanya?
Semua berawal ketika SCTV memisahkan diri dengan RCTI, dengan sinetron berjudul Buku Harian, pemainnya Desi Ratnasari, Didi Petet, dan banyak aktor terkenal lain. Produksi hari itu belum sebanyak hari ini. Saya memulai di Si Doel ketika Rano Karno mengajak saya dengan hubungan pertemanan. Beliau jemput saya pukul sepuluh malam, di studi Editing Spectra kami kerja sampai pukul enam pagi, produksi musik untuk dua episode pertama. Enam episode pertama sukses, berlanjut terus hingga akhirnya kami menyelesaikan seua sekuel, terdiri dari tujuh sekuel, selama sebelas tahun. Berbeda dengan sinetron Tukang Bubur Naik Haji yang berhenti pada episode 2100, ditampilkan setiap hari dimana produksi musik mengandalkan sistem komputer sehingga saya tidak perlu lagi datang ke tempat editing. Saya menggunakan berbagai teknologi, bahkan bisa memproduksi di studi saya sendiri.
Artinya, hubungan pertemanan menjadi awal dari karir Anda yang berkembang pesat dalam dunia produksi musik ilustrasi sinetron di Indonesia.
Percayalah bahwa pekerjaan yang baik membuahkan hasil yang baik. Waktu itu saya memulai dengan hubungan pertemanan. Tapi selepas itu, saya membuktikan bahwa hasil yang saya hasilkan bukanlah urusan pertemanan, tapi karena kapasitas. Untuk saya, yang terpenting bukanlah mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, tetapi kapasitas. Jika orientasi mendapat uang sebanyak-banyaknya, akan susah mencapai tujuan.
Untuk membuat musik ilustrasi sinetron, adakah basic kesukaan pada perfilman?
Saya jarang menonton film, tapi saya penikmat benda berkesenian apapun bentuknya. Ketika saya diminta untuk mengisi ilustrasi, saya tidak punya basic ilustrator, tapi saya punya pemahaman mengenai dramaturgi, adegan, mengobrol dengan sutradara, salah persepsi dalam ilustrasi. Dengan begitu, saya memahami bahwa musik ilustrasi sangat berpengaruh pada mood dalam adegan. Saya selalu berdiskusi dulu dengan sutradara tentang perasaan penonton yang bagaimana yang ingin disentuh oleh film.
Musik ilustrasi memiliki kekuatan yang sangat besar dalam memengaruhi suasana emosi penonton.
Sangat benar. Bahkan ada kalanya gambar (visual) tanpa naskah bisa berpengaruh kuat hanya dengan mengandalkan musik.
Naskah dan musik, yang mana yang lebih kuat?
Tergantung kita melihatnya dari sisi mana. Musik datang belakangan sehingga tidak meninggalkan peran sebagai pendukung karena script memegang peranan sebagai inti dari story telling yang terpenting. Musik berdiri karena gambar (visual), namun memiliki peranan yang sangat penting. Bahkan musik menggiring penonton untuk mengganti atau tidak mengganti channel, dengan mengandalkan pembawaan suasana emosi.
Apa tantangan terbesar dalam menciptakan musik ilustrasi?
Scoring, karena dulu sistemnya tidak sync dengan komputer. Penghitungan tempo dan waktu harus dilakukan secara manual, saya harus menghitung dulu ritmenya berapa, kemudian saya tandai. Saya harus membuat komposisi musik berdasarkan komposisi gambar. Sekarang sudah jauh lebih mudah dengan mengandalkan komputer.
Adakah unsur industrialis dalam berbagai pekerjaan Anda dalam seni?
Itu adalah hal yang menarik. Once kita masuk ke dalam dunia industri, industri selalu menjanjikan hal yang besar karena tidak banyak orang seni yang berpola pikir industrialis. Bukan masalah, their own risk, their own challenges, their own achievement. Saya memang sering dianggap industrialis karena memang 55% otak saya adalah teknik industri.
Semakin zaman berkembang, kita semakin dimudahkan dalam memproduksi musik. Generasi muda lebih tertarik dengan produk digital. Bagaimana pandangan Anda?
Komposisi musik tidak ditentukan oleh the matter of digital or not. Komposisi musik ditentukan oleh rasa dan kualitas personal. Dulu, apa yang saya dalami adalah sulit sehingga pemain dan pesaingnya sedikit, sehingga saya dipercaya untuk menjadi kepala. Bagaimana pun prosesnya, saya tidak ingin menghasilkan sesuatu yang bernilai gampang karena pada ujungnya, tidak akan bernilai dalam jangka panjang. Untuk membuat musik ilustrasi sinetron, saya membuat komposisi yang baik, baik komposisi dalam struktur atau dalam instrumentasi.
Digitalisasi tidak menentukan kualitas karya musik.
Benar, tapi yang paling penting digitalisasi memang jauh mempermudah. Tapi kita justru harus meningkatkan kualitas bermusik kita karena kemudahan tersebut. Kalau kemudahan tidak dibarengi dengan kualitas, maka fasilitas digitalisasi tidak akan ada artinya. Jika kita memiliki fasilitas yang canggih, yang diperhatikan adalah bisa atau tidaknya kita menciptakan musik yang bagus dengan komposisi kita.
Adakah pengaruh digitalisasi pada lunturnya kecintaan generasi muda pada orisinalitas karya musik tanah air?
Digitalisasi dan kecintaan pada karya tanah air adalah hal yang berbeda. Digital adalah hasil kemajuan teknologi. Musik adalah eksplorasi rasa. Jika membandingkan musik yang dilakukan dengan digital atau tidak digital, bisa jadi yang menang adalah produk digital, jika kita menggarap musik yang tidak digital dengan tidak oke. Sampai saat ini, saya masih merasakan bahwa hasil instrumen biola digital tidak akan lebih baik daripada instrumen yang dimainkan tanpa digital, selama pemain biolanya benar-benar berkemampuan baik. Jika yang bermain instrumen berkualitas bagus, maka kualitas yang dihasilkan pun bagus.
Artinya, yang lebih penting dari digitalisasi adalah kemampuan pemain musik dalam menciptakan atau memainkan musik.
Musik ada di dalam kapasitas pemainnya, termasuk dalam generasi muda meliputi kemampuan eksplorasi secara kreatif, pemanfaatan dari materi, dan pemanfaatan yang disediakan oleh produk digital. Produksi musik memang jauh dipermudah dengan digital, tapi komposisi musik bukan komputer yang membuat. Bagaimana hasilnya dibedakan oleh komposisi musisinya, bukan dari rapi atau tidaknya produk digital.
Bagaimana kaitan digitalisasi dengan kenusantaraan?
Digitalisasi dengan kenusantaraan adalah hal yang berbeda. Memang bisa terlihat bahwa kelompok tradisional dan modern bagaikan air dan minyak. Di tengah-tengah perbedaan tersebut, ada musisi yang bereksperimen dengan mencampurkan unsur tradisional dengan kontemporer. Namun perbedaan tersebut tidak dapat dipaksakan agar musik tradisional tidak punah. Walaupun begitu, kecintaan pada budaya tanah air memang tidak boleh dilupakan.


Kehadiran produk digital tidak memengaruhi nilai-nilai budaya tanah air.

Setahu saya, ini hanyalah masalah exposing. Media memiliki peranan penting dalam memengaruhi pola pikir masyarakat tentang arti seni musik. Media memberikan gambaran tentang musisi-musisi yang telah melalui proses rekaman sehingga masyarakat berpemahaman bahwa seniman musik adalah yang melalui proses rekaman. Ukuran kesenian pada dasarnya tidak ditentukan oleh proses rekaman. Media tidak selalu mengupas fenomena kesenian yang terjadi di gedung kesenian Jakarta karena dinilai sebagai berita yang tidak menarik. Banyak fenomena seni musik nusantara yang berkualitas tidak menjadi bahan berita karena tidak ada peranan artis top di dalamnya. Media memang memiliki kekuatan yang besar.   
 Foto: Vidya Pinandhita
Purwacaraka bermain piano seusai wawancara sembari dengan santai berbagi tentang berbagai pengalaman uniknya dalam perjalanan sebagai komponis musik ilustrasi sinetron Indonesia. Karyanya yang paling terkenal adalah Si Doel, sinetron yang ditayangkan di RCTI sejak 1996 hingga 2006 dan diperankan oleh Rano Karno. 

Wawancara berlangsung di kediaman Purwacaraka di kawasan Bintaro pada Jumat (2/6). Dengan keterbukaan, Purwacaraka berbagi tentang pengalamannya dalam dunia musik ilustrasi sinetron hingga mendirikan Purwacaraka Music Studio

 

Me and My Freaky-Diary Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review