Sabtu, 09 Juni 2018

Gara-gara Sop Sosis Bakso

"Kakak kapan pulang? Hari Kamis ada Nini, Tante Tuti, sama anak-anaknya loh. Mereka mau lebaran bareng di sini," kata nyokap gue di telfon sambil gue sibuk beres-beres barang mau kuliah. Nggak, lebih tepatnya, mau ujian. Ini lagi musim ujian, sebelum libur lebaran. "Pokoknya nggak ada ceritanya pulang ngaret-ngaret ya. Langsung pulang, nggak usah main-main dulu di Bandung," lanjut Nyokap. Lah, rupanya Nyokap sudah ngebaca niat-niat muslihat gue.

"Iya-iya weekend ini aku pulang. Sabar, Ma. Ini aja ujiannya belum kelar. Project-an juga masih jalan," jawab gue sambil garuk-garuk kepala. Pusing beneran. Ini udah ujung semester. Kerjaan gue nggak karuan, tugas-tugas akhir berteteran, ujian akhir semester juga blakrak. Aduh.

"Iya bener Kakak fokus dulu aja. Pokoknya nanti sehari sebelum lebaran udah di sini ya," jawab Nyokap, sambil gue masih sibuk beberes. "Ini krucil-krucil udah siap lebaran, masa kamunya nggak di sini?"

Sebentar
Krucil-krucil?

Di keluarga Nyokap, gue adalah cucu pertama dan tertua, tentunya. Ditotal-total, gue punya banyak banget sepupu dari keluarga nyokap--dan semuanya masih SD, bahkan baby-baby. Alhasil, gue gede sendiri. Gue adalah "kakak tertua" yang selalu dikroyok setiap kumpul keluarga. Sampai situ, gue nggak masalah, Somehow, gue menikmati ketawa-tiwi sama krucil-krucil ini. Beside, beberapanya cewek-cewek 10 tahun yang baru kenalan sama Instagram. Sesekali mereka ngebahas ini-itu tentang konten Instagram gue yang kebanyakan isinya cover lagu. Jadi nyambung deh ngobrolnya.

Sampai situ, semua mulus.
Tapi kemudian, kita tiba pada pertanyaan dari para sepupu, paman dan bibi, nenek, hingga sanak saudara lainnya....

"Kak Vidya kapan sih lulusnya?"
"Kak Vidya berapa IPKnya?"
"Kak Vidya pacarnya siapa namanya?"

Terus makin ekstrim

"Kak Vidya kapan pacarnya dibawa ke sini?"

Terus lebih ekstrim lagi

"Kak Vidya sebentar lagi nikah ya?" kata mereka sambil gembira ria.
Merekanya gembira ria, guenya mati kutu.

NIKAH???
Muke gile. Jajan tahu isi di kantin aja gue masih ngutang, ini gue dibilang udah mau nikah?
Dikira nikah itu kayak pacaran jaman SMP apa gimana yang santai-santai aja nonton bioskop terus makan hokben setiap pulang pramuka???

"Sama sih. Kemarin juga gue ketemu keluarga besar. Masa Om gue bilang sebentar lagi gue yang bagi-bagiin THR," kata Acong di tengah-tengah keluh kesah gue. "Nggak  tahu aja dia. Mesen menu di warteg aja masih mikir, ya masa bocah kayak kita disuruh bagi-bagi THR?" lanjut Acong.

Acong adalah teman kuliah gue di jurnalistik. Karena nyambung, gue sering banget ngobrol sama Acong. Mulai dari drama-drama kuliah, percintaan, sampai pikiran-pikiran gila yang tiba-tiba pop up di kepala. Intinya, Acong adalah teman seperjuangan gue di kehidupan kuliah. Benar-benar seperjuangan.

Masalahnya, Cong...
Mungkin di mata mereka kita berdua nggak "sebocah itu" lagi.

Mungkin mereka nggak lupa kalau sekarang kita berdua umur dua puluh tahun. Kepalanya udah angka dua, bukan lagi satu atau nol.

Pahitnya, kita bukan lagi ABG-ABG 'kentang' yang kalau kumpul keluarga lebaran duduk sendirian di sofa sambil main Temple Run atau makan nastar bareng dede-dede emesh. Sekarang kita udah diajak duduk bareng di meja makan. Probably ngomongin drama keluarga, harga beras,  2019 ganti presiden, bupati Bekasi, calon suami, atau apa pun topik berat yang dulunya bukan bahan obrolan kita sebagai dede emesh.

Sial. Kita bener-bener udah dua puluh tahun, Cong.

Gue harus jujur, gue nggak ingin cepet gede. Salah gue dulu nurut sama Mbak gue waktu dia nyuapin gue nasi + sop sosis bakso sore-sore di teras rumah sambil ngomong, "ayo makan dulu jangan diemut. Biar cepet gede," Terus sambil rada bodo amat gue mangap aja, enak-enak disuapin sambil main masak-masakan bareng temen-temen di komplek.

HARUSNYA GUE EMUT AJA ITU NASI PAKE SOP SOSIS BAKSO BIAR GUE NGGAK CEPET GEDE!! 

Gara-gara itu nasi pake sop sosis bakso, sekarang gue jadi anak gede beneran. Gue jadi kecemplung di dunia kuliah, dituntut cepet lulus dengan nilai bagus, harus kerja, harus punya duit, harus bayar pajak, harus siap-siap nikah (yang ini nyebelin banget sih), dan harus bisa kontribusi waktu kumpul lebaran keluarga.

PERASAAN KEMARIN GUE MASIH ASIK-ASIKAN MAIN MANDI BOLA KENAPA SEKARANG GUE DITANYA KAPAN NIKAH???

Eh itu lebay sih. Gue main mandi bolanya bukan jaman SMA kok, tenang.

Tapi terlepas dari sop sosis bakso dan mandi bola, kita kembali diperhadapkan sama realita. Kenyataannya, waktu beserta segala perubahan dan perpindahannya benar-benar nggak bisa dihindarin. Lebih dramatisnya, kita terlena sama asiknya tiup lilin waktu ulang tahun--sampai-sampai kita lupa kalau semakin umur bertambah hari, semakin kita nanggung tanggungan yang harus dijawab.

Ini aku waktu kecil. Pura-pura main organ karena memang sejak kecil cita-citaku menjadi artis. Yoi. 

"We'll make it, somehow" kata Cepot waktu kami makan kue balok di sebuah warung nggak jauh dari kampus. Malam itu, tepatnya dua bulan yang lalu, gue dan Cepot merayakan ulang tahun gue ke-20.

"Nyatanya kita pernah ngelaluin dua puluh tahun idup. Dari belum bisa duduk, sampe sekarang nggak bisa diem. Dari cuma bisa makan Milna, sekarang makan sambel cobek. Itu semua berlalu dan berproses, Vid" kata Cepot sambil nyeruput teh angetnya.

Cepot benar.
Ini semua proses.

Nggak ada yang pernah janji kalau ke depannya semua akan jadi lebih mudah. Tapi hidup memang selalu tentang perpindahan kan? Nggak akan datang yang lebih baik kalau nggak pernah ada perubahan.

Gue berubah, kita semua berubah. Dan di antara perubahan-perubahan dramatis itu, ada orang-orang yang datang dan pergi, ada mimpi-mimpi yang tercapai dan kandas--yang semuanya itu (mudah-mudahan) ngebentuk kita jadi orang yang lebih kuat. Yang lebih punya tenaga buat nanggung tanggungan yang harus dijawab.

Serem ya?
Nggak apa-apa.

(Iyain aja, gue lagi menghibur diri sendiri)

"Pokoknya Kakak harus ikut kumpul sama Mama ya lebaran ini. Kan keluarga udah pada ngumpul, masa Kakak mau ngaret pulangnya?" kata Nyokap, masih di telepon.

Gue mengangguk, berusaha yakin.
Well, selamat berproses, Vid.

Kecuali soal nikah, gue anggep itu bukan berproses. Cinta monyet aja gue kandas, ini lagi masa gue ditanya kapan nikah?

Ke warung dulu deh gue, bayar utang tahu isi.

Rabu, 23 Mei 2018

Nahkoda Ria Ratu Dunia

"Lo tuh kalo teori soal cinta, pinter mampus. Giliran praktek, bego banget nggak ketolong!" ucap Piglet di tengah percakapan kami via telefon beberapa waktu kemarin. Iya, si Piglet yang pernah jadi trending topic blog gue jaman SMA. Piglet, mantan pacar gue.

"Ya abisnya gimana? Otak sama hati gue nggak sinkron," jawab gue ngeles.

Gue harus jujur, putus cinta bikin gue melihat segala sesuatunya dari lebih dekat. Mata gue seperti dibukakan; gue dipertemukan kembali dengan orang-orang yang sebenarnya selalu ada di sana. Mulai dari sahabat-sahabat gue, keluarga gue, kakak-kakak gue, sampai hal-hal yang sebenarnya pernah gue cintai. Dalam kata lain, putus cinta bikin gue tahu siapa yang sebenarnya ada di sini, dan siapa yang sebenarnya nggak pernah ada di sini.

Sayangnya, sebenarnya dia nggak pernah begitu ada di sini.
Kalau dianalogiin dengan nahkoda, gue kira dia ada di belakang gue ketika gue asik nyetir kapal. Dan ketika gue nengok ke belakang... ternyata dia udah dadah-dadah. Dia nemu kapal lain yang lebih keren, dengan nahkoda yang lebih mahir juga tentunya. Sekarang, gue sendirian di atas kapal ini. Kapalnya ngarah kemana, gue juga nggak tahu. Biar angin aja ngebawa kapal gue. Sisanya, tinggal gimana gue pinter-pinter bertahan hidup biar ngga ko'id mabuk laut.

"Beberapa masalah memang ada nggak untuk dipecahin, Vid." kata Sule. Sule adalah salah satu orang paling terpercaya gue di sejarah kuliah gue dua tahun ini. Kerjaan sih yang bikin gue nggak sengaja ketemu Sule di awal masuk kuliah. Intinya karena suatu tanggung jawab, Sule memposisikan dirinya sebagai mentor gue buat kerjaan ini. Ternyata gue dan Sule malah kecantol. Dia bukan jadi mentor kerjaan gue, dia mentor idup gue. 

Sule dua tahun lebih tua dari gue, nggak heran pikiran dia jauh lebih mateng dibanding otak gue yang serba sumbu pendek. Sule yang bikin gue survive hidup jauh dari rumah. Sule juga yang mendukung gue habis-habisan untuk jadi lebih kuat setiap harinya. Nggak setiap hari gue bicara sama Sule. Tapi Sule adalah salah satu yang sebenarnya selalu ada di sana. "Beberapa masalah memang ada cuma untuk... diikhlasin aja."

Putus cinta bikin gue ngaca; gue jadi tahu sebenarnya gue ini seperti apa. Gue sadar dan gue jujur, gue sangat-sangat bersikeras untuk mempertahankan sesuatu---yang gue sendiri nggak yakin apa sebenarnya "sesuatu" itu. Yang gue tahu, sesuatu itu pernah tinggal lama bareng gue, arungin setiap badai dan laut tenang di perjalanan gue jadi nahkoda. Gue juga bersikeras mempertahankan si sesuatu walau pun sebenarnya gue nggak sebuta itu untuk lihat kalau... sesuatu itu udah nggak ada.

"Berhenti ngelawan, Vid." kata Sule bikin gue kicep. Sule ambil langkah tepat, memang dalam hitungan sepersekian detik gue akan melawan statement dia dengan kecengengan gue. "Kadang ngalah itu justru butuh kekuatan terbesar. Kamu cukup kuat untuk itu," tukas Sule. Lagi-lagi, gue diam.

"Vid, lo jauh lebih kuat dari ini. Masa kurang dulu lo diospek sama gue jaman SMA?" kata Piglet lagi-lagi nyolot. Sekilas, ini orang resenya keterlaluan--nggak banyak berubah dibanding songongnya dia jaman SMA. "Kalau ada skala satu sampe sepuluh, kelakuan gue ke lo tuh caurnya seribu! Ini laki lo sok-sokan mau nyaingin gue?" gue cuma tepok jidat.

"Don't worry, Vid. Kita (entah siapa yang dia maksud "kita") nggak buta. Separah-parahnya kelakuan gue dulu, gue tahu lo orang bener. Jangan berhenti jadi Vidya," jelas Piglet. Sampe situ gue diam. Halah, gombal doang paling dasar laki mulutnya sa ae.

"We all love, Vid. And we will always do." sampe situ gue diam, bukan karena gue merasa si Piglet gombal--tapi karena Piglet ngingetin gue satu hal: perjalanan gue di laut ini bukan cuma tentang gue dan Karamel. Ini juga tentang mereka-mereka yang nunggu gue di pulau tempat gue tinggal.

Oke, analogi gue nggak karuan. Tapi gue rasa lo nangkep maksud gue:
Kalau gue (mungkin dan lo) nggak bisa bangun karena dia yang ninggalin kita untuk kapal lain yang lebih keren, seenggaknya gue (dan lo) bisa bangun untuk mereka yang nunggu kepulangan kita.

Dia pergi, dan kekacauan yang dia buat sama sekali nggak mudah untuk diberesin lagi. Tapi tanpa dia, masih ada mereka yang siap datang dan bertamu. Mereka yang ada karena ketersediaan gue melihat segala sesuatu dari lebih dekat. Mereka yang sebenarnya selalu ada di sana.

Tulisan gue yang terburu-buru karena gue harus kelas setengah jam lagi ini, gue dedikasikan kepada mereka yang sebenarnya selalu ada di sana. Dunia ini terlalu keras buat ngasih lo cinderamata. Tapi kalau gue punya fast track, gue janji surga punya special seats untuk lo. Terima kasih.

Dan kepada lo yang ternyata meninggalkan kapal gue untuk kapal lain yang lebih keren, nggak apa-apa. Gue harap kapal baru lo sepadan membayar perjuangan lo susah payah bertahan hidup di kapal gue yang bobrok ini. Gue nggak akan kemana-kemana. Biar gue yang ambil kendali penuh sekarang.

Gue nggak sengaja ketemu Piglet lagi setelah dua tahun nggak ada kontak. Terakhir ketemu pun lulus-lulusan SMA. Dua tahun bukan waktu sebentar untuk ngerubah gue dan Piglet jadi orang yang lebih kuat. Tapi Piglet masih Piglet begitu juga gue masih gue. Piglet yang ternyata selalu ada di sana.

Aneh, hidup gue kayak nggak bosen-bosen bikin gue ngeliat segala sesuatunya dari lebih dekat.

Kalau kata Sherina: bahkan bintang bersinar, air mengalir, sampai dunia berputar pun ada "mengapa"nya. Lihat lebih dekat, dari sana kita paham.

BERSAMBUNGGGGGGGG!!!!

Jumat, 26 Januari 2018

Berburu Kekasih untuk Aku Si Calon Dokter

Gue menghabiskan 6 tahun masa pendidikan Sekolah Dasar gue di sebuah SD Katolik di Bekasi. Masuk SMP, Mama gue nyekolahin gue di sebuah sekolah yang mewajibkan siswa-siswinya untuk belajar dan mengobrol dengan bahasa Inggris. Satu semester pertama, gue terseok-seok. Nilai gue ancur-ancuran karena gue bahkan nggak ngerti apa yang gue sendiri tulis di buku catatan gue. Tambah lagi, gue ingat banget waktu itu wali kelas gue (namanya Mr. Uje) memberikan peraturan wajib kena denda seribu buat anak-anak yang ketahuan ngobrol pake bahasa sehari-hari. Tenang, gue nggak pernah mengalami masa-masa jadi pendiam. Kemungkinan besar karena memang gue sudah doyan curhat dari lahir. 

Foto bareng Aulia dan Bella beberapa hari sebelum AKHIRNYA lulus SMP. Yay.

Saking gue nggak paham apa yang gue sendiri tulis di buku catatan, gue mati-matian ngafalin setiap kata yang gue tulis supaya gue bisa ngisi soal ulangan. Yak, jadi gue ngafalin apa yang bahkan nggak gue pahamin. Salah satu kalimat yang sampai sekarang masih nempel di kepala gue adalah kalimat pertama dari bab pertama pelajaran fisika di buku catatan gue: 

Physicial Quantity is something thats able to be measured in numbers or value. 

Iya lo mampus sampe sekarang pun gue nggak ngerti gimana bisa-bisanya gue survive satu semester pertama itu but somehow I made it. Sekarang kalau dipikir-pikir, ternyata kasihan juga ya gue jaman baru masuk SMP. 

Tapi bukannya memang itu ya yang mereka sebut living life to the fullest
Entahlah, gue sotoy. Gue cuma sedang berusaha menghibur diri sendiri karena sebenarnya gue sering banget ada di fase dimana I don't know what I'm doing, I don't know if I'm going to make it or no, atau I don't know where I'm going and I'm just going the flow-segitunya. 

Beberapa waktu yang lalu, gue ngobrol bersama keluarga besar gue. Seperti pertemuan-pertemuan lainnya, gue harus berhadapan dengan pertanyaan yang lagi-lagi seputar: 
  1. Kenapa nggak masuk kedokteran aja? 
  2. Kalau gitu, kenapa nggak masuk akuntansi? Kan biar kerjanya jelas. 
  3. Memangnya mau kerja apa kalau kuliah komunikasi?
  4. Pacarnya namanya siapa? 
(Pertanyaan terakhir itu nggak pernah di-skip dalam setiap pertemuan dengan keluarga besar atau dengan sanak saudara mana pun, tapi bukan itu yang mau gue bahas kali ini) 

Sekitar 4 tahun yang lalu, gue masuk SMA dalam keadaan nggak tahu mau jadi apa. Yang gue tahu cuma gue gagal masuk SMA negeri favorit yang gue pengenin, jadi gue menghabiskan 3 tahun SMA di sekolah yang Mama gue rekomendasiin (lagi-lagi karena dia kepengen gue bisa cas-cis-cus ngobrol dengan bahasa asing). 

Waktu itu gue harus langsung penjurusan IPA atau IPS semenjak semester 1, semenjak baru masuk SMA. Karena gue terlalu pasrah dengan apa kata nyokap-bokap, gue masuk IPA. Entah gimana ceritanya, bokap gue pernah sebegitunya yakin kalau gue cocok sekali jadi dokter. Menurut bokap, gue punya kemampuan khusus menebak penyakit seseorang. Entah itu ilham turun darimana, gue pun sejujurnya nggak begitu mengiyakan keyakinan mistis bokap gue itu. 

Sebulan belajar di IPA, gue nggak pinter tapi syukur-syukur nggak bego-bego amat juga. Gue jalanin idup gue sebagaimana gue di hari-hari biasanya. Sampai suatu hari, seorang guru konseling (namanya Ms. Tata) datang ke kelas gue dan menanyakan kesukaan satu-satu dari kami anak-anak kelas 10 Alder. Di situ gue sadar, gue benar-benar nggak tahu kenapa gue bisa ikhlas menjalani hari-hari gue di IPA. Mungkin karena gue terlalu saklek dengan apa kata bokap-nyokap, tapi intinya hari itu gue sadar kalau gue nggak pengen jadi dokter seperti harapan bokap gue. Gue suka bercerita, gue suka mendengarkan, dan lagi-lagi; gue nggak pengen jadi dokter. 

Setelah ngobrol-ngobrol dengan Ms. Tata, gue membulatkan tekad untuk pindah ke kelas IPS. Setelah banyak diskusi dengan bokap-nyokap, sayangnya bokap gue nggak mengiyakan. Dia masih aja berkeyakinan bahwa gue cocok jadi dokter. Karena memang gue dari sononya sedikit nggak waras, suatu hari gue memutuskan bahwa hari itu akan menjadi hari terakhir gue di kelas IPA. Gue sendirian datang ke ruangan Ms. Tata, menandatangani surat pernyataan, esok harinya masuk kelas IPS. 

Karena gue sudah keburu pindah, bokap-nyokap gue nggak bisa banyak berkutik. Gue sudah keburu masuk kelas IPS seminggu, mau diapain lagi. 

Foto bareng kelas IPS gue di Dufan. Kurang asik gimana lagi. Rambut gue lepek banget kayak ekor lele. 

Masuk kelas IPS... nilai gue nggak jadi lebih baik. Ditambah lagi, gue ketinggalan materi sebulan karena gue baru saja pindah setelah sebulan sia-sia di kelas IPA. Alhasil, gue harus berjuang jauh lebih keras. Gue mendorong diri gue sendiri untuk membaca materi-materi yang nggak begitu bikin gue tertarik, tapi seenggaknya gue bahagia dengan apa yang gue lakukan. 

Gue ingat banget, gue harus bekerja sekeras itu cuma untuk mahamin materi sejarah. Entah gimana ceritanya, dari SD sampai sekarang pun gue nggak pernah tertarik sama sejarah. Beruntung lagi, gue dikelilingi oleh keluarga (yang awalnya sempat nggak ikhlas) dan teman-teman yang sangat supportive. Lagi-lagi, somehow I made it

Sekarang gue kuliah jurnalistik di Bandung. Bukan pilihan pertama gue sih, tapi gue keburu kecantel di sini dan keburu kehabisan tenaga untuk bimbel lagi dan ujian lagi. Alhasil, gue menjalani hari-hari gue seperti sebagaimana gue seharusnya ngejalananin. Let it flow, kata gue berupaya menghibur diri. 

Sejujurnya sampai sekarang pun gue nggak tahu harus jawab apa kalau ditanya soal kenapa nggak jadi dokter, kenapa nggak kuliah akuntansi, atau memangnya mau jadi apa kalau kuliah jurnalistik. Sayangnya kenyataannya adalah gue sendiri nggak tahu apa yang gue lakuin sekarang ini bakal ngehasilin sesuatu yang besar atau enggak. Tapi gue harap terlepas dari besar atau enggak hasilnya nanti, gue hargain proses demi proses yang gue alamin sekarang. 

Ini sama sekali nggak mudah. Mungkin juga gue nggak akan jadi sehebat dokter atau secerdas akuntan yang ngerti banget gimana cara kerjanya suatu perusahaan. Mungkin keyakinan bokap gue selama ini nggak segitunya benar, gue nggak segitunya punya kemampuan mistis buat menebak seseorang sakit apa. Mungkin gue nggak bisa jadi sebesar yang mereka harap, tapi gue percaya proses berharga yang gue jalanin sekarang akan ngebuahin sesuatu yang sama berharganya. 

Gue suka mendengarkan, gue suka bercerita. Gue nggak tahu ini akan jadi mudah atau enggak, dan sejujurnya nggak tahu ini akan ngehasilin sesuatu yang besar atau enggak. Tapi kemana pun itu nantinya takdir membawa gue dan lo, gue harap kita sama-sama bahagia dengan proses yang udah kita laluin. 

Gue nggak tahu apa esensinya gue post foto ini, biar rada rame aja blognya. Ini foto gue kelas 3 SD waktu nyanyi di acara Agustus-an komplek. Keyboardist-nya bokap gue. Baju gue gambar Minmie. Yoi. 

Anyway
, lanjut ke semester pertama gue di SMP. 
Masuk semester kedua di kelas 7, gue gas abis-abisan. Gue menghabiskan sore hari gue untuk tidur, dan tengah malam sampai pagi untuk belajar. Walau pun gagu dan bego, gue memberanikan diri untuk speak up dengan bahasa yang sama sekali nggak familiar. Lama-lama gue menjadi semakin bawel sambil cas-cis-cus pake bahasa Inggris walau pun sotoy. Mungkin gue nggak bisa jelasin apa yang gue raih dan mungkin juga nggak sesempurna itu hasilnya, tapi lagi-lagi...

somehow I made it

and I know you'll make it too:]


 

Me and My Freaky-Diary Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review