Rabu, 07 Desember 2016

Lebih Manis dari Popcorn Caramel di Bioskop

Seperti biasa, malam ini aku mau cerita. Masih bersambung dengan cerita di post sebelumnya, aku mau lanjutin cerita tentang Si Bintang Jatuh.

Kenapa? Bosan? 

Gak apa-apa, suka-suka aku mau cerita apa di diary-ku sendiri! 

Bohong deng. Gak suka-suka gue. Plis banget jangan cabut dari blog gue. View dari lo berarti banget demi masa depan gue. 

Lebay aja sih, tapi serius. 

Oke, ayo serius.

SERIUS AH.

Jadi, namanya Vinc... 
Bentar-bentar, mendingan kita cari dulu nama yang asik buat mensensor nama tersangka (soalnya post ini akan dipublikasikan tanpa seizin orang yang bersangkutan). 

Oke. Jadi, namanya Karamel
Karamel karna popcorn rasa caramel lebih manis, enak, dan mahal (dan berharga) daripada popcorn rasa asin. 

Sebenarnya gue lebih suka sate padang dan kwetiau goreng, tapi agak kasihan kalau dia disebut sebagai sate atau kwetiau, jadi lebih baik kita sebut dia Karamel. 

Lagi pula, karamel manis. Sama seperti Si Bintang Jatuh, kalau senyum manis. Eh salah, gak senyum juga manis, deng

Pertemuan kami gak dramatis, tapi bermakna. Ceritanya seru banget, tapi terlalu panjang untuk diceritain di sini. Gue gak bisa cerita panjang lebar tentang pertemuan kami yang dipenuhi dengan keajaiban takdir. (Sejujurnya gue gak begitu tahu apa yang mau gue ceritakan. Ini adalah salah satu post paling tidak terkonsep di blog ini). Tapi yang pasti, terlepas dari siapa yang membaca post ini, gue tahu pasti bahwa gue bangga punya Karamel

"Semakin kita kenalan, semakin kita kelihatan manusianya," kata Karamel. 

"Dari awal kenalan, aku udah mandang kamu sebagai manusia," jawab gue pada pernyataan Karamel yang kedengarannya intelek sekali sampe-sampe gue keder mau jawab apa. Sebenarnya, gue paham apa maksud Karamel. 

Gak bermaksud sok intelek sedikit pun (karna kenyataannya ilmu pengetahuan gue cetek sekali), tapi menurut mata kuliah logika dasar, Democritus pernah bilang bahwa semua yang terjadi di alam semesta adalah hasil dari pertabrakan partikel yang mikroskopis. Semua. Semua termasuk jatuh cinta sekali pun. Katanya, jatuh cinta adalah hasil dari pertubrukan hormon. Jadi, jatuh cinta itu memang mungkin ada dan itu manusiawi. Mulai sekarang, jangan menilai gue dramatis melankolis setiap gue bilang jatuh cinta karna kenyataannya, jatuh cinta itu benaran ada di dunia, bukan cuma bahasa di novel. Dan jangan menilai gue dramatis melankolis setiap gue bilang jatuh cinta karna kenyataanya, gue tau diri bahwa gue benar-benar jatuh cinta sama Karamel. 

Gue yakin kita sama-sama tahu bahwa ketika kita jatuh cinta, kapabilitas indera kita seperti melemah. Saking seringnya bermimpi indah tentang si dia, kita jadi sering tenggelam dalam fantasi, padahal aslinya kita sedang ada di realita. Sama seperti gue bertemu Karamel. Karamel bikin gue mikir bahwa apa yang ada di fantasi, mungkin bisa aja jadi nyata. 

Mungkin hari-hari yang sepi itu gak selamanya harus jadi sepi. Mungkin gak selamanya gue harus berpura-pura tangguh untuk melindungi diri. Mungkin ada cara lain untuk berlindung, yakni dengan mencari teman. 

Karamel adalah bagian dari doa-doa gue yang belum sempat gue ungkapkan karna gue terlalu munafik untuk mengakui kalau gue butuh tempat tinggal baru. Tempat tinggal untuk pulang, beristirahat, dan seutuhnya nyaman sebagai diri gue sendiri. 

Ya, itu cuma sebagian dari alasan kenapa gue senang ketemu Karamel sih. Sisanya... gak begitu bisa dijelaskan. Saking senangnya, gue sampai sempat lupa bahwa gue dan Karamel adalah manusia

Lucunya, gue dan Karamel selalu se-iya-sekata. Kami sering memiliki prinsip yang sama, opini yang sama, bahkan sikap yang sama. Kami sama-sama canggung, sama-sama sans (saking sansnya gue jadi kelihatan gak niat idup), sama-sama gak mau repot. Kami bahkan mengejek hal yang sama (dalam hati aja karna kami gak mau ribut), menertawakan lelucon yang sama, dan memuji hal yang sama. Iya, kami memang se-sama itu. Tapi ternyata, kami sama-sama manusia. Kembali ke salah satu masalah terbesar kehidupan manusia: gak luput dari perbedaan. 

Semakin gue dan Karamel mengenal satu sama lain, semakin kami sadar bahwa kami sama-sama manusia yang sebenarnya gak seutuhnya sama. Ada banyak perbedaan yang entah sebenarnya harus diapain. Kami sama-sama mengakui bahwa masalah itu pernah ada karna ada yang beda di sini. 

Ternyata, kita semakin bisa ngeliat yang mana fantasi dan yang mana realita ya? 

Sampai sekarang pun gue tidak benar-benar tahu gimana caranya menyamakan dua hal yang terang-terangan gak sama. "Menghargai" katanya. Iya benar perbedaan itu dihargai, tapi terus gimana caranya kita ngelakuin sesuatu yang kita hargain, tapi gak kita setujuin? 

Sekarang gue paham kenapa gak sedikit masalah yang ada karna perbedaan. Jawabannya karna toleransi aja gak cukup. Kita butuh titik temu. 

Karamel, kalau-kalau kamu baca tulisan ini, aku sebetulnya gak tahu apa dan dimana titik temunya. Sayangnya, aku gak tahu. Tapi lepas dari ada atau enggaknya persamaan dan perbedaan, lepas dari siapa pun yang (dengan sabar) ngebuka dan ngebaca tulisan ini, aku senang dan aku bangga punya Karamel. Aku senang karna ternyata walaupun munafik, harapan-harapan aku masih didengar. Walaupun gak sempat diungkapkan, aku masih bisa ketemu Karamel. Aku gak bisa sebutin semuanya (karena aku jatuh cinta tanpa sebab), tapi kalau kamu mau tahu, ini adalah beberapa alasan kenapa aku senang dan bangga bisa ketemu Karamel:
1. Karamel senyumnya manis. Kalau kamu mau unjuk bakat, boleh. Kalau unjuk gigi, jangan. Soalnya senyum kamu manis, entar orang-orang pada naksir. (Baca: gue gak mau repot)

2. Karamel selalu punya pikiran dan ide-ide gila. GILA. Tapi menjadi gila adalah cita-cita gue. Kadang kita gak perlu punya kekuatan super untuk melakukan perubahan. Kadang kita cuma perlu jadi gila supaya kita gak malu dan gak takut untuk nekat dan bikin perubahan. Berikut adalah biodata singkat gue:

Nama                    : Vidya
Umur                    : 18 tahun
Makanan favorit   : Sate padang, sushi, kwetiau goreng, soto betawi, pecel lele
Minuman favorit  : Susu coklat, jus alpukat
(karna makanan adalah prioritas hidup gue)

Cita-cita                : jadi pemain film, jadi gila

Gue tidak hanya jatuh cinta pada Karamel, tapi juga jatuh cinta pada ide-ide gila dan pikiran terdalamnya. Pikiran dalam dia bikin gue sadar bahwa ternyata yang gila gak gue doang. Setidaknya, ternyata gue gila gak sendirian.

3. Karamel selalu penasaran tentang gue dan pikiran terdalam gue. Lebih dari itu, Karamel tidak hanya sayang sama gue, tapi juga sayang pada orang-orang yang gue sayangi. Percayalah, itu sangat-sangat berarti. 

Aku sadar kita sama-sama manusia. Kita gak sepenuhnya sama dan biasanya, perbedaan jadi masalahnya umat manusia. Dan karna kita manusia, gak ada yang bisa menjamin kalau selamanya itu benar-benar ada. Tapi sekecil apa pun kemungkinan dari "selamanya", aku siap. 

Siap bukan karna nungguin perpisahan, tapi siap karna gue senang setidaknya doa-doa gue pernah didengar. Terima kasih karna sudah datang ya, Vincent.

Titik hidup yang ada sekarang ini gak pernah menjadi bagian dari rencana gue beberapa waktu yang lalu. Yang gue ingat, beberapa bulan yang lalu semuanya pait. Tapi ternyata, kepahitan tersebut bikin gue ada di titik sekarang. Gue memang sotoy. Gue menilai sesuatu sebelum gue melihat dari lebih dekat. Sekarang gue sadar, kita gak akan pernah bisa menilai sesuatu seutuhnya, kecuali kita nyemplung ke dalam "sesuatu" itu.

Bersambung...

Ini bukan sinetron Mermaid Naik Haji Bareng Anak Jalanan dan Serigala. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Me and My Freaky-Diary Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review