Senin, 30 Maret 2015

Putih Abu-Abu dan Sepotong Ayam Mcd

Gue sedang terjebak di Mcd, tepatnya di kawasan Cibubur. Lebih tepatnya lagi di depan... mending ga usah disebutin namanya. Pokoknya tempat ini terlalu mewah. Gue gak bakal ke sini kalo ga kepepet nonton Tracers, film yang diperankan oleh sang suami, Taylor Lautner. 

Nongkrong di Mcd jam segini, sudah pasti tidak jauh-jauh dari anak-anak SMA yang nongky-nongky sambil pake baju seragam. Ada yang bersama pacar, ada yang bersama teman-teman, tapi TIDAK ADA yang sendirian seperti gue sekarang. Tapi gak apa apa, I'm cool. 

Gue sendiri tidak sedang mengenakan seragam. Gue berkostum kaos v-neck hitam dengan jeans lusuh, rambut gembel, muka kusut unta Taman Safari, dan ransel lusuh tidak karuan. Hari ini adalah hari terakhir liburan, jadi gue tidak perlu susah-susah pake seragam. Senang sih libur, tapi sedih juga ini hari terakhir...

Oke, kembali ke anak-anak SMA. 

Anak-anak SMA di sini macam-macam celotehannya. Ada yang lagi ngomongin cowoknya, ada yang lagi ngomongin hal-hal gaul Cibubur, ada yang lagi ayah-bunda-ayah-bunda, pokoknya macam-macam deh. Yang pasti, topiknya gak jauh-jauh dari topik anak muda Cibubur. 

Melihat anak-anak ini bikin gue mikir tentang posisi kita; sebagai anak SMA. 

Bayangin, 
setiap hari kita harus bangun jam 5 pagi, belum lagi buat mereka yang sekolahnya jauh dari rumah, mungkin bangun jam 3 berangkat jam 5. Padahal, semalamnya kita baru tidur jam 12 malam, gara-gara harus ngerjain PR, belajar buat ulangan, nyiapin bahan untuk presentasi, mengerjakan laporan penelitian, belum lagi nyiapin ujian-ujian praktek. Jadi, kemungkinan kita tidur hanya selama 3 sampai 5 jam sehari. 

Kita siap-siap berangkat sekolah, terus berangkat deh. Buat mereka yang berangkat naik mobil disupirin sih enak. Tapi banyak dari kita yang harus naik sepeda, jalan kaki, naik angkot, naik motor, naik ojek, atau bawa mobil sendiri. Mending kalau jalannya lancar dan cerah ceria, masalahnya jalanan selalu macet dan belakangan ini, hujan terus-menerus turun. Udah seragamnya basah, kecipratan becek, sampai di sekolah terlambat pula. 

Sampai di sekolah, kita harus nyiapin tugas-tugas yang belum kelar, atau belajar untuk sekedar review, itu juga kalau malamnya sempat belajar sampai kelar dan gak ketiduran. Masih mending kalau sampai sekolah semua lancar. Masalahnya.. banyak dari kita yang gak cukup hoki dan harus kepergok kalau kia telat, dihukum pula. Ada yang hukumannya berdiri di bawah tiang bendera, ada yang ngepel lantai, nyiramin tanaman, lari di lapangan, atau yang lebih parah... disuruh pulang lagi. Udah susah-susah bangun pagi dan berangkat, malah disuruh pulang lagi dan gak bisa dapat ilmu apa-apa...

Pelajaran dimulai. Kita harus mendengarkan penjelasan guru kita. Bukan hanya sekedar pasang muka, tapi juga supaya kita paham materinya dan bisa ngerjain soal ulangan dengan lancar. Mending kalau gurunya asik, gimana kalau gurunya kayak bed time stories?? Kita harus bertahan melawan kantuk karna kurang tidur, alias cuma tidur 3 jam tadi malam. Asli, ini penyiksaan terberat gue. 

Buat mereka yang ulangan, bisa mengalami beberapa kemungkinan. Ada yang sukses ngerjain dengan lancar jaya, ada yang ngadet, seakan-akan soal yang dihadapi berasal dari galaksi lain. 

Pulang sekolah, kita sudah sangat-sangat tepar. Tapi kita harus tetap bangun. Tugas masih banyak, besok ulangan, PR harus dikumpulkan besok, laporan kalau telat ngumpulin nilainya di-, dan keluhan-keluhan lainnya. Belum lagi mereka yang harus les ini-itu. Kebayang gak teparnya gimana?

Kalian tau bagian paling buruk dari semua "penderitaan" ini?

Kita gak tau apa yang akan kita hadapin di masa depan. Semua usaha mati-matian ini... gak punya kepastian. 

Gak sedikit mereka yang sekolahnya gak jelas, tapi nasip memihak mereka. Mereka sukses-sukses aja hidup kaya dan bahagia. 

Gak sedikit pula mereka yang sekolah dan kerja susah payah, tapi nasip kurang memihak. Mereka masih harus terus-terusan bekerja lebih keras lagi untuk bisa hidup layak. 

Jadi kepastian apa yang bisa kita pegang? 

Tidak ada. 

Tapi setiap dari kita, pasti punya mimpi.

Gue punya mimpi sukses masuk universitas negri dengan undangan di jurusan komunikasi, sekolah interior design, membahagiakan nyokap-bokap gue, punya penghasilan sendiri, jadi artis, jadi penulis, jadi berguna buat orang lain, beli kinder joy, makan sushi, ketemu Taylor Lautner, duet sama Kevin Aprilio, nyanyi kayak Ariana Grande... pokoknya banyak deh. 

Dan gue yakin kalian juga punya mimpi yang mungkin gak sama dengan mimpi gue. Mungkin ada yang mau jadi dokter, jadi astronot, bikin planet, terbang ke galaksi lain, jadi penguasa Bima Sakti, atau apalah itu. 

Iya, itu yang bisa kita pegang. 

Kita gak punya kepastian tentang masa depan untuk kita pegang. Tapi setidaknya, kita punya mimpi. 

Rabu, 18 Maret 2015

Tujuh Hari Memori Selamanya

Sekitar sebulan yang lalu, gue bersama teman-teman di angkatan gue melaksanakan satu program wajib untuk siswa kelas 11 di sekolah gue: LIVE IN.

Sebentar,
kalau lo udah bosan baca laporan kegiatan gue dari hari ke hari di bawah ini, skip aja ke bagian "INI PENTING".

Live in adalah suatu program dimana anak-anak tinggal di suatu desa selama seminggu, dengan bertempat tinggal di rumah warga desa dan menjalankan pekerjaan bersama tuan rumah...

tanpa gadget.

Sayangnya, bayangan gue dan teman-teman gue tentang Live In saat itu kurang begitu indah...
Apa yang ada di pikiran kami adalah: kami harus hidup di desa yang kami sama sekali gak tahu-menahu dimana desa itu berada. Tanpa handphone (tanpa LINE, snapchat, instagram, dan youtube), tanpa game, tanpa TV, tanpa orang tua, tanpa makanan enak, atau 2 kata: Tanpa Kebahagiaan.

Cobaan selanjutnya adalah kami hanya diperbolehkan membawa 1 koper dan 1 ransel. Kami hanya diperbolehkan membawa 3 kaos, 3 celana, 2 pasang baju tidur, pakaian dalam secukupya, alat mandi, alat tulis, alat ibadah, dan obat-obatan. Kami bahkan tidak diperbolehkan membawa cemilan dengan alasan, agar kami makan makanan yang disediakan oleh tuan rumah. Kalau ketahuan membawa lebih, barang-barang lebihan tersebut akan dikeluarkan dari koper dan dikembalikan kepada pemiliknya.

Seorang teman gue, Bella (nama tidak perlu disensor) menyelundupkan 2 kantong plastik besar berisi pop mie. Mungkin kalo ditotalin ada sekitar 10 bungkus pop mie. Sayangnya seorang guru menggeledah koper Bella, mendapati pop mie-pop mie tersebut dan mengembalikannya pada Bella. Alhasil, Bella menjual 10 bungkus pop mie tersebut karna sudah patah harapan, hangus semua perbekalannya.

Live In tahun ini dilaksanakan di Desa Pujon Kidul, Jawa Timur. Desa Pujonkidul terkenal akan hasil pertanian dan peternakannya. Kualitas susu sapinya terkenal baik. Bahkan, ternyata produk Nestle dapat susunya dari sapi-sapi Pujonkidul. Lo semua harus ke alf#amart buat beli susu Nestle, sementara gue hanya pelu melangkah lima langkah dari kamar ke dapur untuk minum susu Nestle selama di Pujonkidul.

Day 1
Kami berangkat pukul 09.00 dari sekolah menuju Stasiun Pasar Senen, kereta kami berangkat menuju Malang pukul 15.00.

Ini penting:
kereta kami lebih mirip kereta berisi korban perang ketimbang kereta berisi pelajar-pelajar yang mau berwisata. 

Gue bersama teman-teman dan guru-guru gue mengisi penuh sebuah gerbong kereta ekonomi. Berikut adalah persentase penghuni gerbong kereta pelajar berwisata korban perang selama 16 jam perjalanan:

35% = siswa korban duduk/tiduran di bangku (contoh : Naura yang dengan lelapnya bobok di sebelah gue)

40% = siswa korban tergeletak di lantai kereta (contoh : ...lebih baik gak usah pake contoh)

15% = korban tidak bisa diam karna sekarat kebosanan (contoh : Andrew mencari-cari korban untuk diramal menggunakan kemampuan ramal alakadarnya. Menurut PAPI ANDREW, di usia 30-an nanti, gue akan memiliki 3 orang anak. Gaplok aja nih anak satu-_-)

10% = korban berdiri karna mengaku pantatnya sudah pegal karna duduk melulu (contoh : Ferdi yang berdiri di atas bangku sambil  terbengong-bengong campur galau)


Day 2
Tiba di Stasiun Malang, kami segera berangkat ke Desa Pujonkidul dengan bis. Saat perjalanan,kami dihidangkan pecel untuk sarapan.

Hingga tibalah kami di Desa Pujonkidul.



GILA, DINGIN BANGET.

Setibanya di sana, kami dihidangkan minuman susu jahe yang susunya asli dari sapi Pujonkidul. Di momen itu, gue sadar... gue jatuh cinta sama susu Pujonkidul. Selain enak karna hangat, rasanya pun sangat gurih dan baunya... susu banget.

Seusai opening, kami langsung diperkenalkan dengan ibu dan bapak tuan rumah tempat kami tinggal, Ibu Reni. Gue serumah bersama 2 rekan: Yeni dan Icha.

Ibu Reni punya seorang anak laki-laki kelas 3 SD yang jahilnya gak ketolong, namanya Vemas. Padahal diam-diam, Vemas ini naksir sama Yeni. Yeni adalah satu yang Vermas cari setiap kami harus keluar rumah untuk kegiatan dan penelitian. Gue tau ini konyol, tapi Vemas bikin kangen Iyel (adik gue yang kurang gue akui).

Seusai beristirahat, kami makan siang. Gue rasa kalau Ibu Reni ikut kompetisi Masterchef, Ibu Reni gak perlu lomba, langsung menang deh. Serius, masakan Ibu Reni enak banget. Selama seminggu gue bersama Icha dan Yeni makan masakan Ibu Reni 3 kali sehari (atau 4... atau 5...). Masakan yang gue paling suka adalah: ayam tepung ajaib yang gue gak ngerti cara masaknya gimana, pokoknya enak banget.

Hari itu kami isi dengan istirahat, berkenalan dengan tuan rumah, fashion street, dan menyaksikan pertunjukan seni budaya khas Desa Pujonkidul.



Day 3
Pagi hari kami isi dengan berladang dan membantu ibu di rumah. Siang hari kami isi dengan pengambilan data penelitian. Kelompok gue dipimpin oleh Squidward (check my older posts), dengan penelitian bertemakan "Sistem Pendidikan di Desa Pujonkidul". Gue bersama teman-teman kelompok melakukan observasi di sebuah SD di Pujonkidul dan mewawancarai kepala sekolah dari SD tersebut.

sebelum wawancara. (18+)


Sore hari kami isi dengan mempersiapkan makanan untuk Kendurian.

Kendurian adalah sebuah upacara adat di Desa Pujonkidul dimana setiap keluarga memasak nasi tumpeng beserta lauk pauknya, membawanya ke balai desa, dan menikmatinya bersama-sama. Upacara Kendurian merupakan simbolisasi dari rasa syukur masyarakat pada Tuhan untuk rezeki dan kekayaan alam yang dapat dinikmati. Upacara dilaksanakan sekali dalam setahun. Sebelum makan, bapak kepala desa memimpin doa bersama menggunakan bahasa Jawa.

Usai masak, kami mandi (dengan air yang sangat dingin. Berasa lagi ice bucket challenge). Selesai membersihkan diri, kami bersama-sama berangkat ke balai desa untuk makan bersama dalam Upacara Kendurian.

Day 4
Hari ini kami isi dengan melakukan aktivitas di posyandu. Kami semua dibagi menjadi beberapa tim yang bertugas di posyandu yang berbeda-beda. Di sana, kami menimbang berat bayi, mengukur tinggi bayi, mendatanya, dan membagikan bubur kacang hijau.

Memang sih awalnya canggung. Gimana enggak... kami disuruh melayani bay-bayi yang kami bahkan gak tau yang mana emak dan babe-nya. Mana tampang kami seram-seram, bayinya malah pada nangis ketakutan.

Beruntung, kami berhasil menjalankan pekerjaan kami dengan kebersamaan. Seorang rekan gue, Andrew a.k.a Papi Andrew (Andrew lagi.. Andrew lagi...) beberapa kali mengajak bayi dan balita bercanda, dengan tujuan agar bayinya berhenti menangis. Namun apa daya, yang tertawa malah orang-orang tua dari balita tersebut. Gue rasa, ibu-ibu itu pada naksir sama Andrew dan kelucuannya deh. Mereka bahkan membuat nama kesayangan untuk Andrew: "Mas Gendut".


minta difoto

Sore hari, gue bersama Yeni dan Icha membantu Bapak memerah susu sapi dan mengantarnya ke koperasi untuk ditimbang sebelum dikirim. Sambil geli, jijik, dan dipenuhi jeritan-jeritan feminim, gue, Yeni, dan Icha mencoba memerah susu sapi.

Sampai akhirnya sapi yang kami perah susunya tiba-tiba pup. Pup-nya jatuh begitu saja dari pantat sapi dan muncrat ke baju gue, Yeni, dan Icha. Alhasil, kami langsung hilang mood dan memutuskan untuk menyerah.

Malam hari, kami berlatih seni budaya sebagai persiapan untuk pentas seni. Kami semua dibagi ke dalam beberapa kelompok. Ada yang bertugas menari monel, pencak silat, kuda lumping, dan perkusi. Gue kebagian perkusi. Dalam tim perkusi, gue bermain peking. Peking adalah salah satu alat musik gamelan yang dimainkan dengan cara dipukul namun bernada. Sejujurnya gue sudah lama kepo sama alat musik ginian dan akhirnya untuk pertama kali dalam sejarah hidup gue, gue main peking.

Day 5
Pada hari ke-lima, kami bersama-sama mengajar siswa SD dan SMP di sekolah-sekolah Pujonkidul. Gue bersama kelompok kerja gue yang diketuai oleh Squidward mengajar story telling kepada siswa kelas 5 SD.

Sumpah, awalnya gue males banget. Gue sama sekali tidak tertarik untuk mengajar anak-anak kecil. Pertama, gue tidak tahu mau mengajar apa. Kedua, ngajar itu gak gampang. Belum tentu anaknya bisa diem dan mau dengerin. Kalau pun mereka diem, belum tentu mereka paham.

foto ini diambil oleh Ucup.

Tapi ternyata penilaian awal gue salah.
Teman-teman baru gue di sana sangat hangat. Mereka antusias mendenar cerita yang gue bacakan dan antusias menjawab pertanyaan-pertanyaan yang rekan-rekan kerja gue berikan. Kami juga mengobrol tentang cita-cita mereka dan bagaimana mereka perlu rajin sekolah untuk menggapai cita-cita mereka. Salah satu dari mereka bercerita tentang bagaimana dia sangat ingin menjadi dokter agar bisa menyembuhkan jika ada keluarganya yang sakit.Ada pula yang ingin menjadi polisi, artis, dan masih banyak lagi.  Sesungguhnya, "Glori Mengajar" ini adalah bagian live in favorit gue.

Di sini kami belajar memandang langit dari sisi bumi yang berbeda. Di sini pula kami belajar bahwa setiap jiwa punya mimpi. Kejar terus, teman baru. Sampai jumpa nanti, hingga bintang jatuh tak hanya tinggal harapan.

Day 6  (Hari terakhir di Pujonkidul)
Siang hari kami isi dengan presentasi hasil penelitian yang telah kami laksanakan. Usai presentasi, kami belajar membuat yogurt. Hingga tibalah malam hari: pentas seni.

Pentas seni dilaksanakan di sebuah panggung, tepatnya di depan balai desa. Ternyata ramai sekali penontonnya. Vemas dan Ibu Reni juga datang untuk menyaksikan pentas seni. Perkusi ditampilkan terakhir bersamaan dengan peragaan pakaian Pujonkidul, makanya gue nyantai-nyantai aja, tegang pun tidak. Sampai akhirnya...

"Vid, tadi ada anak perkusi dari desa sini kerasukan..." ucap Yeni sembari menoel-noel bahu gue yang sedang asik nonton tari monel. Gue cuma bisa melongo. Kepikiran antara mau meluk Yeni atau mau ngibrit. Sob, itu yang kerasukan anak perkusi. Kenapa anak perkusi??? Gimana kalau setelah ini anak perkusi kerasukan lagi??? Gimana kalau gue yang kena???

"Tapi katanya memang selalu kejadian setiap ada pentas-pentas budaya gini, Vid," gue hanya merespon dengan mulut menganga, menyerap kata demi kata yang terucap oleh Yeni. "Yang penting lo jangan sendirian dan jangan bengong," kata Yeni mencoba meyakinkan.

Tibalah waktunya penampilan perkusi. Lancar sih, kalau pun ada kendala... bodo amat deh, yang penting usaha.

Di tengah-tengah pertunjukan perkusi, Fathia dan Icha naik ke atas panggung sembari mengenakan pakaian Pujonkidul. Mereka terlihat asoy. Sampai akhirnya, sayap dari pakaian Fathia menabrak muka Squidward yang sedang asik geduk-geduk drum. Untung saja Squidward tidak buyar dan Fathia tetap dengan percaya diri tersenyum lebar. Kalau Squidward buyar, perkusi kiamat.

Semenjak kejadian itu, Fathia punya julukan baru: Queen Pujon.



Day 7 (PULANG!! SAMPAI JUMPA, PUJONS!!!)
Sebelum pulang, kami bersama-sama mengunjungi Universitas Brawijaya. Selesai touring, kami bersama-sama makan siang di sebuah restoran di Malang yang gue lupa namanya. Usai makan, kami langsung berangkat ke Museum Angkut.

Museum Angkut is definitely recommended buat kalian yang liburan ke daerah Malang. Di sana, kita bisa lihat berbagai macam kendaraan dan alat angkut dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan berbagai negara di dunia. Gue ditemani Piglet berkeliling museum hingga koprok. Seriously guys, itu tempat asik banget buat hunting photo.

Usai berkeliling di Museum Angkut kami segera menuju Stasiun Malang. Karena hujan dan banyak genangan air, gue basah kuyup dan sepatu gue sukses menjadi kobangan becek. Menit-menit sebelum asuk gerbong... kayak suasana Hiroshima dan Nagasaki seteah dibom sekutu.

Oke gue sok tahu. Gue gak tahu gimana bentuknya Hiroshima dan Nagasaki setelah dibom.

Tapi sungguh deh, kami semua udah kayak korban perang. Ada yang setres karena sandalnya putus, ada yang setres karna homesick, ada yang encok, ada yang sakit sampe udah mau pingsan, pokoknya udah kayak gembel korban perang dah. Beruntung, Piglet setia menemani gue. Dia selalu memastikan gue aman dan terus-menerus mengajak gue mengobrol bersama teman-teman yang lain supaya gue tidak ikutan setres. Piglet...

Kembali menempuh 16 jam dalam dimensi gerbong korban perang.
Karena banyak yang tergeletak dan sekarat di lantai kereta, kami harus lompat dari 1 bangku ke bangku yang lain kalau mau pipis. Toiletnya terletak di ujung gerbong. Belum lagi kalau ternyata di toilet itu ada pup belum di-flush, kami harus kembali lompat dari bangku ke bangku menuju ujung gerbong yang lain, udah kayak menghindari ranjau yang meledak kalau kesenggol.

00.00, 7 Februari 2015 (365 days)
Wish you a happily ever after, Piglet.

AKHIRNYA, kami tiba di Stasiun Senen dan segera bergegas pulang ke sekolah naik bus. Karena sangat lelah, gue koprok di bis. Di tengah-tengah kekoprokan gue, bis yang gue tumpangi mogok. Tapi gue sudah terlalu tidak berdaya. Bangun-bangun, gue sudah ada di kawasan Cibubur.

INI PENTING
Live In memang gak mudah. Siapa sih yang mau bersusah payah tinggal di desa yang jauh dari rumah, mabok di kereta, kecipratan pup sapi, disamperin mas-mas perkusi yang  kerasukan, koprok di kereta, encok di stasiun, keracunan susu sapi karna kalap saking enaknya...

Tapi gue rasa, selama di sana ada kebersamaan, di sana ada rasa aman.
Mungkin tinggal di desa selama seminggu gak sama menyenangkannya dengan hangout di mall, makan sushi, internetan, atau shopping di Forever 21...

Tapi pengalaman adalah guru dalam hidup, dan kebersaman adalah tempatnya rasa aman dan hangat.

"Gue tahu ini susah, tapi jangan mau kalah sama keadaan ya, Vid. Lo lebih kuat dari keadaan," ucap seorang teman gue saat gue mengeluh tentang kejenuhan gue.
 

Me and My Freaky-Diary Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review