Selasa, 20 Juni 2017

Budi Menggigit Anjing

Gue gak pernah begitu percaya sama intuisi, tapi gue selalu percaya kalau bagaimana pun caranya, segala hal yang ada di dunia, atau setidaknya segalanya di hidup gue sebenarnya udah tercatat. Bagaimana pun bentuk catatannya, gue percaya kalau takdir (or whatever you call it) itu selalu membawa gue pada tujuannya sendiri.

Sejak SD, gue hobi banget cerita. Gue tahu gue payah, but I gotta be honest that somehow, gue suka bercerita. Gue suka menulis, gue suka bicara, dan gue suka ngobrol. Mama gue sering bercerita bahwa sejak kecil, gue sering SKSD (Sok-kenal-sok-deket) sama banyak orang, sekali pun yang belum gue kenal.

Hobi aneh gue tersebut membawa gue pada ekstrakulikuler jurnalistik sewaktu gue kelas 5 SD. Gue inget banget, ekskul itu dibimbing sama guru SD gue yang masih dan akan selalu gue ingat karena jasanya, Ibu Merti. Kerjaan di ekskul itu simple, anak-anaknya dijelasin tentang tulisan yang menarik sambil sesekali ngewawancara murid dari ekskul lain yang kemudian hasil wawancaranya kami buat jadi artikel.

"Kalau Budi digigit anjing, itu bukan berita. Kalau anjing digigit Budi, itu baru berita!" kata Ibu Merti menjelaskan pemahaman dari tulisan yang menarik.

Sekarang gue berkuliah di jurusan jurnalistik. Masuknya sih antara sengaja dan gak sengaja. Memang bukan pilihan pertama gue, sih. Tapi berhubung sudah lolos (dan sudah kelimpungan cari kuliah), gue pikir jalanin aja dulu, deh.

Beberapa waktu setelah kelolosan gue dan sebelum gue pindah ke kabupaten Sumedanh, gue bertemu seorang teman yang sudah menjadi kawan karib gue sejak lahir, sebut saja namanya Shizuka. "Gak nyangka, ujung-ujungnya lo balik lagi ke ekskul lo jaman SD, ha-ha!" kata Shizuka cengengesan.

Lah, iya. Bener juga nih si Shizuka.

Selama 3 tahun di SMA, gue berupaya memikirkan matang-matang mau dibawa kemana rencana masa depan gue. Gue sama sekali gak terbayang bahwa ujung-ujungnya, gue bakal kecemplung lagi ke dalam tugas-tugas tulis-menulis (bedanya sekarang tugas-tugasnya lumayan mematikan, gak kayak tugas menulis jaman SD). Ternyata apa yang gue cari-cari selama 3 tahun sudah pernah menjadi bagian dari keputusan gue. Yak benar, keputusan waktu SD untuk ikut jurnalistik.

"Kita jangan kontakan dulu. Ngobrolnya lanjut lagi kalau kita udah ketemu di sana, ya!" kata Karamel beberapa jam sebelum kami ketemuan di sebuah kafe. Bertemu untuk yang kedua kalinya setelah takdir memertemukan gue dengan Karamel.

"Biar kita tahu kalau nggak ada alat komunikasi, kita berdua bakal tetap datang atau enggak. Orang jaman dulu aja kalau janjian ketemuan di bawah pohon nggak pake chatting-an dulu," katanya. Rupanya, kami berdua tetap datang.

Semenjak itu, beberapa kali kami secara sadar atau nggak sadar tidak menghubungi satu sama lain saat beberapa jam sebelum ketemuan. Tujuannya aneh tapi penting: menguji intuisi.

Suatu hari waktu liburan panjang, gue dan Karamel ingin jalan-jalan ke museum di Jakarta. Kami berangkat sendiri-sendiri dari rumah masing-masing. Untuk pertama kalinya, gue naik kereta ke Jakarta. Seru, sih. Perjalanannya nyaman dan cepat, nggak kena macet.

"Mel, aku udah di stasiun Bekasi, nih." kata gue ketika baru mau berangkat ke Jakarta. Itu menjadi percakapan terakhir gue dan Karamel sebelum akhirnya ketemuan. Gue sengaja, ingin nguji intuisi. Karamel pun tidak kunjung menghubungi gue semenjak percakapan terakhir itu. Kira-kira kalau kami gak janjian, kami bakal tetap ketemu nggak, ya?

Sampai di Stasiun Kota Jakarta, gue sama sekali tidak tahu harus apa dan kemana. Sambil "menguji intuisi", gue ngeloyor nyari kopi. Sambil sruput-sruput kopi, gue melangkah di stasiun. Itung-itung sambil explore tempat baru. Setelah beberapa langkah, gue melihat Karamel di tengah keramaian stasiun.

"Kamu sengaja gak kontak aku karena pengen nguji intuisi, ya?" tanya gue dari belakang Karamel.

Ternyata intuisi kami hidup. Kami tetap bisa ketemu walaupun nggak kontakan. Emang beda tipis sih antara intuisi sama kebetulan. Tapi mungkin gak sih itu kebetulan kalau terjadinya berulang kali?

Hari ini, hari ketiga semenjak kepulangan gue ke peradaban kuno Jakarta. Sore ini, gue berencana untuk ketemuan dengan geng Invisible (nanti gue jelasin kenapa namanya Invisible) dan beberapa guru dalam rangka buka bersama dan kangen-kangenan.

Gue menghabiskan 6 tahun masa pendidikan gue (SMP sampai SMA) di ranah Cibubur, sebuah ranah sempit dimana setiap 2 meter, ada kemungkinan lo bertemu orang yang lo kenal. Hari ini, gue janjian ketemuan bareng geng Invisible di Cibubur.

Gue berangkat dengan berkendara ojek online. Di perjalanan ke Cibubur, gue secara tidak sengaja melihat...

melihat...


MELIHAT...

tegang, nggak?!!

Gak usah tegang, biasa aja.

Gue melihat orang yang pernah menjadi bagian dari drama SMA gue. Drama nggak jauh-jauh dari kisah romansa, jadi silakan tebak sendiri siapa tokoh drama yang gue temui sore ini di jalan (Gak deng, gak usah ditebak). Yak, kata gue juga apa. Cibubur adalah ranah sempit dimana setiap 2 meternya, ada posibilitas lo bertemu orang yang pernah lo kenal.

Seperti canggung-canggung pada umumnya, gue sendiri nggak tahu harus bersikap bagaimana. Entah ini sebuah kondisi beruntung atau enggak, tapi ojek yang terus bergerak gak memungkinkan gue untuk berpapasan.

Ini intuisi atau kebetulan?

Gak, ini bukan intuisi. Ini Cibubur. Cibubur sebagai ranah sempit dimana setiap 2 meternya, ada posibilitas lo bertemu orang yang pernah lo kenal.

Terlepas dari ini intuisi, kebetulan, atau Cibubur, gue harap intusisi gue tentang peradaban kuno udah terlalu usang untuk hidup kembali. Atau seenggaknya kalau memang belum seusang itu, anggep aja gue udah ngebunuh intuisi atau apapun itu namanya. Gue terlalu capek buat urusan lagi sama peradaban kuno.

Lagi pula, bukannya gue udah pernah memutuskan untuk berubah?

Waktu gue SMA, gue gak pernah gak tidur setiap pelajaran sosiologi. Gue suka sosiologi, okay? Bukan pelajarannya yang salah, tapi guenya yang terlalu gampang tidur. Suatu hari, kami, murid 12 Viburnum, disuruh membaca materi dari buku dan menjelaskannya secara berkelompok. Karena gue asik tidur, tentunya gue tidak membaca apa-apa.

"Bangun-bangun. Coba jelaskan, tadi kelompok kamu baca apa?" kata Mr. Hery (guru sosiologi) membangunkan gue. Alhasil, gue jawab aja alakadarnya. Lumayanan, jawaban gue adalah hasil karangan gue dan imajinasi gue. Hore!

"Emangnya mana kelompok kamu?"

Oh iya, gue gak punya kelompok. Gue celingak-celinguk.

"Ini, Sir!" kata gue sambil menunjuk kedua teman yang kebetulan lagi asik ngobrol di sebelah gue. Tentu saja, kedua orang ini juga sama sekali tidak membaca materi. Kedua tersangka tersebut adalah Zeta dan Divi. Mr. Hery geleng-geleng.

Semenjak itu kami sadar bahwa kelompok kerja kami selalu ada...

Tapi hasilnya yang gak ada.

Kemudian lahirlah geng Invisible.

Hari ini kami gak sengajaan pakai baju hitam-hitam. Emang dasarnya udah penguasa kegelapan, mau diapain lagi lah. 

in·tu·i·si n daya atau kemampuan mengetahui atau mema-hami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati

Komponis Musik Ilustrasi Sinetron Indonesia, Purwacaraka: Bermain Musik adalah Tentang Rasa

“Musik adalah tentang rasa dan kepekaan personal seseorang. Dengan rasa yang baik, seseorang bisa menghasilkan komposisi musik yang baik, terlepas dari apapun bentuk instrumennya.” jelas Purwacaraka, musikus sekaligus komponis musik Indonesia yang terkenal akan karya musik ilustrasinya di dunia sinetron, tersirat dalam penjelasannya mengenai peranan musik digital dalam dunia musik Indonesia di generasi muda.
            Menciptakan musik ilustrasi untuk film bukanlah sebuah hal mudah. Diperlukan pelatihan dan pembelajaran yang matang, yang pula memerlukan waktu bertahun-tahun lamanya. Pengabdian dan pengorbanan menjadi kawan dari berbagai proses yang ditapaki.
Musik ilustrasi bukanlah hanya tentang alunan musik yang nyaman bagi telinga, tapi juga yang mampu membawa suasana emosi penonton sesuai dengan pesan yang disampaikan oleh pembuat dan pemeran film. Oleh karena itu, yang tidak kalah penting dari kemampuan bermusik adalah kemampuan untuk merasa dan memaknai sebuah pesan visual.
Seiring dengan hidup dan berkembangnya dunia sinetron di Indonesia, teknologi dan digitalisasi turut bernafas bersama kehidupan perfilman. Dengan bernafasnya digitalisasi dalam dunia musik, berbagai kemudahan ditawarkan tak hanya bagi nafas kehidupan para musisi, tapi juga bagi kehidupan karya seni musik dan film tanah air.
Tidak selalu digitalisasi dipandang sebagai musuh dari nilai orisinalitas karya seni tanah air. Dengan rasa yang mendalam serta kapabilitas dalam musikalitas, digitalisasi hidup seiring karya seni tanah air sekalipun dalam jalur yang pararel. Searah, namun tidak bertemu. Digitalisasi bukanlah musuh selama ada rasa di dalam sebuah alunan musik. Digitalisasi memang cerdas, tapi rasa adalah lebih hidup dalam alunan instrumen musik dari tangan musisi yang memaknai rasa itu sendiri.
Purwacaraka lahir di Beogard, Yugislavia pada 31 Maret 1960 dan memulai perjalanan bermusiknya ketika berusia sembilan tahun. Dengan latar belakang keluarga yang sama sekali tidak sekiblat dengan musik, Purwacaraka melangkah keluar dari zona nyamannya. Diawali dengan dukungan orang tua untuk terus belajar, Purwacaraka sukses membuktikan pilihan hidupnya dengan berbagai kesuksesan dan karya yang dihargai dalam dunia seni musik dan perfilman Indonesia.
Tidak selalu apa yang diinginkan sejalan dengan apa yang diperhadapkan dalam hidup. Melenceng dari dunia musik, Purwacaraka mendalami ilmu teknik industri di Institut Teknologi Bandung. Namun sebagaimana takdir memiliki jalannya yang paling indah bagi garis hidup seseorang, dari ilmu manajerialnya pula Purwacaraka sukses membangun sekolah musik bernama Purwacaraka Music Studio.
Pengorbanan adalah bagian dari proses menuju sebuah kesuksesan. Setiap kesuksesan berproses, dari hal kecil hingga hal besar yang menjadi arti dari pencapaian. Setiap orang memiliki definisinya sendiri mengenai kesuksesan. Purwacaraka memaknai kesuksesan sebagai pencapaian atas apa yang dijalankan dan dikerjakannya dengan senang hati.
Melalui wawancara yang berlangsung pada Jumat, 2 Juni 2017 di kediaman Purwacaraka yakni di kawasan Bintaro, Purwacaraka membagikan pengalaman dan perjalanan dalam kesuksesannya serta berbagai pandangannya mengenai digitalisasi dan pengaruhnya terhadap karya seni tanah air. Dengan keterbukaan, Purwacaraka tak hanya menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan, tapi juga membagikan berbagai pelajaran tentang pentingnya pengorbanan dalam perjuangan serta bermaknanya rasa dalam sebuah karya seni musik.

***

Memulai bermain musik sejak kecil, keinginan diri sendiri atau dorongan dari lingkungan?
Zaman itu, tidak yakin orang tua memperbolehkan anaknya bermain musik. Ya, dorongan sendiri. Lagi pula, bapak saya tentara sehingga walaupun mereka menyukai musik karena sering dansa waktu muda, tapi tidak ada probabilitas untuk mengarahkan anaknya berprofesi musik karena rasanya hari itu, bahkan hari ini pun susah.
Tidak ada arahan dari orang tua, mengapa bisa tetap mendalami musik?
Yang mendorong saya untuk menjadi seperti sekarang dengan musikalitas tinggi dan tahu banyak tentang dictionary of music karena dulu ada gamelan, musik India, musik Latin, bahkan semua ada piringan hitamnya sehingga saya sudah terbiasa. Orang tua saya memberikan saya kesempatan untuk belajar musik, seperti memberikan les dengan serius walaupun bayar cukup mahal, beli piano juga bukan hal yang gampang terutama untuk tentara berpangkat kapten yang mengedepankan bersih dari komisi. Intinya, orang tua tetap support selama beliau sanggup untuk membiayainya. Pada akhirnya, mereka terjerumus sendiri ke dalam kebaikan. Akhirnya saya tumbuh dan berkembang menjadi pemusik yang dianggap di atas rata-rata, otomatis aktivitas di musik menjadi intens, sehingga saya bisa menyeimbangkan sekolah dan musik walaupun tidak banyak bermain dengan teman-teman, tapi itu bukan masalah. Yang penting adalah saya bisa buktikan bahwa saya bisa membagi waktu. Masuk universitas bagus, bahkan lulus dengan hasil yang bagus juga.
Mengapa memilih untuk berkuliah di jurusan teknik industri Institut Teknologi Bandung yang tidak ada kaitannya dengan minat musik?
Jawabannya jujurnya, saya memilih teknik industri karena saya melihat peluang untuk tetap bisa main musik karena cenderung lebih renggang. Belum tentu jurusan lain seperti kedokteran, masih bisa berpeluang untuk main musik. Waktu itu, yang sedang top adalah teknik arsitektur, mesin, atau elektro. Kalau saya memilih jurusan-jurusan itu, padat sekali kegiatannya dan belum tentu bisa main musik. Di jurusan teknik industri, banyak pembelajaran kualitatif yang lebih mendalami managerial function sehingga saya melihat jurusan itu sangat fleksibel untuk tetap bisa mengambil banyak jenis pekerjaan lain. Untuk saya, interest tambahnnya adalah bagaimana saya tidak harus terlalu padat kegiatan kuliah karena pembelajaran kualitatif yang cenderung lebih mengandalkan kemampuan berpikir membuat saya tetap bisa berpeluang untuk bermain musik dengan baik.
Anda lulus dari teknik industri dengan hasil yang sangat baik. Bagaimana Anda menyeimbangi kewajiban dengan minat?
Memang harus ada pengorbanan, harus bisa disiplin waktu. Ketika ada ujian, saya harus mengorbankan minat dan pekerjaan saya di musik. Saya harus selalu bisa mengondisikan dan mengingat bahwa saya masih kuliah. Beruntung  pimpinan saya waktu itu juga paham bagaimana rules of game dari mahasiswa. Network juga penting, terutama untuk yang ingin mendalami bisnis.
Adakah kendala tertentu dari lingkungan atau keluarga ketika harus menyeimbangkan kuliah dengan musik sebagai minat?
Semua orang, tidak terkecuali orang tua saya akan menerima apa saja opsi yang ditawarkan oleh seseorang, terutama anaknya ketika dia bisa membuktikan bahwa dia tidak merugikan apa yang dia persepsikan. Kalau kita bisa buktikan bahwa musik tidak mengganggu kuliah, persoalan selesai. Selain itu, saya sudah menghasilkan uang sejak SMA sehingga ketika kuliah, uang penghasilan saya meningkat sehingga orang tua saya melihat manfaat lain dari pekerjaan dan minat saya. Saya harus bisa buktikan bahwa minat saya adalah maksud yang baik dan terbuktikan dengan mampu lulus dengan hasil yang baik juga. Setelah lulus, I’m on my way boleh, dong...
Artinya, cita-cita sejak kecil untuk terjun ke dalam dunia musik tercapai.
Saya tidak pernah punya cita-cita yang persis dengan keadaan saya sekarang. Kesuksesan itu relatif. Yang penting pekerjaan saya menyenangkan dan saya merasa mendapatkan achievement. Kepuasan bukan pada uang. Sama halnya dengan ketika kita bermain piano di hadapan banyak orang, achievement bukan pada berapa besar bayaran, tapi berapa banyak penonton yang terhibur. Saya percaya bahwa jika achievement dijadikan landasan, uangnya sendiri yang ngikut.
Ketika menyeimbangi kuliah dan pekerjaan sebagai wakil direktur, bukankah lebih mendalami bisnis daripada musik?
Tidak, karena semua berproses. Saya memulai dengan mengajar piano ke rumah-rumah atau main di kafe dengan bayaran seratus ribu hari itu. Intinya, semua saling menopang dalam berjalannya sebuah proses antara musik dan bisnis. Saya membangun musik dari bawah. Mengawali dengan bukan siapa-siapa, demonstrator, kemudian menjadi product specialist, kemudian baru mendapat nama dan proses terus mengerucut. Kualitas beban pekerjaan bertambah seiring tanggung jawab.
Anda terkenal dengan karya musik ilustrasi sinetron, yang paling terkenal adalah sinetron Si Doel. Bagaimana awal mulanya?
Semua berawal ketika SCTV memisahkan diri dengan RCTI, dengan sinetron berjudul Buku Harian, pemainnya Desi Ratnasari, Didi Petet, dan banyak aktor terkenal lain. Produksi hari itu belum sebanyak hari ini. Saya memulai di Si Doel ketika Rano Karno mengajak saya dengan hubungan pertemanan. Beliau jemput saya pukul sepuluh malam, di studi Editing Spectra kami kerja sampai pukul enam pagi, produksi musik untuk dua episode pertama. Enam episode pertama sukses, berlanjut terus hingga akhirnya kami menyelesaikan seua sekuel, terdiri dari tujuh sekuel, selama sebelas tahun. Berbeda dengan sinetron Tukang Bubur Naik Haji yang berhenti pada episode 2100, ditampilkan setiap hari dimana produksi musik mengandalkan sistem komputer sehingga saya tidak perlu lagi datang ke tempat editing. Saya menggunakan berbagai teknologi, bahkan bisa memproduksi di studi saya sendiri.
Artinya, hubungan pertemanan menjadi awal dari karir Anda yang berkembang pesat dalam dunia produksi musik ilustrasi sinetron di Indonesia.
Percayalah bahwa pekerjaan yang baik membuahkan hasil yang baik. Waktu itu saya memulai dengan hubungan pertemanan. Tapi selepas itu, saya membuktikan bahwa hasil yang saya hasilkan bukanlah urusan pertemanan, tapi karena kapasitas. Untuk saya, yang terpenting bukanlah mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, tetapi kapasitas. Jika orientasi mendapat uang sebanyak-banyaknya, akan susah mencapai tujuan.
Untuk membuat musik ilustrasi sinetron, adakah basic kesukaan pada perfilman?
Saya jarang menonton film, tapi saya penikmat benda berkesenian apapun bentuknya. Ketika saya diminta untuk mengisi ilustrasi, saya tidak punya basic ilustrator, tapi saya punya pemahaman mengenai dramaturgi, adegan, mengobrol dengan sutradara, salah persepsi dalam ilustrasi. Dengan begitu, saya memahami bahwa musik ilustrasi sangat berpengaruh pada mood dalam adegan. Saya selalu berdiskusi dulu dengan sutradara tentang perasaan penonton yang bagaimana yang ingin disentuh oleh film.
Musik ilustrasi memiliki kekuatan yang sangat besar dalam memengaruhi suasana emosi penonton.
Sangat benar. Bahkan ada kalanya gambar (visual) tanpa naskah bisa berpengaruh kuat hanya dengan mengandalkan musik.
Naskah dan musik, yang mana yang lebih kuat?
Tergantung kita melihatnya dari sisi mana. Musik datang belakangan sehingga tidak meninggalkan peran sebagai pendukung karena script memegang peranan sebagai inti dari story telling yang terpenting. Musik berdiri karena gambar (visual), namun memiliki peranan yang sangat penting. Bahkan musik menggiring penonton untuk mengganti atau tidak mengganti channel, dengan mengandalkan pembawaan suasana emosi.
Apa tantangan terbesar dalam menciptakan musik ilustrasi?
Scoring, karena dulu sistemnya tidak sync dengan komputer. Penghitungan tempo dan waktu harus dilakukan secara manual, saya harus menghitung dulu ritmenya berapa, kemudian saya tandai. Saya harus membuat komposisi musik berdasarkan komposisi gambar. Sekarang sudah jauh lebih mudah dengan mengandalkan komputer.
Adakah unsur industrialis dalam berbagai pekerjaan Anda dalam seni?
Itu adalah hal yang menarik. Once kita masuk ke dalam dunia industri, industri selalu menjanjikan hal yang besar karena tidak banyak orang seni yang berpola pikir industrialis. Bukan masalah, their own risk, their own challenges, their own achievement. Saya memang sering dianggap industrialis karena memang 55% otak saya adalah teknik industri.
Semakin zaman berkembang, kita semakin dimudahkan dalam memproduksi musik. Generasi muda lebih tertarik dengan produk digital. Bagaimana pandangan Anda?
Komposisi musik tidak ditentukan oleh the matter of digital or not. Komposisi musik ditentukan oleh rasa dan kualitas personal. Dulu, apa yang saya dalami adalah sulit sehingga pemain dan pesaingnya sedikit, sehingga saya dipercaya untuk menjadi kepala. Bagaimana pun prosesnya, saya tidak ingin menghasilkan sesuatu yang bernilai gampang karena pada ujungnya, tidak akan bernilai dalam jangka panjang. Untuk membuat musik ilustrasi sinetron, saya membuat komposisi yang baik, baik komposisi dalam struktur atau dalam instrumentasi.
Digitalisasi tidak menentukan kualitas karya musik.
Benar, tapi yang paling penting digitalisasi memang jauh mempermudah. Tapi kita justru harus meningkatkan kualitas bermusik kita karena kemudahan tersebut. Kalau kemudahan tidak dibarengi dengan kualitas, maka fasilitas digitalisasi tidak akan ada artinya. Jika kita memiliki fasilitas yang canggih, yang diperhatikan adalah bisa atau tidaknya kita menciptakan musik yang bagus dengan komposisi kita.
Adakah pengaruh digitalisasi pada lunturnya kecintaan generasi muda pada orisinalitas karya musik tanah air?
Digitalisasi dan kecintaan pada karya tanah air adalah hal yang berbeda. Digital adalah hasil kemajuan teknologi. Musik adalah eksplorasi rasa. Jika membandingkan musik yang dilakukan dengan digital atau tidak digital, bisa jadi yang menang adalah produk digital, jika kita menggarap musik yang tidak digital dengan tidak oke. Sampai saat ini, saya masih merasakan bahwa hasil instrumen biola digital tidak akan lebih baik daripada instrumen yang dimainkan tanpa digital, selama pemain biolanya benar-benar berkemampuan baik. Jika yang bermain instrumen berkualitas bagus, maka kualitas yang dihasilkan pun bagus.
Artinya, yang lebih penting dari digitalisasi adalah kemampuan pemain musik dalam menciptakan atau memainkan musik.
Musik ada di dalam kapasitas pemainnya, termasuk dalam generasi muda meliputi kemampuan eksplorasi secara kreatif, pemanfaatan dari materi, dan pemanfaatan yang disediakan oleh produk digital. Produksi musik memang jauh dipermudah dengan digital, tapi komposisi musik bukan komputer yang membuat. Bagaimana hasilnya dibedakan oleh komposisi musisinya, bukan dari rapi atau tidaknya produk digital.
Bagaimana kaitan digitalisasi dengan kenusantaraan?
Digitalisasi dengan kenusantaraan adalah hal yang berbeda. Memang bisa terlihat bahwa kelompok tradisional dan modern bagaikan air dan minyak. Di tengah-tengah perbedaan tersebut, ada musisi yang bereksperimen dengan mencampurkan unsur tradisional dengan kontemporer. Namun perbedaan tersebut tidak dapat dipaksakan agar musik tradisional tidak punah. Walaupun begitu, kecintaan pada budaya tanah air memang tidak boleh dilupakan.


Kehadiran produk digital tidak memengaruhi nilai-nilai budaya tanah air.

Setahu saya, ini hanyalah masalah exposing. Media memiliki peranan penting dalam memengaruhi pola pikir masyarakat tentang arti seni musik. Media memberikan gambaran tentang musisi-musisi yang telah melalui proses rekaman sehingga masyarakat berpemahaman bahwa seniman musik adalah yang melalui proses rekaman. Ukuran kesenian pada dasarnya tidak ditentukan oleh proses rekaman. Media tidak selalu mengupas fenomena kesenian yang terjadi di gedung kesenian Jakarta karena dinilai sebagai berita yang tidak menarik. Banyak fenomena seni musik nusantara yang berkualitas tidak menjadi bahan berita karena tidak ada peranan artis top di dalamnya. Media memang memiliki kekuatan yang besar.   
 Foto: Vidya Pinandhita
Purwacaraka bermain piano seusai wawancara sembari dengan santai berbagi tentang berbagai pengalaman uniknya dalam perjalanan sebagai komponis musik ilustrasi sinetron Indonesia. Karyanya yang paling terkenal adalah Si Doel, sinetron yang ditayangkan di RCTI sejak 1996 hingga 2006 dan diperankan oleh Rano Karno. 

Wawancara berlangsung di kediaman Purwacaraka di kawasan Bintaro pada Jumat (2/6). Dengan keterbukaan, Purwacaraka berbagi tentang pengalamannya dalam dunia musik ilustrasi sinetron hingga mendirikan Purwacaraka Music Studio

Produser Eksekutif iNews TV, Lukman Hanafi: Media Bertempur tapi Tidak Berseteru

Menjadi wartawan bukanlah suatu profesi yang mudah. Tak hanya bertarung dengan berbagai tantangan di lapangan, wartawan di era sekarang pula harus bertarung dalam arus perkembangan teknologi yang pesat. Perkembangan teknologi yang diiringi dengan perubahan kehidupan dan kebutuhan khalayak membuat wartawan harus turut beradaptasi, menyesuaikan diri dengan perubahan rupa produk media untuk bertahan hidup.
            Menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan tidaklah cukup dengan kefamilieran wartawan terhadap berbagai produk teknologi. Untuk bertahan hidup, seorang wartawan harus mampu menyeimbangkan luasnya wawasan, jaringan, dan senantiasa mengedepankan etika. Tanpa ketiga nilai dasar tersebut, seorang wartawan tidak akan bertahan hidup dalam melakukan adaptasi dengan perubahan zaman dan teknologi. Dalam kata lain, wartawan dan peranannya akan terkalahkan oleh produk perkembangan teknologi yang kian menyesuaikan diri dengan kebutuhan manusia.
            Lukman Hanafi memegang tanggung jawab sebagai produser eksekutif iNews, sebuah stasiun televisi berita yang didirkan oleh Media Nusantara Citra, atau yang biasa kita kenal dengan MNC Group semenjak 2015. Dalam wawancara yang dilakukan pada Sabtu, 29 April 2017 di gedung iNews, komplek MNC Tower, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Lukman Hanafi yang pula pernah bekerja sebagai wartawan media cetak membagikan berbagai pengalamannya seputar dunia kewartawanan dan media televisi.
Dalam wawancara tersebut, Lukman Hanafi memberikan berbagai pandangannya mengenai nilai-nilai yang perlu dimiliki oleh jurnalis di tengah perkembangan teknologi yang pesat serta bagaimana sebuah media harus beradaptasi untuk bertahan hidup. Bagi Lukman Hanafi, perkembangan teknologi bukanlah sesuatu yang harus dihindari oleh media dan tidak akan bisa dipungkiri keberadaanya. Justru dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, dunia media dan kewartawanan akan berkembang bila dihadapi dengan wawasan dan etika yang dijunjung tinggi.



Bagaimana awal mula Anda masuk ke dalam dunia kewartawanan?
Saya masuk media berawal dari daerah dan media cetak lokal, kemudian melanjutkan bergabung ke TPI (Televisi Pendidikan Indonesia). Saya pertama berada di Banyumas, kemudian di Solo, Magelang, lalu akhirnya Jakarta.
Mengapa memilih untuk menjadi wartawan?
Karena senang saja, sih. Sekitar tahun 2000, pekerjaan ada banyak, namun terbayang wartawan lebih menarik. Eranya beda untuk wartawan saat itu dengan sekarang. Dulu banyak orang ingin menjadi wartawan karena bisa mengenal dan dekat dengan siapapun, dalam kata lain sakti karena bisa kemana-mana.
Anda memulai perjalanan sebagai wartawan karena dasar suka membangun relasi dengan orang atau karena dasar suka menulis?
Saya suka menulis dan suka keluyuran. Jadi wartawan kan keluyuran, jadi banyak teman.
Anda memulai karir sebagai wartawan tanpa latar belakang pendidikan jurnalisme, melainkan ekonomi. Adakah kaitan tertentu antara bidang pendidikan yang didalami dengan profesi wartawan?
Berkaitan sekali tidak, tidak berkaitan pun tidak juga. Saya lebih dulu menjadi wartawan daripada menjadi sarjana. Awalnya karena saking asyik keluyuran sana-sini, jadi banyak tempat yang didatangi.
Adakah pengaruh yang besar bagi Anda perihal latar belakang pendidikan yang bukan jurnalisme dengan berjalannya profesi Anda sebagai wartawan?
Saya tidak bisa mengatakan karena saya sendiri tidak tahu benar pendidikan jurnalismenya seperti apa. Tapi dari banyak teman atau yang menjalankan PKL di sini, latar belakang pendidikan jurnalistik tetap membantu meskipun kenyataannya antara teori dan praktek memiliki banyak persamaan juga perbedaannya.
Sejauh pengalaman dan pengamatan Anda, yang lebih penting adalah teori seperti di perkuliahan atau pengalaman terjun langsng ke lapangan?
Kalau untuk menjadi seorang reporter, cenderung lebih berguna langsung ke lapangan. Tapi kalau untuk menjadi seorang officer (jurnalis tapi officer), teori menjadi penting. Walaupun begitu, menjadi officer tanpa pengalaman di lapangan juga tidak bagus karena dia tidak akan bisa menganalisa langsung keadaan di lapangan. Banyak lulusan jurnalistik yang terpaku pada teori, namun saat dipraktikan susah karena apa yang kita temukan di lapangan berbeda dengan apa yang kita temukan di lapangan. Keadaan di lapangan selalu berubah, tapi teori begitu-begitu saja, terkecuali hal-hal dasar seperti kode etik dan perundang-undangan. Hal-hal seperti teknik mewawancara tidak akan didapatkan dengan kuliah bertahun-tahun bila tidak ada praktiknya.
Terlepas dari latar belakang teori atau praktik, nilai-nilai apa yang menurut Anda penting untuk dimiliki oleh wartawan?
Yang jelas untuk menjadi seorang jurnalis yang baik, nomor satunya adalah harus humble. Ketika tidak humble, dia tidak akan berhasil. Jurnalis bukanlah orang yang datang dan hanya abisa mewawancara orang, tapi yang paling penting adalah bagaimana dia mengenal orang dan dikenal orang. Jaringan adalah yang paling penting, walaupun bukan yang utama karena jaringan yang luas tidak akan berguna bila dia (jurnalis) tidak mengembangkan wawasan. Isu terbaru selalu bergerak, narasumber juga selalu berubah posisi. Jaringan harus luas, tapi wawasan juga harus dikembangkan. Jangan sampai kita (jurnalis) bertanya tentang hal yang sudah dijelaskan di hari sebelumnya.
Bagaimana kunci dari membangun jaringan yang luas?
Pasti butuh proses. Orang-orang yang baru terjun ke lapangan sebagai reporter cetak, televisi, atau radio memiliki cara yang sama, yang membedakan adalah output-nya berupa koran, online, dan suara. Untuk membangun relasi sebenarnya memiliki cara yang sama, seperti dengan datang langsung ke lokasi, terlebih untuk media televisi yang harus ditampilkan dengan visual. Sesekali juga harus say hello, terlebih untuk orang-orang penting. Jaringan terbangun tidak hanya dengan sekedar kenal, tapi juga harus keep in touch dalam maintenance. Kita sebagai wartawan harus kenal, tidak hanya tahu.
Humble (rendah hati) adalah bagian dari etika. Dalam pandangan Anda, adakah perbedaan dalam menjalankan kesesuaian etika antara wartawan yang berbekal teori dengan yang hanya berbekal pengalaman di lapangan?
Tidak, sih. Itu sebenarnya bersifat umum, tapi persoalannya adalah kembali ke invididu. Sifat individu sendiri yang terkadang tidak sesuai dengan etika yang diajarkan. Etika adalah moral, dimanapun tempatnya seharusnya sama. Masalahnya adalah bagaimana individu itu mengaplikasikan nilai moral tersebut.
Berkaitan dengan etika wartawan dalam mendapatkan informasi mendalam dari terwawancara, apakah dibenarkan bila wartawan menekan terwawancara untuk menjawab?
Hal seperti ini lebih termasuk teknik, bagaimana wartawan harus mendapatkan informasi yang lebih banyak daripada penjelasan narasumber tanpa membuat narasumber marah. Padahal bila narasumber kesal, itu gawat. Saya tidak tahu apakah hal seperti itu dijelaskan dalam teori di perkuliahan karena hampir semua yang pernah saya temui menjelakan bahwa kemampuan teknik wawancara seperti itu dipengaruhi oleh pengalaman di lapangan dan bakat seseorang. Tidak semua orang mampu menggali pembicaraan dengan orang lain yang di luar perkiraan kita. Teknik dari orang (pewawancara) yang jago memiliki cara pembawaan yang enak, juga ketertarikan narasumber terhadap terwawancara, serta banyak faktor lain. Namun untuk menekan dan menjebak narasumber, saya sarankan jangan karena hal seperti itu gambling dengan informasi yang didapatkan.
Dalam mencapai verifikasi, dalam pandangan Anda, lebih penting mengutamakan kenyamanan terwawancara atau kedalaman informasi?
Dua-duanya. Narasumber harus nyaman, informasi juga harus mendalam. Jika kita mewawancarai A tentang hak angket tanpa mengetahui dasar undang-undang atau kewenangan perihal hak angket, kita akan percaya saja dengan jawaban narasumber. Sampai saat ini, saya sendiri tidak mengetahui kebenaran dari informasi yang disampaikan di media mengenai kasus tersebut. Kedaan tidak ter-update justru mengganggu.
Menyeimbangkan kenyamanan terwawancara dengan kedalaman informasi dilakukan dengan memperluas wawasan jurnalis sendiri mengenai kasus yang diliput.
Betul, karena narasumber kadang tidak ditanya, namun dengan argumen dari kita (jurnalis), dia (narasumber) akan terpancing untuk menjawab dan kita jadi asyik dalam percakapan. Maka itu yang paling penting adalah kita harus tahu dulu apa yang ingin kita cari. Jika kita datang tanpa pengetahuan apa-apa, tidak akan bisa kita dapatkan informasi mendalam.
Berkaitan dengan verifikasi, apakah dibenarkan bila jurnalis dikatakan berlawanan dengan humas? Sementara humas membangun citra sebuah lembaga, jurnalis justru menggali apa yang tidak terlihat oleh publik.
Tidak, karena pada dasarnya tidak ada yang bertentangan. Hanya yang membedakan adalah humas lebih memuji, sementara media balancing. Artinya, kita (jurnalis) tidak menghilangkan sesuatu, tapi mengkritik sesuatu yang perlu dikritik. Jika tidak perlu dikritik, tidak perlu mengada-ada. Tidak ada humas yang kritis, sementara media harus kritis. Namun dengan perbedaan, bukan berarti bertentangan.
Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, generasi muda lebih suka mengakses internet (Youtube) daripada televisi. Menurut Anda, berkaitan dengan keadaan demikian, apakah kelebihan dan kekurangan tersendiri dari media televisi?
Yang jelas, dengan perkembangan media sosial semua media harus berkembang. Imbas yang paling cepat adalah pada media cetak. Walaupun begitu, televisi juga harus bertarung karena media sosial juga memasang iklan, sementara hidup televisi adalah dari iklan. Kelebihan televisi adalah sekarang, banyak orang mengakses konten televisi melalui gadget dan harus membayar kuota internet. Di Indonesia, konten tersebut ditonton gratis bila ditonton melalui televisi. Kedua, view di televisi lebih besar dan lebih nyaman daripada di gadget. Kekurangannya, televisi harus bertempur dalam hal kecepatan. Jangan sampai kalah cepat untuk membuat berita di televisi, sementara di media sosial bisa dengan cepat diberitakan. Walaupun begitu, televisi dan media sosial bukan berarti bermusuhan, justru harus bergandengan. Media harus bertempur, tapi tidak berseteru. Dunia media sosial harus dimanfaatkan betul oleh televisi karena media sosial juga membantu informasi untuk televisi. Kita memantau Twitter untuk melihat perkembangan informasi. Tapi yang pasti, informasi di televisi pasti terverifikasi, kebenaran lebih terjamin karena bila salah bisa dituntut, tidak seperti di media sosial yang sering tidak seimbang dan terpotong-potong. Intinya, kelebihannya perihal akurasi, sementara kekurangannya adalah mengenai kecepatan.
Di media online, proses wawancara dan liputan dapat dilakan dengan cepat seperti dengan wawancara melalui telepon. Di televisi, wartawan harus hadir langsung di lapangan lokasi peliputan.
Sekarang tidak jauh beda peliputan untuk media online dan televisi karena terbantu oleh gadget. Semua reporter, bahkan anak muda, handphone-nya sudah smart phone yang bisa melakukan video call, itu yang menolong. Dulu ketika saya awal bergabung dengan televisi di Banyumas, mengirim berita sangat susah. Gambar harus direkam dengan kaset, dikirim dengan kereta, lalu naskahnya saya kirim lewat fax. Tapi sekarang karena perkembangan zaman, kita bisa melalui Skype, kemudian berita naik.
“Media harus bertempur dengan online, tapi tidak berseteru”. Apakah itu cara untuk mempertahankan keberadaan media cetak dan televisi?
Saya yakin koran suatu hari akan hilang dari dunia media karena pertama koran harus dibeli. Kedua, beritanya basi karena hasil liputan siang ini baru bisa dibaca besok pagi. Berbeda dengan media cetak majalah, mungkin bisa bertahan. Membaca koran memang bagus dan isinya terdokumentasi dan bisa disimpan, berbeda dengan televisi yang kontennya tidak dapat disimpan dan mudah berubah.
Ketika radio hadir, koran tidak mati. Ketika televisi hadir, radio dan televisi juga tetap tidak mati.
Televisi lebih berat dari media cetak. Media cetak menjual barang, sementara televisi hanya mengandalkan iklan, bukan menjual produk berupa barang. Jika melihat realitas, sekarang televisi yang menggunakan udara gratis saja berbalapan dengan online. Apa lagi dengan media cetak?

Media harus beradaptasi untuk bertahan hidup.
Pertama, harus beradaptasi. Kedua, harus bersubsidi. Satu perusahaan media dengan berbagai bentuk output, mungkin bagian korannya defisit, namun televisinya surplus. Ada beberapa perusahaan media yang hanya mempunyai koran sudah tutup.
Adaptasi adalah ketika suatu badan perusahaan media memiliki berbagai bentuk output media.
Sebenarnya tidak juga, karena sebuah perusahaan juga bisa beradaptasi dengan mengikuti kemajuan teknologi dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan audiens. Kompas awalnya hanya memproduksi koran, kemudian beralih ke televisi juga kompas.com karena teknologi berkembang.
Bukankah ada peraturan yang menegaskan perihal monopoli termasuk untuk perusahaan media?
Saya sempat mendengar bahwa sebuah perusahaan tidak boleh memiliki lebih dari dua televisi. Namun buktinya, tidak ada peraturan yang berjalan karena sampai sekarang, MNC Group memiliki beberapa televisi.
Nilai apa yang perlu diketahui oleh jurnalis masa kini melihat perkembangan teknologi yang pesat?
Yang jelas, zaman sudah berbeda. Ketika zaman saya dulu, menjadi wartawan televisi nasional adalah dalam tanda kutip seperti superman. Masyarakat butuh berita, dan kita (wartawan) bertemu dengan banyak orang penting, seperti bupati yang ingin menyampaikan suatu pesan melalui televisi. Namun sekarang berbeda, wartawan dan media televisi berjumlah sangat banyak. Wartawan yang dulu dicari-cari oleh narasumber, sekarang wartawan yang dicari oleh narasumber karena terlalu banyaknya media sekarang. Apa yang perlu diketahui oleh wartawan baru adalah pentingnya wawasan dan jaringan, juga etika. Wawasan sendiri mencakup peraturan dan pengetahuan melalui hal yang diliput. Jaringan terbangun seiring proses. Tanpa tiga hal itu, seorang wartawan akan jatuh dengan sendirinya.
Bagaimana kaitan nilai-nilai tersebut dengan perkembangan teknologi yang pesat?

Jika kita punya pengetahuan yang tinggi, kita akan terintegrasi dengan perkembangan teknologi. Karena kita punya wawasan, kita mengetahui teknologi. Kita manfaatkan teknologi yang ada untuk menciptakan hasil yang cepat dan baik, seperti pemanfaatan Skype atau kualitas kamera yang baik. Di zaman mana kita berada, ikutilah arus zaman itu, walaupun kita harus mengetahui batas dan tidak asal mengikuti. 

Lukman Hanafi sedang menjelaskan prosedur pembuatan berita di media televisi dalam wawancara mengenai pengalamannya di dunia kewartawanan dan hidup media di tengah perkembangan teknologi. Wawancara berlangsung di gedung iNews, komplek MNC Tower, Kebon Sirih, Jakarta Pusat (29/4). 

Dosen Pendidikan Seni Musik Universitas Negeri Jakarta, Hery Budiawan: Berkarya adalah Kemauan untuk Berbuat

Kreativitas generasi muda Indonesia berkembang seiring perkembangan teknologi yang melesat. Berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi melahirkan generasi muda kreatif dengan berbagai bentuk karya. Karya seni tidak lagi terbatas pada karya tangan, tapi juga dalam rupa keberagaman produk digital. Tak jarang pula, ragam karya digital menjadi andalan generasi muda dalam meraup keuntungan.
            Tidak bisa dipungkiri bahwa maraknya perkembangan teknologi yang melesat merupakan produk dari globalisasi. Berkat globalisasi, Indonesia tidak buta akan kemajuan dan berbagai kemudahan yang dibawa pada kehidupan manusia. Sebagaimana definisi dari globalisasi (mendunia), segala sesuatu adalah sangat mungkin untuk didengar dan dilihat oleh sisi dunia yang berbeda sekali pun terpisah jarak jauh.
            Terlepas dari aspek mendunia, globalisasi pula melahirkan berbagai produk dari perkembangan teknologi yang pesat. Produk teknologi di suatu negara dapat dengan mudah dikenal dan digunakan oleh sisi bumi yang lain. Produk-produk tersebut melahirkan berbagai kemudahan serta buah digital dari kreativitas manusia. Komputerisasi yang waktu demi waktu tidak terhambat oleh kendala kapabilitas manusia menciptakan generasi yang akrab dengan induk dan produk digital.
            Dengan keberadaan aset dan produk digital, manusia semakin dimudahkan dalam menciptakan berbagai produk kreatif. Dengan keberadaan komputer dan berbagai aplikasi dengan beragam fasilitas, manusia dapat menciptakan karya seni gambar, audio-visual, bahkan musik hanya dengan mengandalkan komputer.
            Tak hanya kemudahan dalam menciptakan produk kreativitas, kemudahan pula hadir dalam rupa publikasi melalui media sosial. Terlebih perlu kita pahami bahwa globalisasi menciptakan berbagai media sosial dan media komunikasi yang membuat manusia dapat dengan mudah berinteraksi walaupun terpisahkan oleh jarak yang jauh.
Tak hanya manfaat dalam komunikasi, manfaat juga dirasakan dalam berbagai kemudahan publikasi. Suatu karya berupa foto, gambar, video, ataupun musik dapat dengan mudah dipublikasi dan diperkenalkan kepada orang banyak melalui media sosial. Dengan begitu, tidak hanya karya yang diperkenalkan pada dunia, tapi juga siapa yang menciptakan karya tersebut. Dengan kondisi tersebut, sering kali kita menjadi sulit untuk membedakan mana orang yang kreatif dan mana orang yang cerdik dalam memanfaatkan media sosial. Sering kali pula kita menjadi sulit untuk membedakan pengguna dan pembuat.
Terlepas dari melesatnya kreativitas generasi muda, budaya Indonesia yang tidak kalah kaya akan nilai seni belum menjadi kiblat. Karya digital melalui berbagai media sosial seolah-olah memiliki daya tarik lebih tinggi daripada kesenian Indonesia, melahirkan generasi pengguna, bukan pembuat.
Hery Budiawan Dosen Pendidikan Seni Musik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menyampaikan berbagai pandangannya terhadap perkembangan kreatifitas generasi muda Indonesia dalam wawancara yang dilakukan pada Kamis, 13 April 2017. Dalam wawancara tersebut, Hery Budiawan menyatakan bahwa kemauan untuk berkarya adalah dasar dari berkembangnya kreatifitas generasi muda Indonesia. Terlepas dari kemauan, kepedulian generasi muda akan budaya Indonesia pula menjadi kunci dari berkembangnya kesenian Indonesia.
Dalam wawancara tersebut pula, Hery Budiawan menjelaskan berbagai pandangannya mengenai makna dari kreatif. Bagi beliau, tidak selalu memanfaatkan kemajuan teknologi dan media sosial dapat dikatakan kreatif. Ada kalanya, kita perlu mengapresiasi kreativitas dengan mampu memebedakan antara pengguna dengan pembuat. Kreatif bagi Hery Budiawan adalah bagaimana seseorang mampu menciptakan sebuah karya.

***

Menurut Anda, bagaimana kondisi generasi muda Indonesia bila dikaitkan dengan kreativitas yang semakin berwarna?
Kalau melihat kondisi saat ini kreativitas yang beragam hanya beberapa persen generasi muda yang kreatif (creator), sebagian lagi masih bertaraf pengguna bahkan masih banyak juga yang sekedar ikut-ikutan (nge-trend) Seseorang bisa dikatakan kreatif kalau dia membuat bukan menggunakan. Sebagai contoh go-jek, grab, goruku, aplikasi yang sangat baik dan mereka yang membuat berhasil membuka lapakan kerja baru, tapi sebagian besar hanya pengguna bukan pembuat jadi tidak bisa dikatakan generasi yang kreatif.
Menurut Anda, faktor apa yang paling kuat dalam mendorong perkembangan kreativitas?
Yang paling besar mempengaruhi dunia kteativitas adalah kebutuhan ekonomi. Semua creator mempunyai visi yang sama yaitu kesejahterahan ekonomi mereka. Mungkin ada beberapa factor pendukung seperti kurangnya lapangan pekerjaan, ingin di sebut sebagai visioner dan sebagainya, hal itu terjadi disegala bidang.
Media sosial menjadi ladang kreativitas generasi muda (contoh: video-video kreatif di Instagram). Menurutu Anda, adakah kaitan yang erat antara perkembangan teknologi dengan perkembangan kreativitas generasi muda?
Pemanfaatan teknologi sebagai suplemen kreatifitas saat ini pun masih belum dirambah dan dimanfaaatkan secara baik, kembali pada jawaban saya dipertanyaan pertama, hanya sebagaian kecil yang mempunyai hubungan erat antara kreatifitas dan teknologi. Video di media sosial hanya sebagai bentuk pemanfaatan applikasi yang dibuat, justru yang sangat kreatif orang yang membuat applikasi tersebut. Ranah konsumtif di Indonesia sangat tinggi. Keuntungan dari perkembangan teknologi yang ada dengan kreatifitas saat ini lebih mengacu pada sifat eksistensi (keberadaan) belum sepenuhnya teknologi dimanfaatkan sebagai media yang mempunyai hubungan erat antara creator dan teknologi.
Bila dikaitkan dengan kondisi sosial, adakah situasi tertentu yang mendorong berkembangnya kreativitas generasi muda?
Sangat, kondisi sosial pada masyarakat Indonesia adalah ekonomi yang lebih pada kebutuhan hidup mereka, persaingan di dunia lapangan pekerjaan juga salah satu factor munculnya kreatifitas generasi muda.
Adakah perbedaan yang mencolok dari bentuk-bentuk kreativitas generasi muda dari masa ke masa?
Secara umum sama saja, hanya dalam 10 tahun terakhir ini sang creator dapat menginformasikan hasil kreasi mereka pada khalayak umum dikarenakan kemajuan teknologi, mungkin perbedaan yang mencolok masalah kreatifitas dari masa ke masa hanyalah bentuk informasi kretifitas itu sendiri. Selebihnya secara ide, mereka mempunyai keunikan khusus pada setiap dekadenya.
Dalam pandangan Anda, dalam bidang apa kreativitas generasi muda paling menonjol?
Saat ini sangat banyak generasi muda yang lebih mengedepankan kewirausahaan mereka di kuliner, fashion, dan seni. Ketiga bidang itu sangat kuat saat ini yang dilakukan generasi muda. Namun untuk seni tujuan utama sang creator tidak melulu berurusan dengan ekonomi, kepuasan adalah tujuan utama dari sang creator seni.
Sebagaimmana yang dipaparkan dalam koran Pikiran Rakyat edisi 8 April 2017, wadah bagii para pegiat kreatif seperti Bandung Creative Hub (BCH) telah banyak dibangun. Menurut Anda, adakah latar belakang tertentu yang melatarbelakangi dibuatnya creative centre?
Dibuatnya creative centre dimanapun kembali hanya bersifat mewadahi (fasilitas,relasi) dimana para pengiat bisa mendapatkan fasilitas serta membuka kerjasama dengan dunia luar mereka, tapi saya yakin ada syarat-syarat tertentu untuk masuk ke dalam creative centre, bila terjadi ada syarat tertentu missal: sudah terbentuk selama 3-5 tahun baru bisa masuk ke dalam wadah tersebut, lalu bagaimana creator yang idenya sangat baik namun ia baru memulai, apakah bisa diwadahi bila ada syarat tersebut?. Bisaanya dunia kreatif ada dan tidaknya wadah yang dibuat tidak mempengaruhi kreatifitas mereka kecuali yang mempunyai kreatifitas yang pas-pasan.
Di Indonesia, banyak fasilitas kesenian tidak dimanfaatkan sebagaimana yang diharapkan. Dapat kita lihat bahwa galeri-galeri seni di Jakarta tidak banyak dijadikan tujuan utama vakansi generasi muda. Menurut Anda, apa yang menyebabkan masih rendahnya antusiasme generasi muda terhadap kesenian, terlebih kesenian budaya Indonesia?
Rendahnya kreatifitas pada bidang seni terjadi karena seni bukan ilmu yang mudah, keterbatasan ide, ilmu pada bidang seni adalah salah satu penghabat pada dunia kreati dibidang seni. Kalau masalah kebuadayaan Indonesia sangat komplek sekali banyak factor yang mendorong sehingga kesenian Indonesia kurang diminati (ekonomi, relefansi,) dua hal yang sangat kuat sehingga kurang diminatinya kesenian Indonesia, namun bagi creator seni justru sebagai pemicu berkembangnya seni di Indonesia. Teknologi juga sangat mempengaruhi antusias kepada seni di Indonesia, informasi yang didapat dari teknologi membuat para generasi muda menutup diri untuk mengenal budayanya sendiri. Sebagai contoh. Saat ini siapapun yang kumpul lebih dari 2 orang kebiasaan yang dilakukan dengan bermain handphone pintar, padahal budaya Indonesia komunikasi, ide, dan hal yang lainnya terjadi pada tataran konunikasi saat berkumpul.
Seiring perkembangan teknologi yang pesat, banyak generasi muda Indonesia lebih tertarik pada kreativitas digital daripada budaya Indonesia. Bagaimana pandangan Anda?
Tidak masalah, pemanfaatan teknologi kalau itu untuk memperkenalkan budaya dan mengembangkan budaya Indonesia itu jauh lebih baik, namun yang terjadi sebaliknya, hadirnya teknologi pada saat ini justru membutakan mereka tentang budaya Indonesia, hanya sebagian yang memanfaatkan hal tersebut, kembali saya utarakan ranah teknologi di Indonesia baru pada taraf pemanfaatan bukan taraf penciptaan.


Menurut Anda, mungkinkah kreativitas digital menjadi wadah bagi perkembangan budaya bangsa?
Sangat mungkin, kalau generasi muda mulai peduli pada budaya. Manfaatkan teknologi sebagai media mencari apa itu Indonesia? Budaya Indonesia?. Bagaimana membuat itu terjadi, kembalikan kepada kepedulian warga Indonesia, Pemerintah, dan Undang-Undang Teknologi (UUITE)
Menurut Anda, apa yang dibutuhkan generasi muda Indonesia untuk dapat terus berkarya?

Yang paling utama dalam berkarya adalah mau berbuat, tanpa kemauan kreativitas dan karya tidak akan mungkin terjadi. Niat menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang kuat dan maju. Manfaatkan teknologi sebagai transportasi untuk berbuat nyata.

General Manager UMN Radio, Adrian Renardi : Jurnalistik Tidak Selalu Harus Idealis

“Peran media yang terpenting adalah jujur karena salah satu elemen dalam jurnalistik adalah loyalitas kepada khalayak. Kita garis bawahi kejujuran karena media adalah perwakilan dari khalayak. Media menciptakan informasi yang berguna bagi masyarakat, dengan kejujuran.” jelas Adrian Renardi tatkala memberikan pandangannya perihal jurnalistik sebagai jurusan yang beliau dalami di Universitas Media Nusantara.
            Adrian Renardi 20, tahun, memegang posisi General Manager di UMN Radio, sebuah organisasi di Universitas Multimedia Nusantara yang mewadahi sekaligus memfasilitasi mahasiswa yang ingin berkecimpung di dunia radio. Dengan berpikiran terbuka dan pengalamannya dalam dunia radio komunitas selama tiga tahun, Adrian Renardi beranggapan bahwa kehadiran media sosial sebagai hasil dari perkembangan teknologi tidak selalu menjadi ancaman bagi radio, tapi juga sebagai pendukung eksistensi radio. Bagi beliau, pelaku media tidak selalu harus menjunjung tinggi idealisme. Ada kalanya, pelaku media harus beradaptasi dengan arus perkembangan teknologi untuk mempertahankan nilai-nilai baik yang dimiliki radio, seperti akurasi dan loyalitas terhadap khalayak.
            Dalam perbincangan selama kurang lebih satu jam di Hi Up Coffee, Jalan Scientia Square Barat, Tangerang, Banten pada Sabtu, 1 April 2017, Adrian Renardi berbagi pandangan, pengalaman, serta harapannya perihal eksistensi radio yang mulai memudar di kalangan generasi muda masa kini, terkait dengan kehadiran media sosial yang merebut perhatian generasi muda dan berpotensi membunuh radio.

Sudah berapa lama menjadi General Manager di UMN Radio?
Efektif sejak Januari, semenjak serah terima jabatan. Tapi gue udah mulai ngerancang strategi untuk generasi ini, gue pegang generasi keenam sudah sekitar dari bulan November. General manager yang sebelumnya ngasih mandat untuk gue buat struktur, rencana, sistem, dan proker yang rampung bulan Januari. Jadi, efektifnya baru tiga bulan.
Apakah Kak Adrian berpartisipasi di UMN Radio semenjak baru masuk kuliah?
Benar. Dari gue tahun pertama kuliah, di kampus gue ada sistem Open Recruitment. Gue daftar, Puji Tuhan keterima sebagai music director dan kerja selama dua tahun. Tahun ketiga, baru dipercaya sebagai general manager.
Awal mula masuk ke UMN Radio, apakah karena kecintaan pada radio, atau karena melihat keaktifan dunia radio di UMN?
Sebenarnya dari awal gue demen dengar radio sih, sejak SMP. Kebanyakan radio Bandung seperti Ardan dan Ninetyniners. Masuk UMN pun awalnya enggak ada niatan untuk masuk ke radio. Memang awalnya sempat cari tahu kegiatan-kegiatan mahasiswa di UMN, seperti UMN Broadcaster, tapi enggak kepikiran untuk masuk media kampus. Ternyata open recruitment UMN Radio waktu masih jadi mahasiswa baru membuat gue penasaran ingin berkecimpung di dunia radio. Awalnya coba-coba, ternyata sampai sekarang jadi semakin suka.
Bisa disimpulkan, memulai dunia radio karena sejak awal sudah kenal dan sering mendengarkan radio ya, Kak?
Mendengarkan doang awalnya, belum tahu bagaimana di dalamnya seperti divisi, operasional, sampai aturan-aturan siaran yang baru gue tahu setelah gue masuk UMN Radio. Jadi sebenarnya UMN Radio adalah tempat yang membuat gue belajar banyak.
Di generasi muda sekarang, tidak banyak yang masih mendengarkan radio. Media sosial dianggap lebih menarik.
Sebenarnya, daya jual radio adalah lagu. Konten siaran radionya sendiri menjadi nomor dua. Sementara keberadaan Youtube, Joox, dan Spotify (aplikasi online untuk mengakses musik) secara gak langsung membunuh radio. Penurunan jumlah pendengarnya drastis.
Di luar daya jual radio berupa entertainment, bagaimana pandangan Kak Adrian mengenai konten jurnalistik dalam dunia radio?
Menurut gue, radio khusus berita masih memiliki peran yang jelas. Seperti Radio Elshinta, dari zaman dulu gue dengar Radio Elshinta sampai sekarang, konsep dan formatnya masih sama. Dari segi jurnalistik, radio masih efektif. Misalnya untuk mereka yang sering kena macet di Jakarta, output radio berupa suara bikin mereka tahu berita cukup dengan mendengarkan. Intinya, jurnalistik dalam radio masih kena untuk masyarakat.
Adakah alasan atau ketertarikan tersendiri yang membuat Kak Adrian bertahan dalam dunia radio?
Sebenarnya sih awalnya benar-benar hanya ada basic senang mendengarkan. Kemudian karena coba-coba, gue justru semakin enjoy dan ingin explore lebih jauh. Bahkan karena coba-coba, jadi berniat untuk ke dunia radio terus. Berdasarkan pengalaman tiga tahun di UMN Radio, gue banyak belajar dan pembelajaran itu jadi satu hal menyenangkan buat gue.
Berarti antusiasme Kak Adrian baru terbentuk semenjak “kecemplung” ke dalam dunia radio itu sendiri.
Benar, karena awalnya gue pun belum mengenal sejauh itu. Tapi karena belajar dan lihat dari dalam, barulah gue memulai.
Dalam pandangan Kak Adrian, seberapa besar eksistensi UMN Radio bagi kehidupan mahasiswa di UMN?
UMN Radio lebih menarik antusiasnya mahasiswa dalam event off-air. Walaupun bentuknya radio komunitas, menarik khalayaknya justru sulit. Kebanyakan dari mereka cuma mendengarkan kalau memang mereka lagi pengen, bukan untuk teman bosan atau sumber informasi. Maka itu, target gue sekarang adalah membuat jumlah pendengar bertambah. Permasalahannya adalah di komunitasnya itu sendiri. Mereka cuma mendengar sekali-sekali, bukan sebagai pendengar setia.
Kalau masalahnya ada pada antusiasme khalayak, bukankah itu berkaitan dengan menurunnya antusiasme generasi muda masa kini pada dunia radio?
Justru itu yang harus dilawan. Walaupun basic-nya kita media elektronik, kita harus manfaatkan juga media sosial. Kita manfaatkan Instagram atau LINE@ karena kita melihat ketertarikan mahasiswa sekarang. Dari media sosial, khalayak diarahkan untuk mendengarkan radio. Itu upaya untuk menarik pendengar. Tapi kembali ke komunitasnya, apakah mereka menjadikan UMN Radio kebutuhan atau enggak. So far, memang belum jadi media andalan.
Untuk menarik antusiasme khalayak, program bagaimana yang diadakan oleh UMN Radio?
Lebih ke entertainment, tapi juga ada berita. Ultimafriends (sebutan untuk pendengar UMN Radio) bisa mendapatkan informasi dari sana. Beritanya bisa seputar Serpong, karena radionya adalah radio komunitas, bisa pula worldwide dan lokal. Entertainment sendiri lebih diunggulkan karena melihat minat pendengarnya, yang lebih suka konten yang cenderung enggak berat dan menghibur bagi mahasiswa.
Program apa saja yang diadakan oleh UMN Radio?
Dari program on-air, setiap tahun ada inovasi karena kami based on survey, melihat apa yang sebenarnya diinginkan oleh pendengar, yaitu entertainment. Setiap Senin sore, kami punya program tentang travelling supaya pendengar punya rencana ingin kemana saat weekend. Setiap Senin malam, kami punya program Sersan (Senin Rasa Santai) yang inginnya merubah pandangan bahwa Senin itu Monster Day, dengan pembawaan topik yang santai dan nyeleneh oleh dua orang cewek. Untuk Selasa, kami punya program What’s On Campus yang lebih mengarah ke informasi tentang kampus. Kami sering mengundang orang-orang penting di kampus, seperti orang hits, dosen, dan lain-lain. Untuk malam Selasa, kami punya Soda yang acaranya juga nyeleneh dan sering mengundang cewek hits di kampus. Itu salah satu strategi untuk menarik pendengar sih, karena tamunya pasti punya daya tarik dan followers yang banyak. Tamunya sering ngajak teman-temannya untuk dengerin radio. Untuk Rabu, kami punya program Ngomel yang ngomongin game. Rabu malam, kami punya Dekil yang segmentasinya penyuka jadul-jadul. Kamis, kami punya Pop Acoustic yang biasanya ngundang artis. Selama sebulan ini, kami udah ngundang Ecoutez untuk live di radio. Kamis malam, kami punya program Bilang Cinta karena cinta itu topik yang gak akan pernah mati, apa lagi buat generasi kita. Jumat siang, ada Friyay yang biasanya membahas film, tempat nongkrong, atau ngundang orang di luar musik. Malamnya, kami ada program untuk penyuka Korea. Untuk Sabtu, kami punya program Sabtu Siaran yang isinya chart top 20. Sementara untuk event off-air, kami punya annual event namanya Radio Active yang lebih menarik khalayak karena mereka bisa lihat live music dan ikut lomba-lomba. Lewat event ini juga kami meningkatkan awareness khalayak sama radio. Kami ngadain lomba-lomba dan ngundang artis untuk closing, seperti Barasuara dan Reality Club. Intinya, tujuan program-program on-air dan off-air kami adalah ngajak mahasiswa untuk dengerin radio.
Bagaimana pandangan Kak Adrian perihal radio yang mulai memudar di generasi kita bila dibandingkan dengan eksistensi media sosial?
Karena sekarang sudah era digital, semua serba praktis. Telfon, text, dengar lagu, semua bisa dalam satu device smart phone. Sebenarnya kehadiran media sosial bisa jadi ancaman sekaligus jadi support buat radio. Bisa jadi ancaman karena media sosial bisa membunuh radio. Di satu sisi lain, media sosial support radio karena dengan adanya teknologi, kita jadi punya fasilitas radio streaming, akun media sosial untuk media radio, sekaligus bisa narik followers. Lucunya, mereka lebih tau tentang radio dari media sosial daripada dari radionya sendiri. UMN Radio enggak begitu menganggap media sosial sebagai ancaman, tapi justru menganggap media sosial sebagai kesempatan untuk berkembang. Istilahnya, kita memperlebar sayap dengan aktif di berbagai bentuk media. Maka itu dalam pandangan gue, radio enggak akan pernah mati.
Keunggulan apa dari radio yang membuat Kak Adrian berpandangan bahwa radio akan terus bertahan?
Khusus untuk radio kampus, mahasiswa yang tinggal sendiri di kostan misalnya, butuh teman yaitu media. Media itu gak cuma media sosial, kok. Dengan media radio, mahasiswa bisa ditemani ngerjain tugas, yaitu dengan mendengarkan radio. Buat gue, radio adalah media yang paling praktis. Lo bisa sambil ngapa-ngapain dan masih dapat informasi, enggak seperti media sosial atau televisi yang harus dilihat langsung untuk dapat informasi. Radio mengandalkan auditori dan bikin kita menciptakan theatre of mind. Pendengar bisa lebih leluasa dalam menciptakan gambaran.
Salah satu karakteristik radio adalah “akrab”.
Benar, karena penyiar komunikasi secara satu arah. Kita gak pernah dengar penyiar bilang “buat kalian yang lagi di jalan”, tapi lebih menggunakan kata “kamu” atau “lo” untuk memberikan kesan intim. Ketika kita kesepian, kita dengerin radio, dari sanalah kita punya teman ngobrol. Buat gue pribadi, akan lebih senang kalau interaksinya secara auditori, seperti dalam radio.
Kenyataannya, generasi muda sekarang lebih senang media sosial karena lebih mudah dan serba praktis untuk diakses.
Itu enggak bisa dipungkiri. Seiring berjalannya waktu, dengan teknologi, segala sesuatu jadi lebih instan. Kenyataanya adalah sekarang radio berada di belakang media sosial. Mau atau enggak mau, kecintaan kita sama media sosial enggak bisa dipungkiri.
Mempertahankan eksistensi radio asalkan pelakunya cermat dalam memanfaakan kemajuan.
Benar, karena kita mengkondisikan radio sesuai dengan perkembangan teknologi. Jangan egois sebagai pelaku media cetak atau radio. Media cetak atau radio enggak akan bisa bertahan kalau enggak mau mengikuti dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Kita harus mau melihat apa yang diinginkan pasar. Kita enggak boleh terlalu idealis.
“Radio sebagai Pilar Kelima”. Bagaimana pandangan Kak Adrian?
Istilah itu muncul ketika radio punya dampak yang sangat besar, seperti momen Proklamasi yang diketahui banyak orang karena radio. Untuk sekarang, kalau disebut sebagai pilar kelima, gimana ya... sekarang berita itu bisa gampang diketahui banyak orang kalau mendapatkan banyak likes, share, atau view seperti di media sosial. Untuk penyebaran informasi, paling efektif media sosial. Tapi belum layak juga media sosial disebut sebagai pilar kelima. Untuk radio sebagai pilar kelima, balik lagi ke banyak atau enggaknya yang mendengarkan. Kalau enggak banyak, belum bisa disebut sebagai pilar kelima.
Berarti dalam pandangan Kak Adrian, radio sekarang tidak bisa disebut sebagai pilar kelima, tapi sama halnya dengan media sosial?
Benar, karena media sosial terlalu terbuka dan enggak jelas verifikasinya. Apa lagi, sekarang banyak sekali hoax. Hukum tentang media sosial belum rampung dan belum diatur dengan ketat. Efektif sih iya, tapi verifikasinya enggak terjamin. Berita di media sosial juga sering berat sebelah, seperti hate speech. Dalam hal ini, radio memiliki lisensi yang jelas dari pemerintah, sehingga bisa menyiarkan berita yang lebih akurat dan terverifikasi.
Berdasarkan yang paling disukai sampai paling tidak disukai sebagai pelaku media radio sekaligus pengguna media lain: Youtube, televisi, media sosial, media cetak, radio.
Pertama Youtube, karena konten-kontennya bagus dan gue bisa melihat konten mana yang bisa dipercaya dan mana yang enggak. Kedua, media sosial karena orang-orang sudah banyak menggunakan media sosial, bahkan media cetak dan radio pun sudah mengarah ke online. Ketiga radio, karena simple. Keempat TV. Media cetak terakhir, karena berupa fisik dan kalau sudah enggak kepake jadi sampah, walaupun sifatnya abadi dan bisa dibaca kapan saja. Tapi tetap saja, menurut gue media cetak paling bisa dipercaya.
Sebagai mahasiswa jurnalistik, dalam pandangan Kak Adrian, bagaimana peranan efektivitas radio dalam menyampaikan informasi kepada khalayak?
Untuk sekarang, enggak bisa dibilang paling efektif karena sekarang ada media sosial. Kecuali kalau kontennya menarik dan sempat diangkat atau diperkenalkan dari media sosial dulu. Radio bisa dibilang efektif karena mengandalkan auditori dan dirancang untuk didengarkan sambil melakukan aktivitas lain. Efektif atau enggak itu tergantung dari kebutuhan khalayak. Kalau ingin informasi mendalam, cari di media cetak. Kalau ingin informasi sekilas, cari di radio. Kalau ingin visual, cari di televisi. Tapi efektivitas juga harus dipertimbangkan dengan kecermatan khalayak, karena enggak semua yang efektif itu terverifikasi dengan baik.
Apa harapan Kak Adrian untuk UMN Radio ke depannya?
Yang pasti pendengarnya semakin banyak. Walaupun dulu pendengarnya sempat banyak, mempertahankan itu lebih sulit daripada mencapai. Tapi semoga juga kami selalu ada upaya untuk menciptakan sesuatu yang baru baru, yang sesuai dengan apa yang pendengarnya sukai. Semoga juga UMN Radio bisa jadi pilihan media utama buat mahasiswa UMN dan dipercaya sebagai media yang paling aktual dalam menyediakan informasi.
Apa harapan Kak Adrian untuk dunia radio di Indonesia? 
Pelaku radio harus mau melihat kemajuan teknologi, jangan pakai kaca mata kuda yang hanya melihat satu arah ke depan. Kita harus lihat kiri kanan, bagaimana karakteristik pasar sekarang. Apakah mereka ingin yang praktis atau segala macamnya, pelaku harus mau mengikuti. Media itu jangan terlalu tinggi idealisme, karena media ada untuk audience, bukan audience yang ada untuk media. Inovasi selalu ada, supaya radio selalu bisa menciptakan konten yang bisa dipercaya.




Foto: Vidya Pinandhita

Adrian Renardi berbagi pandangan, pengalaman, serta harapannya perihal eksistensi radio yang mulai memudar di kalangan generasi muda masa kini di Hi Up Coffee, Jalan Scientia Square Barat, Tangerang, Banten pada Sabtu, 1 April 2017.
 

Me and My Freaky-Diary Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review