Minggu, 18 Juni 2017

Kembali ke Peradaban

Sejak semalam, gue pulang ke peradaban Jakarta dan meninggalkan peradaban kabupaten Sumedang. Ujian akhir semester 2 gue selesai seminggu yang lalu. Gue memutuskan untuk gak langsung pulang ke Jakarta, melainkan berleha-leha dulu di Sumedang. Ini serius, gue kuliah di kabupaten Sumedang.

Hari demi hari, kost-an gue semakin gak berpenghuni. Satu demi satu mahasiswa pulang ke kampung halaman. Bersiap untuk beristirahat dan kembali bersender dalam hiruk pikuk hangatnya keluarga.

Sementara satu demi satu cabut, gue sibuk menikmati kesendirian di Bandung kabupaten Sumedang. Memang sih, gak begitu banyak juga kesibukan gue seminggu  terakhir ini. Terlepas dari kesibukan gue di hectic-nya kuliah, gue menyibukan diri dengan kegiatan yang... entahlah sebenarnya penting atau enggak untuk dikerjain. Tapi selama ke-sok-inisiatif-an gue bikin gue relax, kenapa enggak?

Seminggu terakhir ini gue isi dengan baca novel-novel yang sudah pernah gue baca sebelumnya, tidur, beres-beres kamar kost-an, eksperimen dengan bahan prakarya (yang tentunya hasilnya payah), dan... belajar?

Seminggu terakhir ini, gue bertemu dengan orang yang beda setiap harinya. Gak banyak sih yang kami lakukan, palingan sekedar ngobrol dan ngopi atau buka puasa bareng. Tapi terlepas dari gak-banyaknya hal yang kami lakukan, gue belajar banyak dari berbagai kisah yang mereka bagikan dan pandangan yang kami saling sampaikan satu sama lain.

Salah satu dari teman-teman yang gue temui seminggu terakhir kemarin, sebut saja namanya Ciki, secara gak sengaja ketemu gue gak jauh dari tempat gue nge-kost. Awalnya kami cuma makan malam bareng, sampai akhirnya obrolan kami kian mendalam dan berujung dengan makan martabak tengah malem dan menginap di kost-an gue.

Dari curhatan gue dan Ciki, gue belajar tentang perubahan.

Perubahan dan kedinamisan adalah bagian dari kehidupan, dan itu sudah jelas-jelas diterangin dalam sosiologi bahwa hidup manusia itu gak stagnan.

Gak usah munafik, semua orang berubah.

Simple-nya gini:
Lo putus dengan alasan pacar lo berubah, wajar karena kalau pacar lo gak pernah berubah, he/she's probably not a living thing. Hubungan lo dengan dia berubah, wajar karena kalau lo dan dia gak pernah berubah, you guys are probably not a living thing.

Ya, emang sih perubahan di kehidupan itu gak segampang itu untuk dihadapin.
Gue juga gak selalu bisa dengan gampang beradaptasi dengan perubahan.

Takut sama perubahan adalah alasan gue untuk stay di kost-an (tepatnya di kabupaten Sumedang) lebih lama. Setahun yang lalu, gue memutuskan untuk memulai hidup yang baru, berusaha setengah mati menjadi orang yang berbeda di tepat yang baru dengan orang-orang baru, dan tentunya jauh dari lingkungan gue yang lama. Susah, memang. Tapi waktu demi waktu, gue mulai menikmati berbagai perubahan di tempat baru gue.

Berubah itu pilihan, katanya.

Beberapa minggu pertama semenjak memulai kehidupan baru, that was pretty hard. Gimana enggak? Jauh dari rumah, patah hati dahsyat gara-gara drama romansa masa silam, berupaya setengah mampus buat survive hidup sendirian di tempat yang 180 derajat beda dengan lingkungan biasanya... I guess it was pretty hard for a dumb-human being yang belum pernah jauh-jauh dari rumah sebelumnya.

Tapi ternyata tinggal sendirian itu gak seburuk itu. Kamar kost-an gue... gak rapi-rapi banget sih. Isinya pun alakadarnya, sesuai kebutuhan gue aja. Tapi itu bukan masalah, kost-an gue memang dinikmati oleh gue sendiri. Dalam kata lain, Mama gue tidak akan menceramahi gue karena ketidakrapian kamar gue. Merdeka!

Kehidupan gue sehari-hari... lumayan gak membosankan. Walaupun uang gue gak banyak, gue tetap bisa menikmati berbagai keanjayan duniawi. Teman-teman gue asyik, ditambah tempat tinggal gue yang gak jauh dari kota Bandung, well, gimana gue gak bersenang-senang?

Gue sadar bahwa dengan kuliah jauh dari rumah, it means segala hal di hidup lo adalah tentang pilihan. Mau lo apakan waktu kosong lo, mau lo apakan tugas-tugas kuliah lo, mau lo apakan kamar lo, mau lo apakan duit lo, bahkan mau jadi orang kayak apa lo ke depannya, semua itu jadi pilihan lo sendiri. Tapi satu hal yang semua makhluk hidup harus tau: setiap pilihan punya resikonya sendiri.

Sambil melangkah di tempat tinggal baru dengan orang-orang baru, gue memilih untuk menjadi orang yang sepenuhnya berbeda. Lets say, berbeda dari diri gue yang gue kenal waktu SMA. It was rough at first. Gue memaksakan diri untuk menjadi tidak secengeng dulu, menjadi orang yang lebih terbuka dan membebaskan diri bergaul sama siapapun tanpa batasan dari siapapun, dan menjalani hidup tanpa khawatir akan masa depan. Gue gak mau takut pada siapapun dan apapun, gue gak ingin "dikuasai" apa pun, dan gak ingin menjadikan diri gue jadi "milik" siapa pun. Tujuannya sederhana tapi dramatis: supaya gak patah hati lagi. 

Gue harap gak patah hati lagi itu jadi resiko dari pilihan gue untuk berubah.

Awalnya, gue kira gue munafik karena gue menjadi orang yang... sepenuhnya pencitraan. Tapi semakin hari, gue semakin sadar bahwa perubahan gue adalah sebuah pilihan. Pilihan untuk menjadi orang yang mungkin lebih baik. Mungkin.

Semakin hari, gue semakin menikmati keputusan gue untuk berubah. Gue tidak lagi menangisi perubahan, gue tidak lagi mempertanyakan kenapa ini dan itu tidak lagi sama, gue tidak lagi membenci diri gue untuk patah hati yang sebenarnya sudah berlalu. Gue memaafkaan masa lalu. Gue bergerak. Gue menikmati perubahan yang ada. Gue suka tempat tinggal yang baru.

Sampai akhirnya gue harus pulang ke lingkungan yang lama untuk waktu yang gak sebentar. Gue harus kembali berhadapan dengan circle yang sudah gue tinggalkan untuk sementara waktu. Gue harus kembali diperhadapkan dengan kisah-kisah yang gue kira sudah usang.

Gue tahu benar bahwa menghadapi perubahan itu gak mudah. Gue tahu benar seberapa susahnya beraptasi dengan perubahan. Gue bahkan gak bisa membayangkan seberapa sulitnya gue kembali ke tempat lama, menghadapi orang-orang yang memerlakukan gue seperti gue adalah gue yang belum berubah.

Gue harus pulang. Gue gak siap, gue ingin tinggal di tempat tinggal baru lebih lama lagi. Gue gak siap berubah lagi.

Lah, jadi yang munafik siapa?

Kegundahan gue dan Ciki tentang perubahan berakhir dengan sebuah konklusi bahwa mau tidak mau, kita harus pulang. Tapi yang lebih penting dari harus pulang adalah... perubahan itu memang harus selalu ada. Seberapa besar ketakutan kita, seberapa kita siap menghadapi perubahan, perubahan-perubahan itu memang harus selalu ada. Perubahan itu bagian dari kehidupan. Kita berubah karena kita masih hidup.

Perubahan dan kedinamisan adalah bagian dari kehidupan, dan itu sudah jelas-jelas diterangin dalam sosiologi bahwa hidup manusia itu gak stagnan.

Gue sedang takut menghadapi perubahan selajutnya, sedangkan Ciki sedang berusaha untuk mengadakan sebuah perubahan. Kondisi kami gak sama, tapi kami sama-sama belajar tentang perubahan.

"There's no growing up without changes. There's no changes without lost. There's no lost without pain." Therefor, pain is a part of growing up, I guess? 

Mau gak mau, gue memang harus pulang. Gue gak bisa menghindari perubahan yang mungkin harus gue temui lagi ke depannya, terlepas dari bagaimana pun perubahannya. Sementara Ciki, mau gak mau harus mengambil keputusan untuk berubah,  bukan untuk menjadi orang yang bukan diri sendiri, tapi untuk menjadi orang yang lebih baik. Gak semua perubahan itu baik, tapi berubah adalah cara untuk menjadi orang yang lebih baik.

Gak mudah, memang. Tapi kalau berubah adalah cara untuk menjadi orang yang lebih kuat...

Sikat.

Beside, how bad can it be, sih?


Potret gue dan Ciki di toilet

1 komentar:

  1. VIDYAAAA! omg HAHAHAHA gue bacanya sambil terharu, seneng, bangga, campur aduk. We should have a deep talk again looh nanti! SAMPAI BERTEMU DI JATINANGOR.
    With Love,
    Orang yg disebut Ciki dalam postingan di atas <3

    BalasHapus

 

Me and My Freaky-Diary Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review