“Peran media yang terpenting adalah jujur karena
salah satu elemen dalam jurnalistik adalah loyalitas kepada khalayak. Kita
garis bawahi kejujuran karena media adalah perwakilan dari khalayak. Media
menciptakan informasi yang berguna bagi masyarakat, dengan kejujuran.” jelas
Adrian Renardi tatkala memberikan pandangannya perihal jurnalistik sebagai
jurusan yang beliau dalami di Universitas Media Nusantara.
Adrian
Renardi 20, tahun, memegang posisi General
Manager di UMN Radio, sebuah
organisasi di Universitas Multimedia Nusantara yang mewadahi sekaligus
memfasilitasi mahasiswa yang ingin berkecimpung di dunia radio. Dengan
berpikiran terbuka dan pengalamannya dalam dunia radio komunitas selama tiga
tahun, Adrian Renardi beranggapan bahwa kehadiran media sosial sebagai hasil
dari perkembangan teknologi tidak selalu menjadi ancaman bagi radio, tapi juga
sebagai pendukung eksistensi radio. Bagi beliau, pelaku media tidak selalu
harus menjunjung tinggi idealisme. Ada kalanya, pelaku media harus beradaptasi
dengan arus perkembangan teknologi untuk mempertahankan nilai-nilai baik yang
dimiliki radio, seperti akurasi dan loyalitas terhadap khalayak.
Dalam
perbincangan selama kurang lebih satu jam di Hi Up Coffee, Jalan Scientia Square Barat, Tangerang, Banten pada
Sabtu, 1 April 2017, Adrian Renardi berbagi pandangan, pengalaman, serta
harapannya perihal eksistensi radio yang mulai memudar di kalangan generasi
muda masa kini, terkait dengan kehadiran media sosial yang merebut perhatian
generasi muda dan berpotensi membunuh
radio.
Sudah
berapa lama menjadi General Manager di UMN
Radio?
Efektif sejak Januari, semenjak serah terima
jabatan. Tapi gue udah mulai
ngerancang strategi untuk generasi ini, gue pegang generasi keenam sudah
sekitar dari bulan November. General
manager yang sebelumnya ngasih mandat untuk gue buat struktur, rencana, sistem, dan proker yang rampung bulan
Januari. Jadi, efektifnya baru tiga bulan.
Apakah
Kak Adrian berpartisipasi di UMN
Radio semenjak baru masuk kuliah?
Benar. Dari gue
tahun pertama kuliah, di kampus gue
ada sistem Open Recruitment. Gue daftar, Puji Tuhan keterima sebagai music director dan kerja selama dua
tahun. Tahun ketiga, baru dipercaya sebagai general
manager.
Awal
mula masuk ke UMN
Radio, apakah karena kecintaan pada
radio, atau karena melihat keaktifan dunia radio di UMN?
Sebenarnya dari awal gue demen dengar radio sih, sejak SMP. Kebanyakan radio Bandung
seperti Ardan dan Ninetyniners. Masuk UMN pun awalnya enggak
ada niatan untuk masuk ke radio. Memang awalnya sempat cari tahu
kegiatan-kegiatan mahasiswa di UMN, seperti UMN
Broadcaster, tapi enggak kepikiran untuk masuk media kampus. Ternyata open recruitment UMN Radio waktu masih
jadi mahasiswa baru membuat gue
penasaran ingin berkecimpung di dunia radio. Awalnya coba-coba, ternyata sampai
sekarang jadi semakin suka.
Bisa
disimpulkan, memulai dunia radio karena sejak awal sudah kenal dan sering
mendengarkan radio ya, Kak?
Mendengarkan doang
awalnya, belum tahu bagaimana di dalamnya seperti divisi, operasional, sampai
aturan-aturan siaran yang baru gue tahu setelah gue masuk UMN Radio. Jadi sebenarnya UMN
Radio adalah tempat yang membuat gue belajar banyak.
Di
generasi muda sekarang, tidak banyak yang masih mendengarkan radio. Media
sosial dianggap lebih menarik.
Sebenarnya, daya jual radio adalah lagu. Konten siaran
radionya sendiri menjadi nomor dua. Sementara keberadaan Youtube, Joox, dan Spotify
(aplikasi online untuk mengakses
musik) secara gak langsung membunuh radio. Penurunan jumlah pendengarnya
drastis.
Di
luar daya jual radio berupa entertainment, bagaimana pandangan Kak Adrian mengenai
konten jurnalistik dalam dunia radio?
Menurut gue,
radio khusus berita masih memiliki peran yang jelas. Seperti Radio Elshinta, dari zaman dulu gue
dengar Radio Elshinta sampai
sekarang, konsep dan formatnya masih sama. Dari segi jurnalistik, radio masih
efektif. Misalnya untuk mereka yang sering kena macet di Jakarta, output radio berupa suara bikin mereka tahu berita cukup dengan
mendengarkan. Intinya, jurnalistik dalam radio masih kena untuk masyarakat.
Adakah
alasan atau ketertarikan tersendiri yang membuat Kak Adrian bertahan dalam
dunia radio?
Sebenarnya sih
awalnya benar-benar hanya ada basic
senang mendengarkan. Kemudian karena coba-coba, gue justru semakin enjoy
dan ingin explore lebih jauh. Bahkan
karena coba-coba, jadi berniat untuk ke dunia radio terus. Berdasarkan
pengalaman tiga tahun di UMN Radio, gue banyak belajar dan pembelajaran itu
jadi satu hal menyenangkan buat gue.
Berarti
antusiasme Kak Adrian baru terbentuk semenjak “kecemplung” ke dalam dunia radio
itu sendiri.
Benar, karena awalnya gue pun belum mengenal sejauh itu. Tapi karena belajar dan lihat
dari dalam, barulah gue memulai.
Dalam
pandangan Kak Adrian, seberapa besar eksistensi UMN Radio bagi kehidupan
mahasiswa di UMN?
UMN Radio
lebih menarik antusiasnya mahasiswa dalam event
off-air. Walaupun bentuknya radio komunitas, menarik khalayaknya justru
sulit. Kebanyakan dari mereka cuma mendengarkan kalau memang mereka lagi pengen, bukan untuk teman bosan atau
sumber informasi. Maka itu, target gue sekarang adalah membuat jumlah pendengar
bertambah. Permasalahannya adalah di komunitasnya itu sendiri. Mereka cuma
mendengar sekali-sekali, bukan sebagai pendengar setia.
Kalau
masalahnya ada pada antusiasme khalayak, bukankah itu berkaitan dengan
menurunnya antusiasme generasi muda masa kini pada dunia radio?
Justru itu yang harus dilawan. Walaupun basic-nya kita media elektronik, kita
harus manfaatkan juga media sosial. Kita manfaatkan Instagram atau LINE@
karena kita melihat ketertarikan mahasiswa sekarang. Dari media sosial,
khalayak diarahkan untuk mendengarkan radio. Itu upaya untuk menarik pendengar.
Tapi kembali ke komunitasnya, apakah mereka menjadikan UMN Radio kebutuhan atau enggak.
So far, memang belum jadi media
andalan.
Untuk
menarik antusiasme khalayak, program bagaimana yang diadakan oleh UMN Radio?
Lebih ke entertainment,
tapi juga ada berita. Ultimafriends
(sebutan untuk pendengar UMN Radio)
bisa mendapatkan informasi dari sana. Beritanya bisa seputar Serpong, karena
radionya adalah radio komunitas, bisa pula worldwide
dan lokal. Entertainment sendiri
lebih diunggulkan karena melihat minat pendengarnya, yang lebih suka konten
yang cenderung enggak berat dan
menghibur bagi mahasiswa.
Program
apa saja yang diadakan oleh UMN Radio?
Dari program on-air,
setiap tahun ada inovasi karena kami based
on survey, melihat apa yang sebenarnya diinginkan oleh pendengar, yaitu entertainment. Setiap Senin sore, kami
punya program tentang travelling
supaya pendengar punya rencana ingin kemana saat weekend. Setiap Senin malam, kami punya program Sersan (Senin Rasa Santai) yang inginnya merubah pandangan bahwa Senin itu Monster Day, dengan pembawaan topik yang
santai dan nyeleneh oleh dua orang cewek. Untuk Selasa, kami punya program What’s On Campus yang lebih mengarah ke
informasi tentang kampus. Kami sering mengundang orang-orang penting di kampus,
seperti orang hits, dosen, dan
lain-lain. Untuk malam Selasa, kami punya Soda
yang acaranya juga nyeleneh dan
sering mengundang cewek hits di kampus. Itu salah satu strategi untuk menarik
pendengar sih, karena tamunya pasti
punya daya tarik dan followers yang
banyak. Tamunya sering ngajak teman-temannya untuk dengerin radio. Untuk Rabu,
kami punya program Ngomel yang
ngomongin game. Rabu malam, kami punya Dekil
yang segmentasinya penyuka jadul-jadul. Kamis, kami punya Pop Acoustic yang biasanya ngundang artis. Selama sebulan ini, kami
udah ngundang Ecoutez untuk live di radio. Kamis malam, kami punya
program Bilang Cinta karena cinta itu
topik yang gak akan pernah mati, apa lagi buat generasi kita. Jumat siang, ada Friyay yang biasanya membahas film,
tempat nongkrong, atau ngundang orang
di luar musik. Malamnya, kami ada program untuk penyuka Korea. Untuk Sabtu,
kami punya program Sabtu Siaran yang
isinya chart top 20. Sementara untuk event
off-air, kami punya annual event
namanya Radio Active yang lebih
menarik khalayak karena mereka bisa lihat live
music dan ikut lomba-lomba. Lewat event
ini juga kami meningkatkan awareness
khalayak sama radio. Kami ngadain lomba-lomba dan ngundang artis untuk closing, seperti Barasuara dan Reality Club.
Intinya, tujuan program-program on-air dan
off-air kami adalah ngajak mahasiswa
untuk dengerin radio.
Bagaimana
pandangan Kak Adrian perihal radio yang mulai memudar di generasi kita bila
dibandingkan dengan eksistensi media sosial?
Karena sekarang sudah era digital, semua serba
praktis. Telfon, text, dengar lagu,
semua bisa dalam satu device smart phone.
Sebenarnya kehadiran media sosial bisa jadi ancaman sekaligus jadi support buat radio. Bisa jadi ancaman
karena media sosial bisa membunuh radio. Di satu sisi lain, media sosial support radio karena dengan adanya
teknologi, kita jadi punya fasilitas radio
streaming, akun media sosial untuk media radio, sekaligus bisa narik followers. Lucunya, mereka lebih tau
tentang radio dari media sosial daripada dari radionya sendiri. UMN Radio enggak begitu menganggap media sosial sebagai ancaman, tapi justru
menganggap media sosial sebagai kesempatan untuk berkembang. Istilahnya, kita
memperlebar sayap dengan aktif di berbagai bentuk media. Maka itu dalam
pandangan gue, radio enggak akan pernah mati.
Keunggulan
apa dari radio yang membuat Kak Adrian berpandangan bahwa radio akan terus
bertahan?
Khusus untuk radio kampus, mahasiswa yang tinggal
sendiri di kostan misalnya, butuh teman yaitu media. Media itu gak cuma media
sosial, kok. Dengan media radio,
mahasiswa bisa ditemani ngerjain
tugas, yaitu dengan mendengarkan radio. Buat gue, radio adalah media yang paling praktis. Lo bisa sambil ngapa-ngapain dan masih dapat informasi, enggak
seperti media sosial atau televisi yang harus dilihat langsung untuk dapat
informasi. Radio mengandalkan auditori dan bikin kita menciptakan theatre of mind. Pendengar bisa lebih
leluasa dalam menciptakan gambaran.
Salah
satu karakteristik radio adalah “akrab”.
Benar, karena penyiar komunikasi secara satu arah.
Kita gak pernah dengar penyiar bilang “buat kalian yang lagi di jalan”, tapi
lebih menggunakan kata “kamu” atau “lo” untuk memberikan kesan intim. Ketika
kita kesepian, kita dengerin radio, dari sanalah kita punya teman ngobrol. Buat
gue pribadi, akan lebih senang kalau
interaksinya secara auditori, seperti dalam radio.
Kenyataannya,
generasi muda sekarang lebih senang media sosial karena lebih mudah dan serba
praktis untuk diakses.
Itu enggak
bisa dipungkiri. Seiring berjalannya waktu, dengan teknologi, segala sesuatu
jadi lebih instan. Kenyataanya adalah sekarang radio berada di belakang media
sosial. Mau atau enggak mau,
kecintaan kita sama media sosial enggak bisa dipungkiri.
Mempertahankan
eksistensi radio asalkan pelakunya cermat dalam memanfaakan kemajuan.
Benar, karena kita mengkondisikan radio sesuai
dengan perkembangan teknologi. Jangan egois sebagai pelaku media cetak atau
radio. Media cetak atau radio enggak akan bisa bertahan kalau enggak mau
mengikuti dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Kita harus mau melihat
apa yang diinginkan pasar. Kita enggak boleh terlalu idealis.
“Radio
sebagai Pilar Kelima”. Bagaimana pandangan Kak Adrian?
Istilah itu muncul ketika radio punya dampak yang
sangat besar, seperti momen Proklamasi
yang diketahui banyak orang karena radio. Untuk sekarang, kalau disebut sebagai
pilar kelima, gimana ya... sekarang
berita itu bisa gampang diketahui banyak orang kalau mendapatkan banyak likes, share, atau view seperti
di media sosial. Untuk penyebaran informasi, paling efektif media sosial. Tapi
belum layak juga media sosial disebut sebagai pilar kelima. Untuk radio sebagai
pilar kelima, balik lagi ke banyak atau enggaknya yang mendengarkan. Kalau enggak
banyak, belum bisa disebut sebagai pilar kelima.
Berarti
dalam pandangan Kak Adrian, radio sekarang tidak bisa disebut sebagai pilar
kelima, tapi sama halnya dengan media sosial?
Benar, karena media sosial terlalu terbuka dan enggak jelas verifikasinya. Apa lagi,
sekarang banyak sekali hoax. Hukum
tentang media sosial belum rampung dan belum diatur dengan ketat. Efektif sih iya, tapi verifikasinya enggak terjamin. Berita di media sosial
juga sering berat sebelah, seperti hate
speech. Dalam hal ini, radio memiliki lisensi yang jelas dari pemerintah,
sehingga bisa menyiarkan berita yang lebih akurat dan terverifikasi.
Berdasarkan
yang paling disukai sampai paling tidak disukai sebagai pelaku media radio
sekaligus pengguna media lain: Youtube, televisi, media sosial, media cetak,
radio.
Pertama Youtube,
karena konten-kontennya bagus dan gue
bisa melihat konten mana yang bisa dipercaya dan mana yang enggak. Kedua, media sosial karena orang-orang sudah banyak
menggunakan media sosial, bahkan media cetak dan radio pun sudah mengarah ke online. Ketiga radio, karena simple. Keempat TV. Media cetak
terakhir, karena berupa fisik dan kalau sudah enggak kepake jadi sampah,
walaupun sifatnya abadi dan bisa dibaca kapan saja. Tapi tetap saja, menurut gue media cetak paling bisa dipercaya.
Sebagai
mahasiswa jurnalistik, dalam pandangan Kak Adrian, bagaimana peranan
efektivitas radio dalam menyampaikan informasi kepada khalayak?
Untuk sekarang, enggak
bisa dibilang paling efektif karena sekarang ada media sosial. Kecuali kalau
kontennya menarik dan sempat diangkat atau diperkenalkan dari media sosial
dulu. Radio bisa dibilang efektif karena mengandalkan auditori dan dirancang untuk
didengarkan sambil melakukan aktivitas lain. Efektif atau enggak itu tergantung dari kebutuhan khalayak. Kalau ingin
informasi mendalam, cari di media cetak. Kalau ingin informasi sekilas, cari di
radio. Kalau ingin visual, cari di televisi. Tapi efektivitas juga harus
dipertimbangkan dengan kecermatan khalayak, karena enggak semua yang efektif itu terverifikasi dengan baik.
Apa
harapan Kak Adrian untuk UMN Radio ke depannya?
Yang pasti pendengarnya semakin banyak. Walaupun
dulu pendengarnya sempat banyak, mempertahankan itu lebih sulit daripada
mencapai. Tapi semoga juga kami selalu ada upaya untuk menciptakan sesuatu yang
baru baru, yang sesuai dengan apa yang pendengarnya sukai. Semoga juga UMN Radio bisa jadi pilihan media utama
buat mahasiswa UMN dan dipercaya sebagai media yang paling aktual dalam
menyediakan informasi.
Apa
harapan Kak Adrian untuk dunia radio di Indonesia?
Pelaku radio harus mau melihat kemajuan teknologi,
jangan pakai kaca mata kuda yang hanya melihat satu arah ke depan. Kita harus
lihat kiri kanan, bagaimana karakteristik pasar sekarang. Apakah mereka ingin
yang praktis atau segala macamnya, pelaku harus mau mengikuti. Media itu jangan
terlalu tinggi idealisme, karena media ada untuk audience, bukan audience
yang ada untuk media. Inovasi selalu ada, supaya radio selalu bisa menciptakan
konten yang bisa dipercaya.
Foto: Vidya Pinandhita
Adrian Renardi berbagi pandangan, pengalaman, serta
harapannya perihal eksistensi radio yang mulai memudar di kalangan generasi
muda masa kini di Hi Up Coffee, Jalan
Scientia Square Barat, Tangerang, Banten pada Sabtu, 1 April 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar