Menjadi wartawan bukanlah suatu profesi yang mudah.
Tak hanya bertarung dengan berbagai tantangan di lapangan, wartawan di era
sekarang pula harus bertarung dalam arus perkembangan teknologi yang pesat.
Perkembangan teknologi yang diiringi dengan perubahan kehidupan dan kebutuhan
khalayak membuat wartawan harus turut beradaptasi, menyesuaikan diri dengan
perubahan rupa produk media untuk bertahan hidup.
Menyesuaikan
diri dengan berbagai perubahan tidaklah cukup dengan kefamilieran wartawan
terhadap berbagai produk teknologi. Untuk bertahan hidup, seorang wartawan
harus mampu menyeimbangkan luasnya wawasan, jaringan, dan senantiasa
mengedepankan etika. Tanpa ketiga nilai dasar tersebut, seorang wartawan tidak
akan bertahan hidup dalam melakukan adaptasi dengan perubahan zaman dan
teknologi. Dalam kata lain, wartawan dan peranannya akan terkalahkan oleh
produk perkembangan teknologi yang kian menyesuaikan diri dengan kebutuhan
manusia.
Lukman
Hanafi memegang tanggung jawab sebagai produser eksekutif iNews, sebuah stasiun televisi berita yang didirkan oleh Media Nusantara Citra, atau yang biasa
kita kenal dengan MNC Group semenjak
2015. Dalam wawancara yang dilakukan pada Sabtu, 29 April 2017 di gedung iNews, komplek MNC Tower, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Lukman Hanafi yang pula
pernah bekerja sebagai wartawan media cetak membagikan berbagai pengalamannya
seputar dunia kewartawanan dan media televisi.
Dalam wawancara tersebut, Lukman Hanafi memberikan
berbagai pandangannya mengenai nilai-nilai yang perlu dimiliki oleh jurnalis di
tengah perkembangan teknologi yang pesat serta bagaimana sebuah media harus
beradaptasi untuk bertahan hidup. Bagi Lukman Hanafi, perkembangan teknologi
bukanlah sesuatu yang harus dihindari oleh media dan tidak akan bisa dipungkiri
keberadaanya. Justru dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, dunia media
dan kewartawanan akan berkembang bila dihadapi dengan wawasan dan etika yang
dijunjung tinggi.
Bagaimana
awal mula Anda masuk ke dalam dunia kewartawanan?
Saya masuk media berawal dari daerah dan media cetak
lokal, kemudian melanjutkan bergabung ke TPI
(Televisi Pendidikan Indonesia).
Saya pertama berada di Banyumas, kemudian di Solo, Magelang, lalu akhirnya
Jakarta.
Mengapa
memilih untuk menjadi wartawan?
Karena senang saja, sih. Sekitar tahun 2000, pekerjaan ada banyak, namun terbayang
wartawan lebih menarik. Eranya beda untuk wartawan saat itu dengan sekarang.
Dulu banyak orang ingin menjadi wartawan karena bisa mengenal dan dekat dengan siapapun,
dalam kata lain sakti karena bisa
kemana-mana.
Anda
memulai perjalanan sebagai wartawan karena dasar suka membangun relasi dengan
orang atau karena dasar suka menulis?
Saya suka menulis dan suka keluyuran. Jadi wartawan kan keluyuran,
jadi banyak teman.
Anda
memulai karir sebagai wartawan tanpa latar belakang pendidikan jurnalisme,
melainkan ekonomi. Adakah kaitan tertentu antara bidang pendidikan yang
didalami dengan profesi wartawan?
Berkaitan sekali tidak, tidak berkaitan pun tidak
juga. Saya lebih dulu menjadi wartawan daripada menjadi sarjana. Awalnya karena
saking asyik keluyuran sana-sini,
jadi banyak tempat yang didatangi.
Adakah
pengaruh yang besar bagi Anda perihal latar belakang pendidikan yang bukan
jurnalisme dengan berjalannya profesi Anda sebagai wartawan?
Saya tidak bisa mengatakan karena saya sendiri tidak
tahu benar pendidikan jurnalismenya seperti apa. Tapi dari banyak teman atau
yang menjalankan PKL di sini, latar belakang pendidikan jurnalistik tetap
membantu meskipun kenyataannya antara teori dan praktek memiliki banyak
persamaan juga perbedaannya.
Sejauh
pengalaman dan pengamatan Anda, yang lebih penting adalah teori seperti di
perkuliahan atau pengalaman terjun langsng ke lapangan?
Kalau untuk menjadi seorang reporter, cenderung
lebih berguna langsung ke lapangan. Tapi kalau untuk menjadi seorang officer (jurnalis tapi officer), teori menjadi penting.
Walaupun begitu, menjadi officer
tanpa pengalaman di lapangan juga tidak bagus karena dia tidak akan bisa
menganalisa langsung keadaan di lapangan. Banyak lulusan jurnalistik yang
terpaku pada teori, namun saat dipraktikan susah karena apa yang kita temukan
di lapangan berbeda dengan apa yang kita temukan di lapangan. Keadaan di
lapangan selalu berubah, tapi teori begitu-begitu saja, terkecuali hal-hal
dasar seperti kode etik dan perundang-undangan. Hal-hal seperti teknik
mewawancara tidak akan didapatkan dengan kuliah bertahun-tahun bila tidak ada
praktiknya.
Terlepas
dari latar belakang teori atau praktik, nilai-nilai apa yang menurut Anda
penting untuk dimiliki oleh wartawan?
Yang jelas untuk menjadi seorang jurnalis yang baik,
nomor satunya adalah harus humble.
Ketika tidak humble, dia tidak akan
berhasil. Jurnalis bukanlah orang yang datang dan hanya abisa mewawancara
orang, tapi yang paling penting adalah bagaimana dia mengenal orang dan dikenal
orang. Jaringan adalah yang paling penting, walaupun bukan yang utama karena
jaringan yang luas tidak akan berguna bila dia (jurnalis) tidak mengembangkan
wawasan. Isu terbaru selalu bergerak, narasumber juga selalu berubah posisi.
Jaringan harus luas, tapi wawasan juga harus dikembangkan. Jangan sampai kita
(jurnalis) bertanya tentang hal yang sudah dijelaskan di hari sebelumnya.
Bagaimana
kunci dari membangun jaringan yang luas?
Pasti butuh proses. Orang-orang yang baru terjun ke
lapangan sebagai reporter cetak, televisi, atau radio memiliki cara yang sama,
yang membedakan adalah output-nya
berupa koran, online, dan suara.
Untuk membangun relasi sebenarnya memiliki cara yang sama, seperti dengan
datang langsung ke lokasi, terlebih untuk media televisi yang harus ditampilkan
dengan visual. Sesekali juga harus say
hello, terlebih untuk orang-orang penting. Jaringan terbangun tidak hanya
dengan sekedar kenal, tapi juga harus keep
in touch dalam maintenance. Kita
sebagai wartawan harus kenal, tidak hanya tahu.
Humble (rendah hati) adalah bagian dari etika.
Dalam pandangan Anda, adakah perbedaan dalam menjalankan kesesuaian etika
antara wartawan yang berbekal teori dengan yang hanya berbekal pengalaman di
lapangan?
Tidak, sih.
Itu sebenarnya bersifat umum, tapi persoalannya adalah kembali ke invididu.
Sifat individu sendiri yang terkadang tidak sesuai dengan etika yang diajarkan.
Etika adalah moral, dimanapun tempatnya seharusnya sama. Masalahnya adalah
bagaimana individu itu mengaplikasikan nilai moral tersebut.
Berkaitan
dengan etika wartawan dalam mendapatkan informasi mendalam dari terwawancara,
apakah dibenarkan bila wartawan menekan terwawancara untuk menjawab?
Hal seperti ini lebih termasuk teknik, bagaimana
wartawan harus mendapatkan informasi yang lebih banyak daripada penjelasan
narasumber tanpa membuat narasumber marah. Padahal bila narasumber kesal, itu
gawat. Saya tidak tahu apakah hal seperti itu dijelaskan dalam teori di
perkuliahan karena hampir semua yang pernah saya temui menjelakan bahwa
kemampuan teknik wawancara seperti itu dipengaruhi oleh pengalaman di lapangan
dan bakat seseorang. Tidak semua orang mampu menggali pembicaraan dengan orang
lain yang di luar perkiraan kita. Teknik dari orang (pewawancara) yang jago
memiliki cara pembawaan yang enak, juga ketertarikan narasumber terhadap
terwawancara, serta banyak faktor lain. Namun untuk menekan dan menjebak
narasumber, saya sarankan jangan karena hal seperti itu gambling dengan informasi yang didapatkan.
Dalam
mencapai verifikasi, dalam pandangan Anda, lebih penting mengutamakan
kenyamanan terwawancara atau kedalaman informasi?
Dua-duanya. Narasumber harus nyaman, informasi juga
harus mendalam. Jika kita mewawancarai A tentang hak angket tanpa mengetahui
dasar undang-undang atau kewenangan perihal hak angket, kita akan percaya saja
dengan jawaban narasumber. Sampai saat ini, saya sendiri tidak mengetahui
kebenaran dari informasi yang disampaikan di media mengenai kasus tersebut.
Kedaan tidak ter-update justru
mengganggu.
Menyeimbangkan
kenyamanan terwawancara dengan kedalaman informasi dilakukan dengan memperluas
wawasan jurnalis sendiri mengenai kasus yang diliput.
Betul, karena narasumber kadang tidak ditanya, namun
dengan argumen dari kita (jurnalis), dia (narasumber) akan terpancing untuk
menjawab dan kita jadi asyik dalam percakapan. Maka itu yang paling penting
adalah kita harus tahu dulu apa yang ingin kita cari. Jika kita datang tanpa
pengetahuan apa-apa, tidak akan bisa kita dapatkan informasi mendalam.
Berkaitan
dengan verifikasi, apakah dibenarkan bila jurnalis dikatakan berlawanan dengan
humas? Sementara humas membangun citra sebuah lembaga, jurnalis justru menggali
apa yang tidak terlihat oleh publik.
Tidak, karena pada dasarnya tidak ada yang
bertentangan. Hanya yang membedakan adalah humas lebih memuji, sementara media balancing. Artinya, kita (jurnalis)
tidak menghilangkan sesuatu, tapi mengkritik sesuatu yang perlu dikritik. Jika
tidak perlu dikritik, tidak perlu mengada-ada. Tidak ada humas yang kritis,
sementara media harus kritis. Namun dengan perbedaan, bukan berarti
bertentangan.
Di
tengah perkembangan teknologi yang pesat, generasi muda lebih suka mengakses
internet (Youtube) daripada televisi. Menurut Anda, berkaitan dengan keadaan
demikian, apakah kelebihan dan kekurangan tersendiri dari media televisi?
Yang jelas, dengan perkembangan media sosial semua
media harus berkembang. Imbas yang paling cepat adalah pada media cetak.
Walaupun begitu, televisi juga harus bertarung karena media sosial juga
memasang iklan, sementara hidup televisi adalah dari iklan. Kelebihan televisi
adalah sekarang, banyak orang mengakses konten televisi melalui gadget dan harus membayar kuota
internet. Di Indonesia, konten tersebut ditonton gratis bila ditonton melalui
televisi. Kedua, view di televisi
lebih besar dan lebih nyaman daripada di gadget.
Kekurangannya, televisi harus bertempur dalam hal kecepatan. Jangan sampai
kalah cepat untuk membuat berita di televisi, sementara di media sosial bisa
dengan cepat diberitakan. Walaupun begitu, televisi dan media sosial bukan
berarti bermusuhan, justru harus bergandengan. Media harus bertempur, tapi
tidak berseteru. Dunia media sosial harus dimanfaatkan betul oleh televisi
karena media sosial juga membantu informasi untuk televisi. Kita memantau Twitter untuk melihat perkembangan
informasi. Tapi yang pasti, informasi di televisi pasti terverifikasi,
kebenaran lebih terjamin karena bila salah bisa dituntut, tidak seperti di
media sosial yang sering tidak seimbang dan terpotong-potong. Intinya,
kelebihannya perihal akurasi, sementara kekurangannya adalah mengenai
kecepatan.
Di
media online, proses wawancara dan liputan dapat dilakan
dengan cepat seperti dengan wawancara melalui telepon. Di televisi, wartawan
harus hadir langsung di lapangan lokasi peliputan.
Sekarang tidak jauh beda peliputan untuk media online dan televisi karena terbantu oleh
gadget. Semua reporter, bahkan anak
muda, handphone-nya sudah smart phone yang bisa melakukan video call, itu yang menolong. Dulu
ketika saya awal bergabung dengan televisi di Banyumas, mengirim berita sangat
susah. Gambar harus direkam dengan kaset, dikirim dengan kereta, lalu naskahnya
saya kirim lewat fax. Tapi sekarang
karena perkembangan zaman, kita bisa melalui Skype, kemudian berita naik.
“Media
harus bertempur dengan online, tapi tidak berseteru”. Apakah itu cara untuk
mempertahankan keberadaan media cetak dan televisi?
Saya yakin koran suatu hari akan hilang dari dunia
media karena pertama koran harus dibeli. Kedua, beritanya basi karena hasil
liputan siang ini baru bisa dibaca besok pagi. Berbeda dengan media cetak
majalah, mungkin bisa bertahan. Membaca koran memang bagus dan isinya
terdokumentasi dan bisa disimpan, berbeda dengan televisi yang kontennya tidak
dapat disimpan dan mudah berubah.
Ketika
radio hadir, koran tidak mati. Ketika televisi hadir, radio dan televisi juga
tetap tidak mati.
Televisi lebih berat dari media cetak. Media cetak
menjual barang, sementara televisi hanya mengandalkan iklan, bukan menjual
produk berupa barang. Jika melihat realitas, sekarang televisi yang menggunakan
udara gratis saja berbalapan dengan online.
Apa lagi dengan media cetak?
Media
harus beradaptasi untuk bertahan hidup.
Pertama, harus beradaptasi. Kedua, harus bersubsidi.
Satu perusahaan media dengan berbagai bentuk output, mungkin bagian korannya defisit, namun televisinya surplus.
Ada beberapa perusahaan media yang hanya mempunyai koran sudah tutup.
Adaptasi
adalah ketika suatu badan perusahaan media memiliki berbagai bentuk output media.
Sebenarnya tidak juga, karena sebuah perusahaan juga
bisa beradaptasi dengan mengikuti kemajuan teknologi dan menyesuaikan diri
dengan kebutuhan audiens. Kompas awalnya hanya memproduksi koran, kemudian
beralih ke televisi juga kompas.com karena teknologi berkembang.
Bukankah
ada peraturan yang menegaskan perihal monopoli termasuk untuk perusahaan media?
Saya sempat mendengar bahwa sebuah perusahaan tidak
boleh memiliki lebih dari dua televisi. Namun buktinya, tidak ada peraturan
yang berjalan karena sampai sekarang, MNC
Group memiliki beberapa televisi.
Nilai
apa yang perlu diketahui oleh jurnalis masa kini melihat perkembangan teknologi
yang pesat?
Yang jelas, zaman sudah berbeda. Ketika zaman saya
dulu, menjadi wartawan televisi nasional adalah dalam tanda kutip seperti superman. Masyarakat butuh berita, dan
kita (wartawan) bertemu dengan banyak orang penting, seperti bupati yang ingin
menyampaikan suatu pesan melalui televisi. Namun sekarang berbeda, wartawan dan
media televisi berjumlah sangat banyak. Wartawan yang dulu dicari-cari oleh
narasumber, sekarang wartawan yang dicari oleh narasumber karena terlalu
banyaknya media sekarang. Apa yang perlu diketahui oleh wartawan baru adalah
pentingnya wawasan dan jaringan, juga etika. Wawasan sendiri mencakup peraturan
dan pengetahuan melalui hal yang diliput. Jaringan terbangun seiring proses.
Tanpa tiga hal itu, seorang wartawan akan jatuh dengan sendirinya.
Bagaimana
kaitan nilai-nilai tersebut dengan perkembangan teknologi yang pesat?
Jika kita punya pengetahuan yang tinggi, kita akan
terintegrasi dengan perkembangan teknologi. Karena kita punya wawasan, kita
mengetahui teknologi. Kita manfaatkan teknologi yang ada untuk menciptakan
hasil yang cepat dan baik, seperti pemanfaatan Skype atau kualitas kamera yang baik. Di zaman mana kita berada,
ikutilah arus zaman itu, walaupun kita harus mengetahui batas dan tidak asal
mengikuti.
Lukman Hanafi sedang menjelaskan prosedur pembuatan
berita di media televisi dalam wawancara mengenai pengalamannya di dunia
kewartawanan dan hidup media di tengah perkembangan teknologi. Wawancara
berlangsung di gedung iNews, komplek MNC Tower, Kebon Sirih, Jakarta Pusat
(29/4).