Gue sendiri nggak begitu tahu apa itu definisi dari patah hati yang sesungguhnya. Tapi gue sendiri mendefinisikan patah hati nggak hanya dengan putus cinta kisah asmara ABG labil, tapi juga tentang meninggalkan dan ditinggalkan oleh mereka yang kita kira bisa stay untuk waktu yang setidaknya lebih lama.
Nggak perlu ngejanjiin selamanya, tinggal lebih lama juga udah cukup.
Patah hati pertama gue terjadi waktu gue kelas 1 SD:
Waktu TK, gue bertemu dengan seorang teman sekelas namanya Nona. Parasnya manis sekali. Setiap hari rambut ikalnya diikat dua. Setiap hari juga dia bawa bekal enak dan nggak pernah pelit-pelit untuk bagi-bagi makanan.
Setiap hari gue dan Nona menghabiskan waktu bersama. Berhubung kami satu mobil antar-jemput, kami bareng-bareng dari baru berangkat sekolah sampai tiba di rumah masing-masing siang harinya. Rumah gue dan Nona beda komplek, tapi Popop gue sering kali mengantar-jemput gue ke rumah Nona untuk sekedar mampir dan makan siang bareng keluarga Nona.
Masuk SD, gue dan Nona pisah sekolah. Waktu itu, anak TK belum difasilitasi dengan alat teknologi komunikasi yang serba mudah. Popop gue menyimpan nomor orang tua Nona supaya kalau suatu hari gue kangen, gue bisa hubungin Nona kapan pun gue mau. Sayangnya beberapa kali gue mencoba menghubungi Nona, telepon gue nggak pernah diangkat begitu pula SMS gue nggak dibalas.
Suatu hari, gue pulang sekolah dan tiba di rumah dengan muka lusuh, kecapekan karena seharian lari-lari nggak bertujuan di lapangan sekolah waktu istirahat. Sampai di rumah, gue lihat ada selembar undangan pesta ulang tahun. Gue gembira bukan main, itu undangan dari Nona.
***
Nah, di sini bagian patah hatinya. Seusai acara tiup lilin dan potong kue, Nona bersama teman-temannya ngobrol-ngobrol asoy sambil makan ayam KFC. Gue berupaya setengah mampus untuk ikut ngobrol bareng gengnya. Sayangnya, gengnya sedikit... cuek?
Gue berusaha banget ngajak ngobrol Nona, tapi Nona cuek setengah mampus. Dia selalu ngancangin gue dan asyik ngobrol dengan gengnya. Gue yakin, Popop gue mulai melihat kejanggalan. Dengan rasa iba karena muka gue memelas, Popop nyamperin gue dan membujuk gue pulang karena hari juga sudah sore, sih. Gue ngotot nggak mau pulang. Gue masih bersikeras kalau gue bisa lagi ngobrol sama Nona. Gue bersikeras, Nona pasti merindukan gue sebanyak gue merindukan Nona. Gue bersikeras lagi, manisnya pertemanan gue dan Nona pasti masih sama.
Sayangnya enggak. Gue pamit pulang tapi Nona masih ngacangin gue dan asyik main dengan geng barunya. Alhasil, gue pulang tanpa pamit sama Nona. Sampai rumah, gue nangis seember di depan keluarga gue. Gue kecewa bukan main. Gue kira gue seberharga itu untuk Nona. Gue kira susah dan senang dan yang pernah gue laluin bareng Nona itu pantas untuk dibilang berharga. Gue kira gue dan Nona nggak harus meninggalkan satu sama lain untuk memulai perjalanan yang baru.
Sejauh ini gue kira, patah hati adalah selalu tentang meninggalkan dan ditinggalkan. Pahit sih, tapi meninggalkan dan ditinggalkan adalah selalu menjadi bagian dari kehidupan. Dimana ada yang datang dan pergi, di sana ada perpindahan. Sayangnya lagi, hidup adalah selalu tentang perpindahan. Karena ada perpindahan, maka ada kehidupan. Atau jangan-jangan, perpindahan itu makna dari kehidupan itu sendiri?
Mungkin juga, orang yang menjalani hidup harus siap menjalani perpindahan. Orang yang menjalani hidup harus siap menghadapi yang datang dan pergi. Mungkin banget lagi, orang yang menjalani hidup harus juga menjalani patah hati. Sial.
Semakin gue dewasa, semakin gue sadar bahwa patah hati adalah benar-benar bagian dari kehidupan. Gue sadar bahwa nggak selalu segala hal adalah sebagaimana yang gue harap. Gue yang udah berupaya mati-matian untuk dapat hasil maksimal, rupanya harus mengalami kegagalan nilai pas-pasan pada akhirnya. Gue yang sudah susah-susah cuci sepatu, rupanya sore ini hujan dan sepatu gue lagi-lagi harus kebecekan.
Gue yang sudah berusaha memberikan yang terbaik buat mereka, rupanya harus ditinggal karena pada dasarnya, setiap orang (termasuk setiap dari mereka) selalu menginginkan hari-hari yang lebih baik. Tuh kan benar, hidup itu nggak jauh-jauh dari datang dan pergi atau ditinggal dan meninggalkan.
Oh iya, kembali ke cerita gue dan Nona.
Kisah gue dan Nona nggak begitu berakhir dengan happy sih. Semenjak hari ulang tahun Nona, gue masih saja berupaya mengkontak Nona lewat nomor telfon orang tuanya. Sayangnya, nggak satu pun SMS gue dibalas. Sampai akhirnya hari demi hari, gue sadar bahwa Nona benar-benar sudah asyik dengan dunia barunya.
Gue harus terima kenyataan bahwa hari-hari baru Nona semenjak masuk SD (mungkin dan mudah-mudahan) lebih seru. Gue harus terima kenyataan bahwa mungkin teman-teman baru Nona lebih saik. Pahitnya lagi, gue harus terima kenyataan bahwa mungkin gue bukan lagi bagian dari dunianya Nona.
Sampai gue gede, gue masih nggak ada sedikit pun komunikasi dengan Nona. Kenyataannya, Nona benar-benar meninggalkan gue. Nona adalah salah satu dari mereka yang pernah datang dan pernah pergi. Sampai detik ini (di usia 19 tahun) gue masih mengingat patah hati gue karena kepergian Nona.
Patah hati gue belakangan ini jauh lebih dahsyat daripada patah hati gue karena kepergian Nona. Gue rasa sampai gue gede pun (sekarang juga udah gede, deng) gue akan masih merasa sedih mengingat-ingat pedihnya patah hati gue sekarang. Bukan dendam, tapi mereka benar-benar punya tempat yang istimewa di hidup gue.
Kalau gue bisa memilih, gue ingin mereka tinggal di sini lebih lama lagi. Nggak perlu janji selamanya, tinggal lebih lama juga udah cukup buat gue.
Sayangnya mereka nggak buta untuk tahu kalau dunia baru mereka lebih menyenangkan dibanding dunia mereka sebelumnya. Sayangnya lagi, gue bukan bagian dari dunia baru mereka.
Gue akan menjalankan hari-hari gue seperti hari-hari lain yang udah berlalu.
Gue dan lo akan menjadi dewasa dan semakin dewasa karena patah hati-patah hati yang pernah menjadi bagian dari kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar