Selasa, 01 Agustus 2017

Nobita Banyak Cincong

Gue gak pernah suka perpisahan. Menurut gue, memutuskan untuk berpisah itu gak pernah gampang. Gue bahkan gak suka perpisahan dengan orang yang gak gue suka atau gak suka sama gue. Gimana kalau pada akhirnya nanti entah kapan pun itu, gue atau dia yang gak suka gue merasa bersalah tapi kita keburu terlambat karena kita berpisah?

Mungkin sebenarnya inti dari rasa ketidaksukaan gue adalah gue takut akan penyesalan yang selalu datangnya belakangan.

Kenapa untuk beberapa orang perpisahan bisa jadi semudah itu?

Hidup gue (dan tentunya hidup kita semua) penuh dengan kedatangan dan kepergian. Hidup ibarat bandara, dimana setiap orang datang dan pergi. Beberapa datang untuk tinggal selamanya, beberapanya lagi datang untuk terbang lagi. Itu memang gak bisa dipungkiri.

Beberapa waktu yang lalu, salah seorang terdekat gue memutuskan untuk berpisah. Sedih, tapi kurang tepat kalau berlarut-larut ditangisin. Intinya kembali ke pertanyaan pertama gue, kenapa untuk beberapa orang perpisahan bisa jadi semudah itu?

Sayangnya kembali ke hipotesis pertama, perpisahan adalah seperti bagian dari kehidupan yang gak bisa dihindari dan mungkin gak akan gampang untuk dilalui terutama oleh orang payah seperti gue.

Buat gue sulit karena gue butuh waktu untuk memutuskan berpisah-atau-enggak. Entah berapa lama waktu yang gue butuh. Mungkin pada dasarnya gue ingin mereka singgah di bandara gue untuk selamanya.

Seperti kisah receh pada umumnya, perpisahan bisa (bisa banget) jadi bagian dari sebuah kisah cinta. Klasik, lah.

Enggak, gue bukan lagi perpisahan. Tapi sekitar dua minggu yang lalu gue dan Karamel harus pisah sementara waktu karena ada sesuatu yang harus dia kerjain, jauh dari tempat gue tinggal.

Beberapa waktu terakhir sebelum Karamel berangkat, kami sarapan bareng. Sesekali kami ngingetin satu sama lain untuk selalu jaga diri selama kami jauh. Kemarin malam, Karamel pulang. Kami ngobrol lewat telepon. Kami saling tanya kabar dan saling tanya dan cerita gimana aja keseruan (atau kebosanan gue) selama dua minggu kami jauh.

Dua minggu ini gak banyak yang gue kerjakan. Selain karena pengen hemat, kebetulan beberapa hari terakhir ini gue lagi gak sehat jadi gue gak bisa banyak keluar rumah atau berkegiatan. Di sela-sela waktu kosong, gue mencoba buat bikin...

Oke, biar gue jelasin dulu.
Dari kecil, gue selalu suka bermusik. Jago sih enggak, tapi suka iya. Gue gak terlalu terbuka sama keluarga gue tentang apa yang sebenarnya gue suka, tapi bokap gue sepenuhnya mendukung gue bermusik. Bukan sebuah kebetulan, bokap gue juga main musik. No wonder kenapa kesukaan gue sama musik masih nempel sampai sekarang.

Sayangnya, kesukaan gue sama musik gak begitu ada wadahnya sekarang. Entah karena kuliah gue yang kerjaannya numpuk (dan sama sekali gak membutuhkan musik), kerjaan gue yang terlalu padat, atau karena gue yang terlalu gak percaya sama diri sendiri sampai-sampai gue menutup diri dengan menyibukan diri dengan kerjaan kuliah yang sebenarnya masih bisa di-handle.

Oke kemungkinan alasan yang paling akhir keliatannya paling panjang. Berarti itu alasannya. Oke. Gue bukan cuma ragu sama diri gue sendiri. Gue ngerasa lingkungan gue adalah lingkungan sekarang yang jauh dari rumah memang udah dari sononya gak menggiring gue pada musik. Oke, gue kebanyakan cincong. Intinya, gue gak percaya diri sendiri. Titik.

Kembali ke percakapan gue dan Karamel di telepon. Jadi dia menanyakan apa saja yang udah gue kerjain selama dua minggu ini. Sambil malu-malu, gue mencoba menjelaskan kalau beberapa kali gue mencoba bikin lagu.

"Kamu tuh bisa. Kamu cuma butuh kesempatan buat kasih bukti untuk mulai," jawab Karamel sebelum gue jelasin panjang lebar ketidakpercayadirian gue. Suaranya parau, kode udah ngantuk. Gue diam. Itu yang selama ini pengen gue dengar. Dorongan.

Karamel sering kali kasih gue dukungan yang diam-diam, berarti banget buat gue.
Beberapa waktu yang lalu, gue harus ngebacain semacam speech yang tujuannya adalah "menyentuh" hati teman-teman seangkatan gue. Gue harus bicara di atas panggung, pakai mic, dan di hadapan ratusan orang yang pegang lilin syahdu-syahdu gimana gitu deh.

Oke. Pertama, gue gak pernah speech. Kedua, gue gak jago "menyentuh" hati orang. Ketiga, bicara di depan ratusan orang itu gak gampang. Kemungkinannya terburuknya adalah omongan gue jelek atau gak didengar sama ratusan orang di hadapan gue. Bukan salah mereka yang ada di hadapan gue. Guenya aja yang terlalu cempreng untuk jadi enak didengar orang. Gue ulang, gue belum pernah speech.

Malam itu Karamel berdiri tepat di pinggir panggung. Bareng Fathul (temannya Karamel) yang nemenin gue di panggung sambil main gitar, gue bacain susunan kata gue yang... gak banget deh pokoknya. Gue gak tau berapa banyak yang dengar kata-kata gue malam itu. Gue bahkan gak bisa dengar suara gue sendiri. Tegang sih enggak, urat malu gue udah putus. Tapi terlepas dari seberapa banyak atau sedikit yang dengar... gue senang peluk dari Karamel sebelum dan gue sesudah speech bikin semua jadi lebih baik.

Kembali ke hipotesis awal, perpisahan adalah bagian dari kehidupan dan perpisahan adalah bagian klasik dari kisah cinta-cintaan.

Gue benci perpisahan, tapi gue gak pengen menutup mata gue sendiri dari kemungkinan-kemungkinan pahit.

Karamel, gue gak tau kemungkinan apa yang nunggu kita di depan sana. Tapi kalau sampe hipotesis ini benar, percaya deh, gue senang lo pernah ada di pinggir panggung malam itu. Gue juga senang karena lo selalu tahu apa yang gue butuh untuk berdiri lagi.

Semoga hipotesis gue salah ya.
Semoga sekali pun perpisahan adalah bagian dari kehidupan, begitu pula dengan pertemuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Me and My Freaky-Diary Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review