Jumat, 26 Januari 2018

Berburu Kekasih untuk Aku Si Calon Dokter

Gue menghabiskan 6 tahun masa pendidikan Sekolah Dasar gue di sebuah SD Katolik di Bekasi. Masuk SMP, Mama gue nyekolahin gue di sebuah sekolah yang mewajibkan siswa-siswinya untuk belajar dan mengobrol dengan bahasa Inggris. Satu semester pertama, gue terseok-seok. Nilai gue ancur-ancuran karena gue bahkan nggak ngerti apa yang gue sendiri tulis di buku catatan gue. Tambah lagi, gue ingat banget waktu itu wali kelas gue (namanya Mr. Uje) memberikan peraturan wajib kena denda seribu buat anak-anak yang ketahuan ngobrol pake bahasa sehari-hari. Tenang, gue nggak pernah mengalami masa-masa jadi pendiam. Kemungkinan besar karena memang gue sudah doyan curhat dari lahir. 

Foto bareng Aulia dan Bella beberapa hari sebelum AKHIRNYA lulus SMP. Yay.

Saking gue nggak paham apa yang gue sendiri tulis di buku catatan, gue mati-matian ngafalin setiap kata yang gue tulis supaya gue bisa ngisi soal ulangan. Yak, jadi gue ngafalin apa yang bahkan nggak gue pahamin. Salah satu kalimat yang sampai sekarang masih nempel di kepala gue adalah kalimat pertama dari bab pertama pelajaran fisika di buku catatan gue: 

Physicial Quantity is something thats able to be measured in numbers or value. 

Iya lo mampus sampe sekarang pun gue nggak ngerti gimana bisa-bisanya gue survive satu semester pertama itu but somehow I made it. Sekarang kalau dipikir-pikir, ternyata kasihan juga ya gue jaman baru masuk SMP. 

Tapi bukannya memang itu ya yang mereka sebut living life to the fullest
Entahlah, gue sotoy. Gue cuma sedang berusaha menghibur diri sendiri karena sebenarnya gue sering banget ada di fase dimana I don't know what I'm doing, I don't know if I'm going to make it or no, atau I don't know where I'm going and I'm just going the flow-segitunya. 

Beberapa waktu yang lalu, gue ngobrol bersama keluarga besar gue. Seperti pertemuan-pertemuan lainnya, gue harus berhadapan dengan pertanyaan yang lagi-lagi seputar: 
  1. Kenapa nggak masuk kedokteran aja? 
  2. Kalau gitu, kenapa nggak masuk akuntansi? Kan biar kerjanya jelas. 
  3. Memangnya mau kerja apa kalau kuliah komunikasi?
  4. Pacarnya namanya siapa? 
(Pertanyaan terakhir itu nggak pernah di-skip dalam setiap pertemuan dengan keluarga besar atau dengan sanak saudara mana pun, tapi bukan itu yang mau gue bahas kali ini) 

Sekitar 4 tahun yang lalu, gue masuk SMA dalam keadaan nggak tahu mau jadi apa. Yang gue tahu cuma gue gagal masuk SMA negeri favorit yang gue pengenin, jadi gue menghabiskan 3 tahun SMA di sekolah yang Mama gue rekomendasiin (lagi-lagi karena dia kepengen gue bisa cas-cis-cus ngobrol dengan bahasa asing). 

Waktu itu gue harus langsung penjurusan IPA atau IPS semenjak semester 1, semenjak baru masuk SMA. Karena gue terlalu pasrah dengan apa kata nyokap-bokap, gue masuk IPA. Entah gimana ceritanya, bokap gue pernah sebegitunya yakin kalau gue cocok sekali jadi dokter. Menurut bokap, gue punya kemampuan khusus menebak penyakit seseorang. Entah itu ilham turun darimana, gue pun sejujurnya nggak begitu mengiyakan keyakinan mistis bokap gue itu. 

Sebulan belajar di IPA, gue nggak pinter tapi syukur-syukur nggak bego-bego amat juga. Gue jalanin idup gue sebagaimana gue di hari-hari biasanya. Sampai suatu hari, seorang guru konseling (namanya Ms. Tata) datang ke kelas gue dan menanyakan kesukaan satu-satu dari kami anak-anak kelas 10 Alder. Di situ gue sadar, gue benar-benar nggak tahu kenapa gue bisa ikhlas menjalani hari-hari gue di IPA. Mungkin karena gue terlalu saklek dengan apa kata bokap-nyokap, tapi intinya hari itu gue sadar kalau gue nggak pengen jadi dokter seperti harapan bokap gue. Gue suka bercerita, gue suka mendengarkan, dan lagi-lagi; gue nggak pengen jadi dokter. 

Setelah ngobrol-ngobrol dengan Ms. Tata, gue membulatkan tekad untuk pindah ke kelas IPS. Setelah banyak diskusi dengan bokap-nyokap, sayangnya bokap gue nggak mengiyakan. Dia masih aja berkeyakinan bahwa gue cocok jadi dokter. Karena memang gue dari sononya sedikit nggak waras, suatu hari gue memutuskan bahwa hari itu akan menjadi hari terakhir gue di kelas IPA. Gue sendirian datang ke ruangan Ms. Tata, menandatangani surat pernyataan, esok harinya masuk kelas IPS. 

Karena gue sudah keburu pindah, bokap-nyokap gue nggak bisa banyak berkutik. Gue sudah keburu masuk kelas IPS seminggu, mau diapain lagi. 

Foto bareng kelas IPS gue di Dufan. Kurang asik gimana lagi. Rambut gue lepek banget kayak ekor lele. 

Masuk kelas IPS... nilai gue nggak jadi lebih baik. Ditambah lagi, gue ketinggalan materi sebulan karena gue baru saja pindah setelah sebulan sia-sia di kelas IPA. Alhasil, gue harus berjuang jauh lebih keras. Gue mendorong diri gue sendiri untuk membaca materi-materi yang nggak begitu bikin gue tertarik, tapi seenggaknya gue bahagia dengan apa yang gue lakukan. 

Gue ingat banget, gue harus bekerja sekeras itu cuma untuk mahamin materi sejarah. Entah gimana ceritanya, dari SD sampai sekarang pun gue nggak pernah tertarik sama sejarah. Beruntung lagi, gue dikelilingi oleh keluarga (yang awalnya sempat nggak ikhlas) dan teman-teman yang sangat supportive. Lagi-lagi, somehow I made it

Sekarang gue kuliah jurnalistik di Bandung. Bukan pilihan pertama gue sih, tapi gue keburu kecantel di sini dan keburu kehabisan tenaga untuk bimbel lagi dan ujian lagi. Alhasil, gue menjalani hari-hari gue seperti sebagaimana gue seharusnya ngejalananin. Let it flow, kata gue berupaya menghibur diri. 

Sejujurnya sampai sekarang pun gue nggak tahu harus jawab apa kalau ditanya soal kenapa nggak jadi dokter, kenapa nggak kuliah akuntansi, atau memangnya mau jadi apa kalau kuliah jurnalistik. Sayangnya kenyataannya adalah gue sendiri nggak tahu apa yang gue lakuin sekarang ini bakal ngehasilin sesuatu yang besar atau enggak. Tapi gue harap terlepas dari besar atau enggak hasilnya nanti, gue hargain proses demi proses yang gue alamin sekarang. 

Ini sama sekali nggak mudah. Mungkin juga gue nggak akan jadi sehebat dokter atau secerdas akuntan yang ngerti banget gimana cara kerjanya suatu perusahaan. Mungkin keyakinan bokap gue selama ini nggak segitunya benar, gue nggak segitunya punya kemampuan mistis buat menebak seseorang sakit apa. Mungkin gue nggak bisa jadi sebesar yang mereka harap, tapi gue percaya proses berharga yang gue jalanin sekarang akan ngebuahin sesuatu yang sama berharganya. 

Gue suka mendengarkan, gue suka bercerita. Gue nggak tahu ini akan jadi mudah atau enggak, dan sejujurnya nggak tahu ini akan ngehasilin sesuatu yang besar atau enggak. Tapi kemana pun itu nantinya takdir membawa gue dan lo, gue harap kita sama-sama bahagia dengan proses yang udah kita laluin. 

Gue nggak tahu apa esensinya gue post foto ini, biar rada rame aja blognya. Ini foto gue kelas 3 SD waktu nyanyi di acara Agustus-an komplek. Keyboardist-nya bokap gue. Baju gue gambar Minmie. Yoi. 

Anyway
, lanjut ke semester pertama gue di SMP. 
Masuk semester kedua di kelas 7, gue gas abis-abisan. Gue menghabiskan sore hari gue untuk tidur, dan tengah malam sampai pagi untuk belajar. Walau pun gagu dan bego, gue memberanikan diri untuk speak up dengan bahasa yang sama sekali nggak familiar. Lama-lama gue menjadi semakin bawel sambil cas-cis-cus pake bahasa Inggris walau pun sotoy. Mungkin gue nggak bisa jelasin apa yang gue raih dan mungkin juga nggak sesempurna itu hasilnya, tapi lagi-lagi...

somehow I made it

and I know you'll make it too:]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Me and My Freaky-Diary Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review