Senin, 30 Januari 2017

Hipotesis Bonafide

Hanya tinggal dalam hitungan hari lagi, gue harus kembali ke Sumedang mempersiapkan kuliah, semester dua. Ya, ya, tahu kok, tiba-tiba udah kuliah semester dua aja, kan? Sama, gue juga bingung. Perasaan gue juga kemarin-kemarin curhat di blog ini masih kelas dua SMP.

Selama kurang lebih sebulan gue pulang, banyak hal dramatis terjadi. Mulai dari kangen-kangenan sama orang-orang di rumah, main sama Vincent ke sudut Jakarta yang super-duper jauh dari rumah gue di pelosok bumi, sampai mengurusYoyong (kucing peliharaan gue) yang selama seminggu melakukan aksi mogok makan.

Beberapa hari sebelum Yoyong memulai aksinya, gue menakut-nakuti Yoyong dengan kulit pisang. Gue kejar-kejaran sama Yoyong sambil bawa-bawa kulit pisang. Gue juga gak mengerti kenapa Yoyong sebegitunya takut dengan kulit pisang. Gue sempat takut aksi mogok makan Yoyong adalah dampak traumatis dari kejar-kejaran kulit pisang. Ternyata setelah dicari tahu, nggak kok, dia gak trauma. Dia pengen kawin.

Selama gue di rumah, hampir setiap siang kesore-sorean gue mendengar suara tukang... tukang apa juga gue kurang tahu, pada awalnya. Yang pasti, pedagangnya selalu lewat depan rumah setiap hari. Suaranya gak begitu jelas. Gue dan bokap beberapa kali main tebak-tebakan, sebenarnya abang pedagangnya membunyikan suara yang bagaimana setiap lewat depan rumah. Berikut adalah beberapa hipotesis kami mengenai kata-kata apa yang kami dengar dari abangnya:
1. "Aso-aso, aso panas dalam!" Sama, gue juga bingung kalimat ini maknanya apa.
2. "Ayo-ayo, jangan penasaran!" Bayangin, pedagang macam apa yang menarik pelanggan dengan bunyi semacam demikian.
3. "Ayo-ayo, du-du-du-du-da-da!" Yang ini udah nggak jelas banget, sih.

Hari ini, gue menemani nyokap gue ke supermarket, beli makanan untuk Yoyong. Iseng, gue diam sebentar di teras rumah. Jam-jam segitu, biasanya si pedagang dengan bunyi misterius lewat. Sambil nongkrong-nongkrong asoy, gue menikmati angin semriwing di teras rumah. Benar saja, gak lama kemudian si pedagang dengan bunyi misterius lewat. Jadi sore ini, gue berhasil memecahkan, sebenarnya bunyi apa yang dikeluarkan oleh si pedagang dan apa yang sebenarnya beliau jual.

Benar ya kata orang-orang, kita gak akan bisa sepenuhnya paham tentang seseorang, sampai kita nyemplung sendiri ke dunianya. Kita gak akan bisa menilai sesuatu, sebelum kita mengenal, atau mencoba sendiri.

Gue adalah salah satu manusia paling judgemental yang pernah gue tahu.

Misalnya begini, gue sering kali menghabiskan waktu berjam-jam sendirian di Grame*dia. Awalnya sih berniat beli, tapi pada akhirnya gak jadi beli karena gue sudah keburu kelar membaca satu novel yang sudah rusak segelnya dari awal, atau dua komik yang sudah gak diplastikin dari awalnya. Sayangnya sekarang jarang ada komik yang nggak diplastikin, dan sekarang harga komik sudah dua puluh ribu rupiah. Jadi ingat, jaman-jaman harga komik masih tiga belas ribu rupiah...

Dulu suatu hari, gue pernah melihat sebuah komik cinta-cintaan yang dari cover-nya, gue langsung menilai: Gila, ini komik pasti alaynya gak ketolong! 

Karena kesotoyan gue, alhasil gue membaca-baca komik tersebut di toko buku. Secara tidak sengaja, bacanya keterusan, sampai habis satu episode. Ah, ini pasti kelanjutannya lebih alay lagi. Beli yang kedua deh!

Gue pun membeli kelanjutan dari komik yang gue baca. Tentunya, sampai rumah langsung gue tamatkan membaca dengan antusias (saking alaynya). Di kesempatan berikutnya, masih dengan penilaian dan kesotoyan yang sama, gue membeli kelanjutan yang lain dari komik tersebut.

Di kesempatan lainnya lagi, gue beli lagi, baca lagi.
Di kesempatan lainnya lagi, gue beli lagi, baca lagi.
Kemudian komik itu tamat.

Benar juga, never judge a book by its cover. Ternyata cerita komik cinta-cintaan alay itu seru banget.

Harus gue akui, gue ini sebenarnya sedikit sotoy. Gue sering kali menilai sesuatu sebelum gue sendiri mencoba. Gue gak penakut kok, gue cuma sok tahu.

Oke, gue penakut.
Penakut dan sok tahu.

Saking penakutnya, gue sering kali stress tentang hal-hal yang bahkan belum gue coba. Waktu SD, gue selalu sakit sebelum ulangan umum (UAS). Selalu, tahun ke tahun. Didiuga, sakit-sakit lenje itu adalah karena stress mau ujian. Sekarang siapa yang norak, komik cinta-cintaan, atau gue?

Tapi tenang saja, sekarang gue sudah taubat kok. Semakin jadi manusia normal, gue jadi lebih sering bodo amat ketimbang stress.

Dulu, gue selalu tidak tertarik melihat kwetiau goreng. Penilaian gue waktu itu, kweitau goreng itu terlalu kenyal, terlalu manis, dan telalu berminyak. Pokoknya, pasti enggak banget untuk dikonsumsi.

Sampai suatu hari, gue makan bareng Zhafira di Sola*ria. Gue melihat Zhafira makan kwetiau goreng. Karena menantang, alih-alih ingin membuktikan ke Zhafira kalau kwetiau goreng itu aneh, gue ikut pesan. Padahal sih gengsi saja, aslinya gue kebita.

Rupanya hari itu gue jatuh cinta sama kwetiau goreng. Bahkan, kwetiau sekarang berada di rangking ketiga dari daftar makanan terenak menurut vidya Nobita (Nobita adalah nama samaran Vidya di blog ini).

Daftar makanan terenak menurut saya:
1. Sate padang
2. Sushi
3. Kwetiau goreng
4. Soto betawi
5. Pecel lele

Gue sudah tahu Vincent jauh sebelum gue akhirnya berkewajiban untuk mengontak beliau. Tahu sih tahu, hanya saja waktu itu belum pernah ada keperluan untuk mengontak, atau sekedar ngobrol. Beberapa kali, gue meihat namanya tercantum di list anggota grup chat.

Beberapa kali juga, gue melihat orangnya secara langsung, dari jauh. Gayanya maco, cowok banget. Cuek, kelihatannya asik sama dunianya sendiri. Ah, yang begini mah gak akan nyambung sama gue, kata gue dalam hati dengan sotoynya sambil campur-aduk penasaran.

Sampai akhirnya, gue benar-benar-harus-banget mengontak Vincent, untuk kepentingan politisi. (Halah, politisi-politisi pale lu politisi?)

Sambil takut-takut dan tanpa niat modus sedikitpun, gue mengajak obrol Vincent duluan. Anehnya, malam itu Vincent membalas gue dengan antusias yang setimpal. Penilaian gue yang sok pintar setengah mampus dihancurkan dengan keramahan Vincent yang seratus persen menghancurkan rasa takut-takut gue malam itu. Dia gak segan bertanya tentang gue, memberanikan diri bertanya tentang hal-hal yang mangkir dari politisi-politisi-pale-lu-politisi.

"Mudah-mudahan kita bisa nutupin ego masing-masing buat ngechat duluan ya," kata Vincent menutup percakapan pertama kami hari itu.

Dan benar adanya, senyum-senyum kesemsem gue hari ini masih sama dengan senyum-senyum kesemsem waktu gue nekat mengontak Vincent hari itu. Dan benar adanya, ternyata Vincent bukanlah si dia yang gak akan nyambung sama gue. Dan benar lagi adanya, gue sok tahu.

Kita gak akan pernah bisa benar-benar menilai seseorang, sampai kita akhirnya mengenalnya lebih dekat, katanya. Ternyata gue salah menilai. Ternyata Vincent adalah jawaban dari doa-doa gue yang melayang tanpa terucap, yang terdengar tanpa diteriakan. Terima kasih karena sudah balas chatku malam itu ya, Vincent. Terima kasih karena sudah mau bertanya tentang aku. Terima kasih karena sudah bersedia tinggal di sini.

Dua minggu sebelum pindah ke kost-an dan masuk kuliah, gue sakit (ya, ini mirip-mirip jaman SD sih). Sakitya pun gak jelas sakit apa. Menurut kesimpulan nyokap, gue gak sakit, gue hanya stress. Awalnya gue terlalu gengsi buat mengakui, sampai akhirnya gengsi gue luluh lantak. Gue mengakui ke nyokap gue bahwa gue takut pindahan. Gue takut memulai kehidupan yang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan kehidupan gue yang sesuai ekspektasi.

Memang sih, tempat kuliah gue sekarang bukanlah apa yang menjadi rencana gue pada awalnya. Belum lagi, waktu itu gue harus memulai kehidupan baru dan bertemu dengan orang-orang baru. Gimana kalau teman-teman di sana gak suka dengan gaya gue? Gimana kalau tempat tinggal di sana banyak cicaknya? Gimana kalau nilai kuliah gue jelek? Pasti butuh tenaga ekstra untuk beradaptasi, kan?

Dua minggu setelah berupaya bertahan hidup di atmosfir baru, gue akhirnya keluar dari sarang penyamun (kamar kostan gue sering kali disebut sarang penyamun saking berantakannya). Gue memberanikan diri bergabung dengan sekumpulan cewek-cewek sejurusan yang sedang asyik ngobrol-ngobrol di kost-an salah satu dari mereka.

Mereka lucu, mereka menyenangkan, dan mereka baik.
"Pokoknya kalau ada apa-apa, kita harus ngomong, supaya seenggaknya satu orang yang tahu kalau ada dari kita yang kenapa-kenapa," kata Kinta.

Kemudian aku sayang mereka dan aku tahu, aku gak mungkin bertahan hidup di sana kalau gak ada temn-teman sebaik mereka.

Bahkan, di tempat baru ini gue belajar untuk menjadi lebih kuat.

Lagi-lagi, gue sok tahu. Memang butuh waktu untuk beradaptasi, tapi itu bukan hal yang gak mungkin.

Gue gak tahu teman-teman merasakan hal yang sama atau enggak. Tapi kalau gue, gue tidak akan bisa sepenuhnya paham sampai akhirnya gue sendiri yang mencoba. Jadi, jangan takut untuk mencoba hal-hal baru. Siapa tahu, di tempat baru, kita nemuin sesuatu yang lebih baik.

Oh iya, ngomong-ngomong, pedagang yang lewat depan rumah gue setiap siang kesore-sorean itu ternyata jualan bakso, bunyinya begini: Bakso-bakso, Bakso Bonafide!

Jauh ya dari hipotesis gue dan bokap gue?
Maaf ya, gue memang sedikit sotoy. Tapi gue janji, gue mau mendengar dan mau belajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Me and My Freaky-Diary Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review