Entahlah, gue selalu benci perpisahan. Gimana kalo suatu hari gue kangen & butuh dia tapi dia gak bisa ada buat gue? Gimana kalo nanti dia nemuin yang lebih bagus dari gue terus gue dibuang gitu aja? Bahkan gue benci perpisahan dengan orang yang gue benci. Kalo orang yang gue benci pergi, nanti siapa yang gue hina-hina lagi? Nanti siapa yang ngomongin gue dari belakang & bikin gue tenar lagi?
Intinya: gue benci perpisahan.
Gue mengakhiri satu tahun gue di kelas 10 dengan sangat banyak perpisahan. Mulai dari pisah sama temen di kelas, pisah sama beberapa guru yang bikin gue nyaman banget belajar, pisah sama anaknya kucing gue yang hilang, pisah sama nilai-nilai indah (karna asli, rapot gue semester ini jelek banget... banget.), dan yang paling buruk, pisah dengan Piglet, a man I trust and I love the most.
Jujur, baru 1 hari ngerasain liburan, gue sudah merasa kesepian. Parahnya, gara-gara kesepian sialan ini, pikiran gue jadi terbang kemana-mana. Mending kalo kemana-mananya yang bagus, ini kemana-mana yang buruk, yang bikin gue ngerasa lebih buruk. Jangan naif, siapa sih yang gak pernah kayak gini?
Perpisahan bikin gue merasa seperti; Kenapa gue selalu ditinggal? Kenapa gue gak pernah bisa ninggalin sesuatu atau seseorang sampe bikin dia sedih seperti yang gue rasain sekarang? Entah gue terlalu kesel, atau sedih, atau marah, atau kecewa sama semuanya. Well, mungkin semuanya jadi satu.
Perpisahan juga bikin gue kehilangan banyak kepercayaan. Kenapa gue harus ditinggalin di waktu dimana gue lagi down banget, like sky is falling on me.
Gue terus-terusan bertanya-tanya; lo semua maunya apa sih? kemana? kenapa? gue gimana?
Gue mencoba bicara dengan orang di sekitar gue. Tapi apa daya, perpisahan bikin gue berbicara tidak lagi dengan bahasa manusia. Mungkin gue terlalu buta & tuli untuk mengerti bahasa manusia. Apa yang gue dapat adalah: masalah gue gampangan, & gak seharusnya gue bikin susah.
Kambing congek juga tau gak seharusnya gue bikin susah. Tapi gue sedih, tanpa kemauan gue untuk sedih. Kalau bisa juga gue bikin otak gue gak kenal sedih menghadapi perpisahan. I pretend like I'm the happiest kid on earth, then I see someone's real happiness & realized that I'm not happy, and I can't deny that.
Satu lagi hal mengerikan dari perpisahan adalah gue dihantui dengan pertanyaan seperti;
Dia baik-baik saja gak ya sekarang?
Apa dia pergi karna dia benci gue?
Dia percaya gak ya kalau gue selalu sayang?
Padahal gue sudah tau jawaban dari semua pertanyaan yang timbul di pikiran gue itu. Jawabannya adalah: dia baik-baik saja, dia pergi karna dia sayang sama gue & kita butuh yang lebih baik, dan dia percaya gue sayang. Gue gak lupa bilang kok.
Intinya; Gue benci perpisahan.
Seorang pendeta pernah bilang dalam khotbahnya, "Tidak ada yang menjanjikan bahwa semuanya akan mudah. Tapi Tuhan menjanjikan bahwa baik susah mau pun mudah, kamu akan baik-baik saja."
Jadi walau pun gue sedih + kesepian + marah + kecewa setengah mampus kayak sekarang, gue akan baik-baik saja?
Terakhir gue merasakan hal kayak gini, semua berakhir dengan bahagia. Gue disadarkan bahwa itulah yang terbaik buat gue & buat orang yang meninggalkan gue. Dengan kita pisah, gue dapat yang lebih baik, begitu pula dia yang meninggalkan gue.
Gue bakal ngalamin hal yang sama gak ya?
Hal yang lebih buruk lagi:
Mau sesusah apa pun kondisi gue sekarang, mau gak mau gue harus kuat buat nerima. Gue harus percaya kalau dengan kondisi gue sekarang, gue & Piglet akan mendapatkan yang lebih baik, walau pun mungkin butuh waktu.
Gue gak bisa berjuang dengan dramatis seperti Jack berjuang untuk Rose.
Demi apa gak tau Jack & Rose.
Makanya nonton Titanic.
Oke lanjut.
Gue tidak berjuang dengan menenggelamkan diri di lautan dingin & membiarkan orang yang gue sayang selamat di atas papan (padahal papannya bisa buat 2 orang. Rose nya aja maruk). Gue berjuang melawan ego gue sendiri. Gue berjuang dengan membiarkan ego gue tenggelam bersama buntelan kesedihan gue. Gue bertahan di tengah-tengah perang antara hati & otak gue.
Dramatis.
Tapi gue serius.
Gak ada yang bisa bikin gue berhenti membenci perpisahan. Tapi selalu ada yang bisa ingetin gue kalau perpisahan terjadi untuk sebuah alasan yang indah.
Jangan pergi jauh-jauh ya.